Penulis: Henny Alifah
Penerbit: Indiva
Terbit: Cetakan Pertama, Maret 2015
Tebal: 192 Halaman
Penyunting: Mastris Radymas
Desainer Sampul: Naafi Nur Rohma dan Andhi Rasydan
ISBN: 978-602-1614-48-8
Ukuran: 13,5 cm x 20 cm
Harga: Rp45.000,-
“Buku-buku pelajaran itu
adalah saksi bisu perjuangan bagi para murid sekolah. Ketika mereka dewasa,
telah bekerja, telah menemui takdir masing-masing, telah berkeluarga, bahkan
mungkin melanglang buana ke seluruh penjuru dunia, mereka akan ingat segala
yang mereka peroleh sekarang ini dulunya berawal dari titik ini. Dari rumah,
dari sekolah kecil mereka. Buku-buku itu saksinya. Tulisan semrawut, tidak
rapi, dan buruk rupa itu adalah hasil coretan mereka. Ketika memori telah mulai
meninggalkan mereka, buku-buku itu membantu mereka memanggil kembali memori
itu. Dan, itulah yang membuat mereka tersenyum di hari tua.” (Halaman 22).
Novel Buku Ini Tidak
Dijual adalah karangan perdana Henny Alifah. Buku ini dinobatkan sebagai
pemenang pertama Lomba Menulis Novel Inspiratif Indiva 2014. Dengan judul yang
sangat provokatif, novel ini menyajikan cerita yang sederhana, namun pesannya
tidaklah main-main. Inti ceritanya sendiri mengenai petualangan Gading dan
Kingkin yang harus menemukan dan membawa kembali buku-buku Padi (ayah Gading),
benda-benda berharga milik ayah Gading itu dijual dengan sangat murah dan tega
oleh kakek Gading.
Tokoh utamanya adalah Gading
yang berusia 20-an yang tengah berlibur di kampung halaman tempat tinggal
kakeknya.Selain itu ada Padi alias ayah Gading yang keras kepala, Kingkin si
sepupu Gading yang seumuran dengannya, dan tentu saja kakek Gading alias ayah
Padi yang sebelas duabelas dengan Padi, sama-sama keras kepala. Serta
tokoh-tokoh figuran lain yang turut menyokong jalan cerita novel ini, mengenai
misi penyelamatan buku.
Secara tersirat, novel
ini berusaha menyampaikan tiga pesan utama, diantaranya menghargai buku sebagai
barang amat berharga, kritik-kritik terhadap kehidupan masyarakat, dan tentu
saja mengenai pertikaian antar anggota keluarga. Namun, dalam plot yang
disajikan limabelas bab novel ini, bisakah Gading mendapatkan kembali buku-buku
ayahnya tanpa tertinggal satu eksemplar pun?
Pesan yang pertama
adalah mengenai menghargai buku sebagai barang amat berharga. Penulis berhasil
menyampaikan realita yang umum ini dalam bentuk novel. Topik mengenai
penghargaan yang rendah atas buku sangat jarang dibahas penulis lain alias jarang
ada penulis yang peka akan tema ini. Henny Alifah menuangkannya dalam cerita
petulangan Gading mencari buku-buku ayahnya yang tega dijual oleh kakeknya. Hal
ini berakar dari ayah Padi yang sangat menyepelekan arti buku, andai saja ia
tak gegabah menganggap buku-buku anaknya sendiri sebagai sampah, Gading tak
perlu kerepotan dan Padi tak perlu berselisih paham dengannya. Berikut
kutipan-kutipan dari ayah Padi yang menganggap buku-buku Padi tak bernilai. Hal
ini pemicu kemarahan Padi, maka Gading terkena imbas.
“Apa
baiknya buku-buku itu? Hanya barang bekas!” (Hal. 21)
“Buku-buku
pelajaran zaman SD, SMP, SMA, kan, sudah tidak digunakan lagi? Kalau tidak
digunakan, artinya itu barang bekas!” (Hal. 21)
“Siapa
yang akan membaca buku SD-mu? Bahkan, kurikulum sudah berganti berapa kali?”
(Hal. 21)
“Bagaimana
menurutmu, Gading, kalau koran dan majalah sudah tidak dibaca lagi, sudah
terlewat tanggal terbitnya, bukankah itu namanya bekas?“ (Hal. 23)
Dari konflik ini karakterisasi para tokoh berkembang.
