Langsung ke konten utama

Ulasan Novel The Boy I Knew from Youtube (Suarcani)


Judul: The Boy I Knew From Youtube
Penulis: Suarcani
Penyunting: Midya N. Santi
Sampul: sukutangan
Penyelaras: Wienny Siska
Tebal: 256
Terbit: Februari, 2020
Genre: TeenLit
Harga: Rp75.000

SINOPSIS
Pada hari pertama di SMA, Rai terkejut. Ternyata Pri, pemilik channel Pie Susu, adalah kakak kelasnya. Mereka sering berinteraksi di kolom komentar YouTube, bahkan lanjut ke e-mail.

Pie Susu tidak pernah mengetahui identitas Rai. Video cover lagu-lagu yang Rai nyanyikan di channel Peri Bisu hanya menayangkan sosoknya dari belakang. Itu pun sebatas pundak ke atas. Karena sudah tiga tahun Rai tidak lagi nyaman menampilkan bakat menyanyinya di dunia nyata.

Saat tiba-tiba Rai terpaksa harus tampil lagi di depan umum, Kak Pri bersedia mengiringinya dengan gitar. Persiapan lomba akustik pun menggiring interaksi mereka di dunia nyata. Namun, Rai masih tidak percaya diri. Terutama ketika gosip dan perlakuan tidak menyenangkan atas ukuran tubuhnya kembali mencuat.

ULASAN NOVEL THE BOY I KNEW FROM YOUTUBE KARYA SUARCANI

Pertama kali membaca novel Suarcani dari lini Young Adult berjudul The Stardust Catcher, lalu dilanjutkan di lini yang sama berjudul Welcome Home, Rain. Sempat membaca e-book novela Suarcani berjudul Proyek Rahasia Lula, lalu aku juga membaca metropop karangannya berjudul Rule of Thirds. Ada satu hal yang sama bisa ditemukan bahkan di novel terbarunya juga. Hal itu adalah Bali. Ya, setiap novel yang ia buat selalu ber-setting tempat di Bali. Mungkin karena beliau ingin mengenalkan Bali, terlebih dia juga orang Bali yang berdomisili di Bali. Dalam novel ini, Suarcani mencoba meng-highligt tema body shaming yang dialami karakter utamanya bernama Rai.

Body shaming adalah upaya seseorang/kelompok yang sengaja atau tidak sengaja mengkritik atau mengomentari fisik seseorang. Biasanya bertujuan untuk guyonanan, atau memang untuk mem-bully. Pokoknya tujuannya jelek. Yang biasanya bikin orang yang dikomentari merasa terganggu karena ia merasa terhina/dipermalukan. Entahlah, definisi itu benar atau tidak, tapi itu opini pribadiku. Sebagai orang yang sempat/pernah bahkan sering mendapatkan perlakuan body shaming juga, aku geram jika ada orang yang dengan mudahnya mengkritisi bentuk tubuh orang lain, biasanya bagian tubuh yang jelas tidak sempurna. Kadang, aku hanya diam, atau ketawa-ketiwi menanggapinya, padahal dalam hati aku menangis, kadang aku ingin mengonfrontasi orang tersebut, pengen banget ngomong "kenapa sih lo malu-maluin gue mulu?" Tapi, berhubung aku seorang peace maker, aku dibawa selow, padahal aku sebenernya gedek lho.

Hal itu mungkin dirasakan Rai. Bagaimana ya? Terlebih Rai sepertinya sulit mengekspresikan ketidaknyamanannya atau lebih sering memendam masalahnya sendiri. Alhasil, dia jadi kurang pede, minderan, dan sebagainya. Hal inilah yang membawa konflik bertubi-tubi bagi Rai, kasian sih. Sebagai pembaca aku turut bersimpati pada Rai, pasti berat menjalani hidup terus menerus dirundung karena hal yang tidak dia inginkan, karena hal yang seharusnya dia syukuri. Untung saja, Rai tidak mengalami depresi.

Suarcani sebagai penulis mencoba memberikan pesan bahwa seharusnya kita tidak sibuk mengurusi fisik orang lain. Karena fisik orang juga seperti karakternya, dibentuk oleh lingkungan atau memang sudah alaminya seperti itu, bisa diubah meski bisa saja sulit untuk ditransformasikan. Bisa saja orang yang fisiknya kurang sempurna itu sudah mencoba berubah, tetapi belum berhasil. 

Lagian, masih banyak urusan yang perlu dibenahi ketimbang fisik kan? Menurutku, jika sudah berolahraga cukup saja sudah baik, emang perlu dana, waktu, dan energi biar bisa menjadi sempurna, faktanya enggak semua orang bisa seperti itu. 

Apalagi jika bagian tubuh itu susah diubah, misalnya hidung yang terlalu mancung atau pesek misalnya, mata yang besar salah satunya, perlu duit gede coy buat operasi misalnya. Syukur kalo anak sultan, bisa langsung terbang ke Singapura atau Korea buat operasi. Kalo anaknya gak mampu atau masuk kelompok sobat missqueen gimana dong?

Kalau ada orang yang seenak jidat selalu komentar dengan fisik orang lain, aku selalu menganggapnya otak kosong, eh kasar banget ya bahasaku, mungkin orang tersebut hanya perlu wawasannya ditambah. Memang manusia kan makhluk visual tapi masih banyak kan aspek lain yang bisa dikomentari atau bahkan dipuji ketimbang tampilan luarnya belaka. Seperti bagaimana perilakunya atau bagaimana cara pandangnya terhadap banyak hal. 

Intinya jangan jadi makhluk shallow lah seperti teman-teman Rai yang dengan mudahnya menggosipkan kekurangan Rai, jadi kan potensinya enggak keliatan. Bener loh, seperti Rai yang bakat menyanyinya potensial. Karena dia jam terbangnya rendah karena gak pede tampil akibat sering di-bully efeknya bakat Rai kurang terasah. Coba kalau banyak Rai-Rai lain yang potensial tapi dirundung/ditindas terus, kan kasian banget. 

Pokoknya sebagai novel remaja, novel The Boy I Knew from Youtube ini direkomendasikan banget buat dibaca karena tema yang diangkat kekinian dan penting banget dicerna terutama oleh remaja-remaja agar mereka lebih bijaksana dalam menyikapi topik body shaming. Karena fisik bukan hanya ukuran untuk menilai seseorang kan. Utamanya, lebih baik ga usah nyinyirin fisik orang lah, manusia kan ciptaan Tuhan, kalo kalian menghinanya berarti kalian merendahkan Tuhan juga kan? Bottom line, novel ini layak banget dibaca deh![]

Komentar

  1. Tema yang lagi hype saat ini, perundungan. Apalagi menyangkut body shaming, duh itu pasti berat banget menerima perlakuan tidak mengenakan begitu.

    Tetapi saya sungguh penasaran, Rai ini punya kekurangan apa ya sampai dia mengalami perundungan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya temanya lagi hits banget, tentang body shaming dan perundungan... Kalo dari blurb emang an agak kecele, ternyata emang bukan ukuran tubuhnya yang oversize yang jadi hal lain, tapi salah satu bagian tubuhnya.... Sok aja dibaca kang adin, biar gak penasaran.... gaj tau tuh kalo di review lain disebutin enggak kekurangan tersebut, aku pas nulis review emang gak kepikiran ngejelesinnya... ternyata alam bawah sadarku juga enggak nay spoiler kali ya jadi secara gak sadar ga ditulis kekurang Rai tersebut di review ini....

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)

 

Review Never Have I Ever Season 2 (Sebuah Ulasan Singkat)