Langsung ke konten utama

Ulasan Novel Dengarlah Nyanyian Angin (Haruki Murakami)



Judul : Dengarlah Nyanyian Angin
Penulis : Haruki Murakami
Penerbit : KPG
Terbit : September 2019
Cetakan : Ketujuh
Tebal : 119 hlm
ISBN : 9786024244071
Harga : Rp50.000


Dengarlah Nyanyian Angin bercerita tentang anak-anak muda dalam arus perbenturan nilai-nilai tradisional dan modern di Jepang tahun 1960-1970-an. Dengan ringan, Haruki Murakami berhasil menggambarkan sosok kaum muda Jepang yang antikemapanan dan tak memilki bayangan ideal tentang masa depan.

Novel pertama Murakami ini memenangi Gunzo Literary Award tahun 1979.

Ulasan

Novel ini adalah novel kedua karya Haruki Murakami yang aku baca. Seperti yang tertulis di sinopsisnya, novel ini memang menceritakan tokoh aku yang kurang lebih berusia 21 tahun. Novel ini mengisahkan aku yang saat itu tengah menjalani liburan musim panas di Jepang.

Sejujurnya saat menyelesaikan novel ini beberapa minggu lalu, aku belum mengerti keseluruhan ceritanya. Aku saat itu membaca dengan sistem baca sekali duduk karena melihat novel ini ketebalannya sungguh sangat tipis yaitu 119 halaman saja. Ternyata apa yang aku lakukan keliru karena berdampak pada pemahamanku pada novel ini yang begitu rendah.

Mungkin aku akan membaca ulang novel ini. Tidak seperti Norwegian Wood yang tebal yang ceritanya sangat membuatku terkesan dan mudah dimengerti, kisah di novel Dengarlah Nyanyian Angin ini tidak setali tiga wang. Ceritanya sungguh dikisahkan sangat datar, terkesan dingin. Mungkin jika tidak kuat, aku akan bilang stop karena sungguh membosankan. Mungkin aku cuma tidak mendapatkan jiwa dari novel ini.

Intinya si tokoh aku dalam novel ini mengisahkan kisahnya sendiri dan tentu saja gaya bercerita cenderung ke arah autobiografi. Cerita yang tokoh aku kisahkan tidak begitu dangkal ataupun suram ataupun menarik. Yang sangat menonjol adalah tentang mantan-mantan kekasihnya. Yang terakhir sungguh kisahnya menarik, yang membuatku tak habis pikir.

Dia juga menceritakan tentang sahabatnya bernama Nezumi kalau tidak salah. Arti namanya adalah tikus. Hubungannya dekat dengan orang tersebut. Dikisahkan Nezumi anak orang kaya, tetapi dia selalu mengeluh tentang kehidupannya. Terasa aneh karena Nezumi juga sering menulis cerita yang di dalamnya tak terdapat adegan seks atau orang mati. Entahlah, datar-datar saja si tokoh aku menceritakan Nezumi, bahkan ada satu bagian saat mereka kecelakaan hanya saja lagi-lagi diceritakan dengan sangat santai, tapi seperti tidak ada emosi.

Meskipun begitu, aku sangat suka dengan pemikiran-pemikiran tokoh aku dalam novel Dengarlah Nyanyian Angin ini. Di buku ini dia kadang melakukan loncatan-loncatan pemikiran yang sungguh membuatku mampu menganggukkan kepala. Beberapa di antaranya aku potret. Karena memang menurutku itu semua menarik. Sangat dalam dan tidak general.


Gambar di atas adalah pemikiran aku tentang kebohongan dan kebenaran yang kadang akan bermuara pada hal yang umum, keduanya jadi tak hitam putih lagi.
Lalu, ada lagi dalam gambar berikut.


Ini pemikiran tokoh aku tentang variasi kekuatan manusia yang sebenarnya sama. Bahkan dia bilang tidak ada manusia yang benar-benar tangguh, yang ada cuma pura-pura tangguh. Suka sekali dengan pemikirannya satu ini. Dan berikut ini yang terakhir.


Entah kenapa pemikirannya yang satu ini mengingatkanku pada benang merah pada cerita film pemenang Oscar tahun ini yaitu Parasite, jangan-jangan sutradaranya juga mendapatkan inspirasi dari dialog di atas.

Nah, banyak sekali kan yang aku dapatkan dari novel Dengarlah Nyanyian Angin karya Haruki Murakami ini. Ya, meskipun aku kurang mengerti ceritanya dari awal sampai akhir, setidaknya aku bisa mengintip pemikiran-pemikiran tokoh utamanya yang harus aku akui lumayan ciamik. Dia ternyata memiliki penulis pujaan bernama Derek Hartfield yang ternyata mati bunuh diri jatuh dari gedung. Ternyata dia cuma fiksional belaka. Padahal aku sampai google namanya di internet. Hasilnya nihil.

Novel ini sangat direkomendasikan untuk dibaca meskipun tidak direkomendasikan saat kamu baru membaca karya Haruki Murakami pertama kali. Soalnya siapa tahu kamu tidak cocok dengan novel ini lalu memutuskan untuk tidak membaca karya-karya lain dari Murakami, padahal karya beliau lainnya bagus-bagus menurut banyak orang. Sekian ulasan singkat ini.[]

Komentar

  1. Yah, ini nama penulis kesekian yang bukunya belum pernah saya baca. Padahal pengen. Tetapi masih maju-mundur karena seperti opini kamu untuk novel ini, rada butuh pemikiran.

    Walau beberapa blogger buku atau blogger lainnya mengulas buku karya Harumi Murakami bagus dan menginspirasi, tapi karena penceritaan beliau yang nyastra, rasanya saya perlu menunggu beberapa saat lagi untuk mencoba mencicipi karya beliau.

    BalasHapus


  2. Iya sastra abis, bacanya perlu pengkhayatan dan disarankan slow reading, soalnya konfliknya enggak mudah dimengerti dan cara dia bercerita banyak pengandaiannya....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)