Langsung ke konten utama

Review Kumcer ‘Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu’ Karya Norman Erikson Pasaribu

Judul             : Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus  Menunggu
No. ISBN       : 9786020304489
Penulis          : Norman Erikson Pasaribu
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama
Terbit             : April 2014

Blurb
Kamu tahu, mungkin hidup semua orang, termasuk kamu dan aku, akan lebih mudah jika kita boleh menikah dengan bantal yang menyangga kepala kita setiap malam, yang mengusir demam, menjauhkan kuntilanak dari mimpi, mengamini doa-doa, merindukan kita di siang hari, menyimpan aroma sampo yang kita sukai, menyerap keringat, liur, air mata, tumpahan kopi tanpa sekalipun protes, dan berbisik ke telinga kita di tiap malam yang murung: "Berbahagialah. Berbahagialah. Di luar sana. Seseorang mencintaimu, seseorang tengah mencintaimu.." Tetapi, apakah dunia ini akan membiarkan kita menikahi sesuatu yang tidak berasal dari kita, meskipun ia mencintai kita tanpa merasakan duka dan damba? Sepertinya tidak. Semoga hanya "belum" sehingga kita bisa menunggu datangnya hari itu. Sekarang, coba bayangkan gunung terdekat dari rumahmu.(Kalau tak ada, kamu boleh membayangkan Gunung Fuji ataupun Everest.) Coba bayangkan gunung itu pecinta sedang menunggu orang yang dicintainya. Dan dia menunggu semenjak dia ada di dunia. Kurasa sebesar itulah bakatku dalam menunggu. Kurasa sebesar itulah aku ingin bertemu dengan hari itu. Dan berkata kepadanya, "Hanya kamu yang tahu berapa lama lagi aku harus menunggu.”

Belakangan, dunia sastra Indonesia diwarnai dengan kehadiran buku-buku kumpulan cerpen yang berbobot. Bukan saja dari segi tema melainkan konten yang dibawa pun sangat-sangat menggugah selera untuk dibaca. Salah satu buku kumcer yang mengguncang ranah sastra Indonesia pada tahun 2014 ini adalah buku karangan Norman Erikson Pasaribu, dengan judul yang lumayan panjang yaitu Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu—saya sebut dalam review ini dengan sebutan ‘Buku Norman’
Di dalam Buku Norman ini terdapat dua puluh cerita pendek dengan tema cinta yang coba diusung lewat sudut pandang yang berbeda-beda, bahkan bisa dibilang nyeleneh. Beberapa ada yang menonjolkan segi LGBT yang kental bahkan menjadi muatan tersendiri sebagai konstruksi penopang cerita, di antara cerita yang mengusung tema tersebut adalah Tentang Mengganti Seprai dan Sarung Bantal, Pria Murakami, Garpu, Novelis Terkutuk, dan lain-lain. Ada pula yang mengusung tema kematian yang bercampur elegi cinta seperti dalam cerita Doa, Sepasang Sosok yang Menunggu, dan Tiga Kata untuk Emilie Mielke Jr.
Kekuatan buku ini adalah di setiap cerita yang termuat, si penulis mencoba mendobrak logika pembaca dengan satu sentuhan lentik bernama kekuatan dialog. Juga lewat satu polesan paling menyentuh yaitu plot. Salah satu cerita misalnya berjudul Tiga Kata untuk Emilie Mielke Jr. cerita tersebut sangat unik sekali karena menggunakan POV orang kedua yaitu kau dan kamu, beberapa dialognya yang menyentak di antaranya:
“Sebentar lagi, aku akan pergi ke tempat yang jauh,” ujarmu perlahan-lahan.
“Ke mana?”
“Jauh.”
“Jauh bukan kata benda untuk mengutarakan tempat. Guruku sudah mengajariku gramatika kata. Mengaku saja, ke mana kau akan pergi?”
Sungguh cerdas sekali dialog tersebut, dan apakah Anda tahu bercerita tentang apa cerita tersebut? Kisah tersebut menceritakan seorang ibu yang sekarat dan ia kebingungan mengutarakan kejujurannya pada anaknya yang superjenius tentang ia yang sebentar lagi akan menghadapi kematian. Dan tidak hanya dialog plus plotnya saja yang ciamik, ternyata bagimana cara Norman bertutur pun sangat-sangat elegan di buku bersampul coklat ini. Beberapa quotes sangat saya ingat-ingat dan coba saya monumenkan, di antaranya:
·         Kamu memang pernah berkata bahwa kamu melihat hidupmu sebagai sebuah tapak pada ban kendaraan yang akan terus-menerus bertemu tanah, lalu udara, lalu kembali tanah, hingga entah kapan—kamu menyebutnya monoton. (halaman 1)
·         Karena tokoh cerita hanya mati ketika dilupakan—sesungguhnya, manusia pun hanya mati ketika dilupakan. (halaman 129)
·         Tetapi, apa gunanya hidup ini jika tidak bisa menjadi diri sendiri? (halaman 101)
·         Dan aku akan terus menunggu dalam keadaan hanya kamu yang tahu berapa lama lagi aku harus menunggu. (halaman 11)
Nilai buku ini meningkat drastis ketika saya tahu naskah-naskah cerpennya telah dimuat di pelbagai koran nasional, sungguh pantas saja ceritanya menarik-menarik, meskipun butuh lebih dari satu kali membaca ulang sih karena ceritanya berat-berat. Meskipun begitu Buku Norman bisa dibilang memikat saya karena cerita-ceritanya mengalir berliku-liku tetapi tetap punya makna yang dalam dan kadang menohok sampai ke ulu hati. Bahkan karena beberapa cerita seperti punya benang merah tersendiri bagi cerita lainnya, dalam hal ini cerpen Garpu dengan Membersihkan Rumah di Hari Libur plus Fatamorgana di Meja Makan, lalu cerpen Novelis Terkutuk dengan Tulang Rusuk yang Hilang. Entah bagaimana Norman Erikson Pasaribu menyatukan simpul-simpul yang melatarbelakangi cerita-cerita tersebut sampai akhirnya memiliki benang merah satu sama lain.

            Intinya buku ini saya rekomendasikan pada Anda dengan tanggung jawab saya sebagai pembaca yang merasa puas sekali. Espektasi saya serasa melebihi dari yang diperkirakan, agaknya saya akan mengincar buku kedua, buku ketiga, dan buku seterusnya dari Norman, karena saya sudah kadung cinta dengan cara Norman bertutur, juga teknik dia menuturkan satu per satu pesan yang ia coba sampaikan lewat cerita yang teduh tetapi tetap kental amanat dan kaya akan nilai-nilai sastra yang kontemporer. Semoga pada buku selanjutnya, Norman tetap menjadi dirinya sendiri, sehingga karyanya akan terus hidup dan beraroma legit ketika dinikmati. Sekian.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)