Langsung ke konten utama

[Review] To Kill a Mockingbird by Harper Lee



Judul: To Kill a Mockingbird 
Penulis: Harper Lee
Penerjemah: Femmy Syahrani
Penerbit: Qanita 
Terbit: Edisi Keempat, September 2015
Tebal: 396 Halaman

Scout dan Jem tengah melewati masa kanak-kanak yang penuh petualangan. Mereka adalah anak-anak Atticus Finch sang pengacara. Hidup mereka bertiga sangat tentram di Kota Maycomb. Sampai suatu hari Atticus yang bekerja sebagai pengacara mendapatkan kewajiban untuk membela terdakwa kasus pemerkosaan perempuan berkulit putih yang dilakukan oleh seorang lelaki kulit hitam. Seketika kehidupan Atticus dan anak-anaknya mengalami perputaran 180 derajat. Banyak hal tak terduga mereka dapatkan dari mulai ejekan teman sekolah, tetangga, bahkan saudara. Karena di masa itu Amerika tengah tidak ramah dengan perbedaan, kasus ini membuat Atticus menjadi semakin mengerti bahwa keadilan itu mahal harganya.

Membaca novel ini kita akan mendapatkan inspirasi mengenai bagaimana budaya Amerika Serikat berkembang saat isu ras sangat membuat pihak-pihak tertentu merasa terpojok, dalam hal ini orang-orang negro yang harus bersabar karena warga kulit putih memperlakukan mereka seperti sampah. Inti cerita To Kill a Mockingbird ini pun akan mengajak kita memahami bahwa di depan mata keadilan seharusnya manusia tidak dibeda-bedakan dan tentu saja semua manusia bisa dihukum berdasarkan perilaku buruknya, bukan berdasarkan persepsi dangkal.

Melalui karakter Scout, kita akan diajak membedah karakter-karakter di buku ini yang sebagian besar merepresentasikan bagaimana kelakukan manusia bisa dengan mudah diklasifikasikan hanya dengan jenis rasnya, orang-orang kulit putih yang intoleran sangat terasa sekali penuh kesombongan, angkuh, dan egois. Sedangkan orang-orang kulit hitam tampak pesimistik, cenderung lugu, namun mereka pemaaf, dan selalu mengalah. Meskipun semuanya tidak seperti itu.

Novel ini memberikan wawasan bahwa salah satu negara di dunia ini pernah memiliki masa lalunya tersendiri yang bisa dijadikan pelajaran di zaman sekarang meskipun novel ini bukan novel sejarah yang berdasarkan fakta nyata. To Kill a Mockingbird, lewat kisahnya mencoba memotret sesuatu yang barangkali lumrah dialami seluruh penduduk bumi, bahwa orang-orang cenderung tidak toleran ketika merasa dirinya berasal dari kelompok mayoritas. Ada baiknya sebagai manusia kita harus bertindak bijak meskipun tidak bisa menjadi makhluk paling sempurna, seperti tokoh-tokoh di dalam novel ini yang tidak pernah menyerah menyuarakan keadilan sebaik-baiknya, seadil-adilnya meski dari arah sudut pandang manusia.[] 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)

 

[Travel Writing] Bale Kabuyutan Desa Ciledug Wetan Cirebon

Kemarin mencoba datang ke tempat yang belum pernah dikunjungi. Kebetulan daerah dekat rumah saya. Tulisan ini tadinya telah terkirim ke media tempat PKL saya. Tapi, nasibnya naas karena harus berakhir di recycle bin komputer redaktur. Jadi, saya share saja di blog. Bale kembang di Bale Kabuyutan. (Dok. pribadi) Berlokasi tepat di belakang kantor kuwu Desa Ciledug Wetan Kecamatan Ciledug, Bale Kabuyutan masih berdiri kokoh hingga kini. Bale Kabuyutan adalah salah satu situs peninggalan budaya leluhur Cirebon berbentuk bale kambang (tempat tidur dari kayu). Benda itu tersimpan di dalam ruangan berukuran sekitar 20 x 30 meter. Sedangkan bale kambang itu memiliki ukuran panjang 5 m, lebar 3 m, dan tinggi 0,5 m serta disangga oleh enam tiang. Menurut Mundara (62) selaku juru kunci Bale Kabuyutan, tempat tersebut dulunya difungsikan sebagai tempat pengambilan sumpah bagi mereka yang hendak menganut Islam. Mundara yang sejak tahun 2002 menjadi juru kunci di tempat itu menuturkan bah...

The Cat Returns (2002), Sebuah Ulasan Singkat

Film ini mengisahkan seorang siswa bernama Haru yang kurang bisa menikmati hidupnya karena terasa membosankan. Haru memendam perasaan kepada siswa cowok di sekolahnya namun sayang Haru harus menelan pil pahit karena dia tahu cowok itu sudah memiliki kekasih. Hidup Haru berubah saat dia kemudian menyelamatkan seekor kucing yang akan tertabrak mobil. Sejak saat itu, Haru kembali mempertanyakan kembali makna kebahagiaan dalam hidupnya. Menonton film ini membuatku merasa bahagia dan tenang. Mungkin lebih ke perasaan tentram sepanjang menonton filmnya. Karena aku pikir plot dalam film ini sungguh sangat mudah dicerna namun aku tidak protes. Tidak seperti kebanyakan film lainnya kreasi studio Ghibli, film ini seakan tidak berusaha membuat pusing penontonnya, ya mungkin memang sengaja dibuat mudah ditebak dari segala aspek filmnya.  Menurutku, penonton akan mengambil hikmah tentang tidak banyak menggerutu dalam menjalani hidup saat mereka menuntaskan menonton film ini. Karena ...