Langsung ke konten utama

[Review] A untuk Amanda by Annisa Ihsani


"Alam semesta tidak punya kewajiban untuk membuatmu merasa berharga; aku yang harus melakukannya untuk diriku sendiri." Halaman 262.
"Satu-satunya hal yang berpengaruh adalah apa yang kaupikirkan dengan dirimu sendiri." Halaman 253.
"Tidak ada yang bisa berhasil sepanjang waktu. Di sisi lain, tidak ada yang bisa gagal dalam segala hal. Setiap orang punya jatah kesuksesan dan kegagalan." Halaman 161.
Judul: A untuk Amanda
Pengarang: Annisa Ihsani
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Editor: Yuniar Budiarti
Proofreader: M. Aditiyo Haryadi
Sampul: Orkha Creative
Tebal: 264 Halaman
Terbit: Maret, 2016


Mengambil premis gadis penderita depresi, novel kedua karya Annisa Ihsani ini mampu membuatku betah ketika membacanya sampai akhir. A untuk Amanda adalah novel racikan Ihsani yang berkisah mengenai Amanda yang mengalami 'candu akan prestasi', anehnya Amanda selalu merasa dirinya menipu ketika dia mendapatkan nilai A, namun ia selalu panik ketika mendapatkan nilai di bawah itu. Banyak hal-hal yang membuat Amanda 'ricuh' dengan dirinya sendiri selain prestasi di sekolahnya, dia turut pula sering mempertanyakan eksistensinya di dunia ini, hubungannya dengan 'boy next door'-nya bernama Tommy, dan tentu saja mengenai faham yang entah pertama kali ia kenal dari mana (tidak diceritakan) yaitu feminisme yang ia anut dan sepertinya akan dia praktikkan seumur hidupnya.

Menurutku beberapa hal yang membuat buku ini tampak menonjol di tengah bermunculannya buku YA lokal adalah plotnya yang dinamis, dan tentu saja tema ceritanya yang lain daripada yang lain namun masih tetap bisa dinikmati.

Kelebihan pertama adalah plotnya. Dibuka dengan prolog mengenai Amanda yang tengah berjibaku dengan Dr. Eli, Amanda merasa perlu menceritakan latar belakang kenapa dirinya bisa berada di ruang praktik psikiater, di bab-bab selanjutnya kita akan berkenalan dengan kehidupan Amanda yang serba sempurna, setidaknya menurut POV-nya yang disokong banyak pendapat dari karakter-karakter lainnya, sebut saja Tommy, Ibu, dan tentu saja Helen/Helena (silakan pilih salah satu). Amanda, si gadis cerdas yang selalu mendapatkan nilai sempurna, punya cowok yang menyayanginya, dan tentu saja punya prospek kehidupan yang bagus. Cewek kelas sepuluh itu pada akhirnya mulai mempertanyakan satu buah tanda tanya besar dalam dirinya, mengenai selalu-berusaha-untuk-menjadi-yang-terbaik hingga akhirnya ia tak bisa membendung selalu ada suara yang menyertainya di setiap tingkah laku dan keputusan-keputusan yang ia ambil, suara-suara sebaliknya dari dalam jiwa Amanda. Lalu, banyak scene-scene yang mencoba menyokong pergerakan cerita, tampak dinamis, natural, hingga Amanda menginjak ke kelas 12 ketika semuanya sudah tampak tidak sempurna lagi, dia mulai mengambil tindakan ketika satu-keputusan-besar telah ia ambil, sebuah keputusan yang amat sangat salah karena ia merelakan masa depannya lenyap begitu saja setelah perjuangannya yang berdarah-darah selama ini.

Lalu, kelebihan yang kedua adalah tema yang unik. Gadis depresi dan serangkaian praktik dan pemikiran gadis depresi yang sebenarnya cerdas, entah kenapa menurutku tema ini segar di kancah perbukuan remaja Indonesia. Ditambah penulis menyelipkan feminisme dan yang satunya lagi-tentang agnostik. Aku paham dua isu ini sensitif untuk diangkat dalam literatur remaja, namun menurutku Ihsani bisa menyelaraskannya dalam konflik cerita sehingga terasa legit ketika dibaca. Entah kalau yang baca tidak mengerti, mereka sepertinya harus berusaha keras. Hahaha ...

Faktanya, tidak ada gading yang tidak retak. Ihsani memang berhasil mengangkat dua unsur signifikan yang telah disebutkan sebelumnya. Namun menurutku ia kurang berhasil ketika gaya penceritaan ala terjemahan di novel ini yang mencoba mensejajari setting-nya. Kenapa? Menurutku tidak konsisten saja karena, ehmm ... kalau dia mengambil area suburban di sebuah negara tropis X, tentu saja bukan nama-nama khas Indonesia yang berjejalan dengan luar negeri serta budayanya yang bercampur aduk. Memang sih hal itu sah-sah saja, tetapi seperti yang telah aku bilang, itu cukup tidak konsisten. Sebab Ihsani alfa untuk memfokuskan ke seharusnya salah satu saja.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, buku ini bukan hanya cocok untuk dibaca, mungkin juga untuk diteliti, haha... maksudnya apa coba? Entah kenapa membaca buku yang ada feminisme-nya, aku jadi ingat disertasi dosen Writing-ku di kampus, btw dia dapet gelar doktornya karena meneliti novel-novel dengan tema sejenis. Tapi, yup, novel luar negeri sih yang dia coba teliti, yah seharusnya novel ini pun bisa. Terlepas di negara kita gak ada yang namanya department of women's studies di kampus mana pun, setahuku sih. Yang tertarik meneliti, harus pergi ke luar negeri. Ckckck …

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)