Langsung ke konten utama

Ulasan Buku Museum Masa Kecil (Avianti Armand)


Judul: Museum Masa Kecil
Penulis: Avianti Armand
Tebal: 148 halaman
Terbit: Juni, 2018
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020384245
Genre: Kumpulan Puisi
Blurb

Museum Masa Kecil menyimpan dan menghadirkan "benda-benda" yang pernah tinggal atau sekadar lewat di masa kanak-kanak saya; seperti cerita-cerita sebelum tidur, kelas menggambar, perbincangan tentang jarak ke bulan, kartu pos, kaktus di lantai lima, buku alamat, bermain hujan, ketakutan menjadi tua, juga kematian.

Sebuah museum, buat saya, menyerupai peta bintang: artikel-artikel di dalamnya adalah konstelasi yang dipakai para pejalan jauh untuk mencapai satu tempat di muka bumi, di satu waktu. Tapi jika peta yang baik membawamu ke tujuan, museum yang baik akan membuatmu "tersesat".

Avianti Armand


Ulasan Buku Kumpulan Puisi Museum Masa Kecil (Avianti Armand)

Perkenalanku dengan buku kumpulan puisi karya Avianti Armand kali pertama adalah pada Buku Tentang Ruang. Buku tersebut berisi puisi-puisi yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan buku yang akan diulas kali ini. Berjudul Museum Masa Kecil, buku ini berisi puisi-puisi superpendek tentang hal-hal yang berkaitan dengan masa kecil penulis. Hal-hal sederhana yang coba disampaikan penulis dalam buku ini mampu membangkitkan nostalgia barangkali jika pembaca kebetulan memiliki kenangan yang mirip.

Puisi-puisi di dalamnya pendek-pendek. Juga puisi-puisi di dalamnya mudah diinterpretasi. Ditambah fisik buku ini yang superunik. Bagian lem perekat samping buku tidak ada, buku ini benar-benar dibuat dengan dijahit, atau dilakukan dengan proses lain. Aku tidak tahu-menahu detailnya karena aku membaca lewat media digital. Hanya saja aku pernah melihatnya sekilas di toko buku.

Beberapa puisi yang bisa aku interpretasi dengan mudah adalah sebagai berikut.


Puisi pertama berjudul Bermain Hujan. Seperti yang dituliskan di lariknya, puisi tersebut berisi narator yang tengah asyik bermain hujan. Lalu, ia menemukan sepasang tangan yang mengharuskannya pulang pada akhirnya. Menurutku memang arti literalnya begitu, si narator asyik bermain hujan, tetapi pada akhirnya ada seseorang mungkin salah satu orangtuanya, menjemputnya untuk pulang. Si narator adalah anak kecil tentu saja.

Maklum, anak kecil kan rentan sakit. Jadi, mereka tidak boleh kan hujan-hujanan dalam waktu yang lama? Bisa-bisa kena flu atau demam. Apakah semasa kecil, kamu pernah diperlakukan seperti itu? Atau orangtuamu membiarkanmu begitu saja? Ya setiap orang dewasa pasti pernah merasakannya, kenangan main hujan-hujanan di masa kecil.


Puisi yang mudah kuinterpretasikan lainnya berjudul Telepon. Seperti dalam lariknya di atas bercerita tentang anak kecil yang baru saja dibelikan telepon merah lalu si anak kecil terus menelpon orangtuanya. Anak tersebut banyak bicara, tetapi menurut orangtuanya ia tak bersuara. 

Menurutku yang dimaksud dengan tak bersuara di sini adalah anak kecil itu tak menyampaikan pesan apapun, hanya bicara asal karena ia sebenarnya hanya ingin bicara alias menarik perhatian orangtuanya. Anak kecil umumnya belum paham dengan makna komunikasi, jadi dia hanya bercuap-cuap membicarakan banyak hal. Apalagi lewat telepon baru, benda yang mungkin menurutnya menarik. Ia bisa bicara tentang temannya, mainan, cuaca, makanan, dan hal remeh-temeh lain. Tidak ada makna atau pesan yang sebenarnya ingin ia katakan. Ia hanya ingin menumpahkan semua yang ada dalam pikirannya lewat bicara random pada orangtuanya.

Kalau puisi di atas bermakna si anak kecil dengan kemampuan menghitung yang ia dapat dari sekolah mencoba mengukur panjang tali dari langit. Benda tersebut adalah kilat yang pada buku puisi ini terdapat fotonya. Anak kecil selalu penuh rasa penasaran sehingga ia mencoba menerka dengan segala kemampuan yang ia miliki terlepas itu terbatas, mereka sungguh tak peduli.

Dan yang kuinterpretasi terakhir adalah puisi di atas. Puisi tersebut adalah momen ketika anak kecil bermain. Penuh fantasi. Seperti itulah anak kecil. Kadang fantasi mereka polos, tetapi bermakna. Membaca ini aku jadi rindu masa kecilku. 

Saat kecil, aku tidak perlu mengkhawatirkan banyak hal. Segala tindakan kadang tak aku pikir efeknya. Namun, bukan berarti aku melakukan banyak hal sembrono. Sepertinya aku tidak seaktif yang lain, tetapi aku tetap berimajinasi. Yang seperti puisi di atas pernah aku lakukan. Hal lainnya mungkin seperti berimajinasi tentang gambar-gambar abstrak yang ada di dinding, atau yang lainnya. Mungkin aku beda generasi dengan Avianti yang lebih jadul, aku sendiri memiliki kebiasaan masa kecil yang tiap kali kulihat pada anak-anak kecil zaman sekarang agak mirip. Hal itu adalah setelah menonton film kartun action/robot/horror kadang aku memperagakannya sendiri. Seperti punya dunia sendiri. Itu sih yang kadang aku lihat pada beberapa anak kecil yang kadang suka main perang-perangan sendiri, kadang mengajak teman-temannya.


Itulah isi pesan buku puisi ini. Beberapa puisi mungkin tak mampu aku interpretasikan dengan mudah karena perlu aku baca dua atau sampai tiga kali. Karena kadang Avianti Armand membawa pengalamannya yang amat personal dalam buku puisi Museum Masa Kecil ini. Yang jelas buku ini memang bisa membangkitkan nostalgia masa kecil setiap yang membacanya, menurutku. Sekian, btw, buku ini bagian dari seri perjalanan masa hidup Avianti, akan ada beberapa buku menyusul diterbitkan di waktu-waktu mendatang.[]

Komentar

  1. Kalau diperhatikan, puisi yang kamu ulas di atas memang memiliki bahasa dan kisah sederhana. Sedikit metafora. Jadi beberapa puisi gampang dipahami.

    Mungkin penulisnya benar ingin bernostalgia dengan ingatan masa kecilnya. Sehingga dia memilih menggunakan format puisi yang sederhana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya memang penulisnya ingin menyampaikan hal itu, hal yang terkait nostalgia semasa kecilnya. Hal-hal sederhana yang banyak orang alami.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)