Judul:
Till We Meet Again
Penulis:
Yoana Dianika
Penerbit:
GagasMedia
Tebal:
294 Halaman
Terbit:
Cetakan Ketujuh, 2012
Editor:
Rayina
Proofreader:
Gita Romadhona
Desainer
Sampul: Dwi Annisa Anindhika
Tata
Letak: Nopianto Ricaesar
Saat membaca buku ini, aku
jujur saja tertarik terlebih dulu dengan stampel di sampul depan bukunya.
Tercetak ‘juara ketiga 100% roman asli Indonesia’. Aku pikir ceritanya pasti
akan istimewa, ternyata memang benar. Ceritanya romantis sekali.
Berkisah mengenai Elena
Sebastian Atmadja, dia adalah gadis blasteran Indonesia Austria. Elena berniat
kuliah di Austria sejak lama. Pada akhirnya, ayahnya mewujudkan mimpi Elena
untuk kuliah di sana, tepatnya di Wina. Elena mengambil jurusan seni teater,
pun ia mengambil studi di sekolah musik di sana. Ada hal yang sebenarnya Elena
harapkan ketika di Wina, ia rindu bertemu dengan pangeran kaiserschmarrn-nya. Sosok itu selalu muncul di dalam mimpi-mimpi
Elena.
Elena menempati unit
apartemen bersama dua gadis lainnya. Yaitu Dupont dari Perancis, dan satunya lagi
gadis Jepang bernama Kimiko. Dan tak dinyana, di depan unit apartemen Elena,
dua lelaki yang memesona tinggal. Mereka bersaudara. Mereka adalah Christopher Van
Schwind dan Hǟns Steffano. Terutama Hǟns, selalu membuat jantung Elena berdetak
kencang. Dia mengingatkan Elena pada pangeran kaiserschmarrn-nya. Pangeran kecilnya itu bermata kelabu, seperti Hǟns
tentu saja.
Lalu bagaimana kelanjutan
kisahnya ketika hubungan Elena dan Hǟns semakin dekat? Pun Christ yang coba
mendekati Elena, terlebih mereka satu jurusan. Lalu apa hubungan Hǟns, Elena,
Christ, dan gadis Indonesia lainnya bernama Jessica yang mana seorang artis
menyebalkan yang selalu mengintimidasi Elena di kelas sprechen alias kelas bicara? Till
We Meet Again menyuguhkan drama mengharukan sederhana tentang cinta yang
tumbuh seiring berjalannya waktu, tentu dengan cobaan-cobaan peliknya.
Unsur signifikakan dalam
novel romatis pertama karya Yoana Dianika ini setidaknya ada dua, menurutku
sih. Pertama adalah latarnya yang digambarkan dengan apik. Lalu
karakter-karakternya yang loveable. Till We Meet Again punya dua hal itu.
Pertama adalah latarnya.
Baik tempat maupun waktu, penulis tidak pernah alfa mendeskripsikannya dengan
apik. Sang penulis selalu menggambarkan hampir bagian-bagian deskripsi penting
dengan penceritaan lima indra. Jadi semunya terkesan nyata. Patut diacungi
jempol, tiap kali mendeskripsikan orang pun detail, entah kenapa menjadi nilai
plus bagiku. Aku turut merasakan yang penulis jelaskan, meski POV 3.
Kedua adalah karakter-karakternya
yang lovable. Terutama Elena dan
kawan-kawannya. Entah kenapa aku malah sangat bersimpati pada mereka. Hehehe ….
Elena yang ceroboh, tapi cantik dan pintar berperan, dan tentu saja lihai
memainkan biola. Sedangkan Dupont, sebenarnya ramah hanya saja hemat
mengelurakan kata-kata. Dia cantik, elegan, dan berwibawa. Berkebalikan dengan
Kimiko yang sangat bawel, centil, dan dengan dandanannya yang warna-warni,
kesannya weird. Dupont & Kimiko
terutama, mereka berdua sangat peduli pada Elena terutama terkait masalah
cintanya.
Lalu, apa sih kelebihan
dari novel ini? Menurutku selain dua hal signifikan yang telah kupaparkan tadi,
kelebihan novel ini memang jempolan di penjabaran Wina, dan segala tetek bengek
mengenai sekolah musiknya dan segala macam hal yang berkaitan dengan seni di
Wina. Cantik. Segala hal yang dipaparkan penulis bisa membuat pembaca tergugah
dengan teknik deskripsinya. Membuat hal ini tampak menonjol dari novel ini.
Pembaca berpotensi jadi-ingin-pergi-ke-Wina setelah membaca novel ini.
Sebaliknya, kekurangan
buku ini adalah masih banyaknya typo
di beberapa bagian. Sayang sekali, padahal novel yang baru saja aku baca ini
sudah cetakan ketujuh. Bayangkan, typo masih
bertebaran, dan sepertinya tidak ada itikad dari penerbitnya untuk memperbaiki
hal ini. Entah deh, di versi ebook di
play store masih ditemukan typo tidak. Sayang sekali, seharusnya
ada perbaikan melihat novel ini laris manis.
Well, novel
ini aku rekomendasikan untuk siapa saja yang menyukai kisah romantis. Ceritanya
menghanyutkan dan kita akan menikmati sajian deskripsi Wina, dan segala hal
terkait seni di dalamnya dengan sangat indah. Buku ini membuatku tidak bisa
beranjak ketika membacanya, kisahnya apik, manis, dan jujur saja membuatku ingin
membaca karya lain dari penulisnya. Hemmm, di perpus kampusku ada Last Minute in Manhattan, semoga ada
kesempatan untuk membaca karya Yoana Dianika yang itu.[]
Komentar
Posting Komentar