Langsung ke konten utama

[Review] Sergius Mencari Bacchus by Norman Erikson Pasaribu


Judul: Sergius Mencari Bacchus
Penulis: Norman Erikson Pasaribu
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 70 Halaman
Terbit: Cetakan Pertama, April 2016
ISBN: 978-602-03-2789-1

Buku puisi Sergius Mencari Bacchus adalah pemenang pertama sayembara manuskrip buku puisi DKJ 2015. Puisi-puisi dalam buku ini dianggap mutakhir sehingga menjadikannya pemenang pertama. Sang penulis menuliskan 33 buah puisi dalam buku ini. Tema-tema puisinya pun terasa kontroversial di kancah sastra negeri ini karena buku puisi itu membahas preferensi seksual yang berbeda, bahkan dunia LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Buku ini menjadi unik di zamannya karena membungkus hal-hal tabu tadi dalam prosa bentuk puisi. Wajar jika buku ini menang.

Meskipun jumlah puisinya paling sedikit dibanding manuskrip pemenang kedua Kawitan (42 puisi), dan Ibu Mendulang Anak Berlari yang juara ketiga (62 puisi), puisi-puisi dalam buku ini terasa signifikan dalam segi kuantitasnya karena mayoritas puisi yang terangkum adalah puisi-puisi naratif yang panjang. Puisi-puisi buah karya Norman yang alumni STAN ini sebagian besar tercetak rata-rata dua hingga tiga halaman. Bahkan puisi terakhir dalam buku ini tercetak hingga 16 halaman (puisi naratif tersebut berjudul Ragam-Macam Payung Beserta Karakteristiknya halaman 52-67).

Norman seakan mendobrak pakem penulisan puisi Indonesia yang biasanya disajikan larik demi larik atau bait demi bait. Dalam puisi-puisinya di buku ini, pembaca jangan harap menemukan puisi-puisi bentuk konvensional karena Norman menyajikan puisi-puisi naratif. Meskipun begitu, kedalaman setiap puisi-puisinya mampu membius pembaca. Terkadang narator dalam setiap puisi-puisi Norman adalah tokoh ‘aku’ atau Norman sekadar mendongengkan tokoh tertindas atau cerita sedih dalam puisinya.

Tengok saja puisi terpendek dalam buku ini berjudul Paradiso (halaman 14). Bunyinya sebagai berikut: Ia ada di sini/bersama segala/Yang Hilang & tak pernah/Ia punya/. Seakan Norman ingin mengungkapkan makna bahwa seseorang tengah dalam keadaan paling menyengsarakan dalam hidupnya, maka pembaca diharapkan bersimpati kepada tokoh yang tengah nelangsa itua. Sedangkan, puisi-puisi lainnya mengambil tema LGBT. Di dalam puisi Curriculum Vitae (halaman 49-51), Norman sebagai sang penulis mendongengkan tentang seorang gay dari suku Batak yang terpuruk. Semenjak kecil ia dihina dan ditindas bahkan bukan saja oleh orang lain melainkan keluarganya sendiri juga. Yang terparah adalah orang-orang marganya selalu membincang sang tokoh malang tersebut, hingga ia melakukan percobaan bunuh diri berkali-kali.


Puisi-puisi Norman dalam buku ini terasa menyentil keadaan sosial yang terjadi di Indonesia khususnya. Kaum LGBT tak mendapatkan tempat yang cukup di negeri yang berideologi Pancasila ini. Tentu saja karena negeri ini bukan negara liberal. Barangkali, Norman hanya ingin menyuarakan sesuatu yang bisa jadi terlampau sensitif jika diproklamirkan langsung. Maka, lewat buku kumpulan puisi pertamanya, Norman percaya medium dalam sastra ini mampu menyampaikan hal-hal yang ada dalam pikirannya. Untung saja segala pendapat semua orang di negeri ini direstui.[]

Komentar

  1. manfaat dari kita membaca puisi sergius mencari bachus yang bertemakan LGBT ini apa???

    BalasHapus
  2. manfaatnya adalah dari segi sastra, kamu bakal tahu bentuk-bentuk puisi yang jarang kamu temukan di buku buku puisi sejenis... kalo menyakut tema sih, kayaknya saya udah jelasin di review .. hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)