Berawal dari Padi sang ayah Gading, ia keras kepala sekali sangat menginginkan
bukunya kembali. Ia menggertak Gading untuk melakukan tindakan penyelamatan
bukunya, ia menginstruksikan Gading untuk mencari buku-buku itu sampai dapat.
Tidak hanya itu, ia pun berselisih paham dengan ayahnya sepanjang cerita, tidak
hanya saat sebelum Gading disuruh pergi mencari buku, tetapi saat Gading
kewalahan mencari buku pula. Dialognya terdapat di halaman 78.
“Bapak
ingin aku berkata apa?”
“Sudah
kubilang, aku selalu ingin hal-hal terbaik untukmu.”
“Aku
bilang pada Gading bahwaaku tidak pernah menyerah mendapatkan buku-buku itu.”
“Kenapa?”
“Buku-buku
itu adalah harta karunku. Tidak akan kubiarkan seorang pun merampasnya dariku.”
“Tidakkah
kamu egois?”
Padi
tertawa lagi. Masih miris.
“Kurasa
aku mendapatkan sifat ini darimu.”
Sedangkan, kakek Gading alias ayah Padi sebelas
duabelas dengan Padi seperti yang contohnya terefleksi dari dialog di atas.
Namun, yang membedakan adalah kakek Gading terkesan lebih egois karena tidak
mempertimbangkan dahulu ketika akan menjual buku-buku Padi. Saat hendak
menjualnya pun ia malah minta pendapat Gading yang tidak tahu menahu perihal
buku-buku ayahnya sendiri. Lalu, Gading sebagai tokoh yang survive dalam novel ini mencoba berbakti kepada orangtuanya, bisa
dikatakan juga dia tokoh yang bertanggung jawab karena bersedia mencari buku
hingga larut malam melintasi berbagai daerah dan mendapatkan banyak hambatan,
ia tak menyerah sekalipun. Begitupun tokoh Kingkin, dia adalah sepupu yang baik
hati, sedikit ceroboh karena meskipun rela menolong Gading, kadang ketika
menemui masalah ia tak berpikir panjang untuk mencari solusi terbaik, terbukti
saat tawar menawar buku tanpa Gading, ia menyelesaikan masalah dengan jalan
pintas ia bersedia mencarikan buku lain untuk sekolah yang membeli sebagian
buku Padi, pamannya.
Pesan kedua yang coba disampaikan adalah mengenai
kritik-kritik terhadap fenomena sosial di kehidupan masyarakat. Di dalam novel
ini bertebaranpesan-pesan bermakna yang bisa disarikan dari kearifan-kearifan
masyarakat lokal yang turut diceritakan. Saya kira, penulis mencoba agar
pembaca tidak bosan ketika membaca novel ini lewat pesan-pesan terhadap
kearifan lokal yang diracik sedemikian rupa sehingga novel ini terasa berbobot.
Sebut saja misi penyelamatan Gading di check
point pertama, di sekolah swasta yang kekurangan buku. Pak Saidi
mengutarakan sindirannya terhadap pemerintah di halaman 67.
“Buku-buku
ini untuk mereka. Sekolah kami adalah sekolah swasta. Cukup sulit bagi kami
untuk memiliki sebuah perpustakaan lengkap, karena tidak mendapat dana dari
pemerintah. Bertahun-tahun buku di perpustakaan sekolah ini tidak bertambah
jumlahnya. Tahun ini kami mendapat
tambahan donatur sehingga sekolah dapat menganggarkan untuk pengadaan buku-buku
perpustakaan. Tetapi, sekolah kami tidak memiliki anggaran besar untuk membeli
buku-buku baru. Jadi, kami hanya membeli buku bekas.”
Betapa ironisnya hal tersebut, di sisi lain Gading harus
membeli buku-buku yang telah dijual secara sukarela kepada mereka dari pihak
lain. Paradoks dalam novel ini memberikan warna tersendiri. Selain itu, ada
juga kritik mengenai keenganan beribadah di masjid yang tertuang dalam subplot
pencurian sandal di masjid saat Gading sedang solat saat di perjalanan
selanjutnya memburu buku. Paradoks ini mencerminkan bahwa kejahatan bisa
terjadi di mana saja, bahkan di tempat ibadah yang suci sekalipun. Sebelumnya
ada subplot mengenai Pak Mersudi yang berurusan dengan Gading, dia si penadah pertama
buku bekas yang baik hati kepada Gading, meskipun secara teknis dia dirugikan.
Saat di rumahnya, Gading mendapatkan perlakuan yang baik meskipun ia baru kenal
dan langsung berurusan dengannya. Gading jadi membandingkan perlakuan warga
desa yang ikhlas berbuat baik itu dengan teman-teman kotanya di kampus yang
mayoritas individualis. Banyak lagi kritik-kritik yang secara halus diungkapkan
penulis, membuat novel ini padat dengan nilai-nilai inspiratif yang dituturkan
secara tidak langsung, efeknya pembaca tak akan merasa digurui. Semua itu
menunjukkan bahwa novel ini tidak hanya mengungkap satu amanat besar mengenai penghargaan
terhadap salah satu karya literasi, ada juga amanat-amanat lain yang sama hebat
yang coba diselipkan untuk membuat novel ini bagus bibit, bebet, dan bobotnya.
Hal terakhir yang coba disampaikan penulis adalah
mengenai pertikaian dalam keluarga. Hal ini menjadi sangat kontras dalam novel
ini ketika pemicu masalah bukanlah harta, melainkan mengenai hal lain yang
cenderung jarang diangkat oleh penulis lain. Padi yang marah karena
buku-bukunya dijual sebenarnya secara kasat mata tak melihat bahwa ayahnya
melakukan itu dalam rangka memperingatkan Padi, bahwa ia juga sebagai orangtua
perlu diperhatikan, hal ini diungkapnya di halaman 185 saat antiklimaks tengah bergulir.
“Aku pikir, kamu
lebih sayang buku-bukumu daripada aku. Saban hari, setiap kamu pulang, hanya
buku-buku yang kamu ajak bicara. Sementara tubuhku semakin ringkih. Aku
ketakutan jika kelak mati dalam kesendirian padahal anakku masih hidup.”
Saat itu pula Padi sadar bahwa ia melupakan sesuatu
yang penting juga dalam hidupnya. Setelah misteri berharga dalam setiap buku
Padi terungkap, keduanya saling sadar dan seharusnya penulis menjabarkan
resolusi masalah ini, bahwa jika saja kedunya berkomunikasi dengan baik, maka
tak perlu hadir masalah ini. Untung saja antara Gading dan Padi tidak ada
masalah, kalau saja ada maka novel ini bisa lebih tebal. Konflik pertikaian
keluarga memberikan pesan tersirat bahwa keluarga adalah harta berharga paling
monumental dalam hidup ini, novel ini berhasil pula meringkasnya dalam konflik
yang resolusinya malah menjadi klimaks yang membuat jantung setiap pembacanya
mencelus.
Secara teknis, saya kurang bisa menemukan kekurangan novel
ini. Mungkin yang menjadi kekurangan adalah ornamen lain dalam novel ini kurang
digali lebih dalam. Misalkan setting
tempat, meskipun tidak berpengaruh signifikan terhadap ceritanya, namun bisa
saja menjadi pemanis, begitupun background
setting suasana dan waktu, sama-sama kurang diekplorasi. Saya hanya
khawatir, jika saja novel ini bukan hadir dengan labelnya sebagai juara satu
LMNI, pembaca bisa saja protes terhadap hal-hal tadi, meski tak dipungkiri yang
dijual novel ini adalah kesederhanaanya dalam bercerita, pun bahasa lugasnya.
Novel Buku Ini Tidak Dijual hadir dengan pesan-pesan
provokatifnya yang dalam. Novel ini bisa dinikmati oleh siapa pun, tentu saja
hal yang harus diperhatikan ketika membacanya adalah betapa penulis menyajikan
suguhan manis sederhana yang menjanjikan. Novel ini bisa dijadikan referensi
bacaan bagus yang segar karena pesan-pesannya mengajak kepada kebaikan dan
fokus topiknya adalah hal yang benar-benar baru, mengenai
literasi.[]
Lengkap dan runut sekali resensinya, Kang. :)
BalasHapusIya kang, harapannya sih biar pembaca review bisa lebih fokus ketika membaca, hehe ...
BalasHapusJudul bukunya unik.
BalasHapusIya bu memang sangat provokatif, untung saja itu bukan arti dari novelnya, melainkan makna ceritanya...
BalasHapus