![]() |
Sumber foto di sini |
Penulis: Vilda Sintadela
Penerbit: Bukune
Terbit: Cetakan Pertama, 2015
Tebal: 320 Halaman
Editor: Ayuning
Rinjani adalah seorang
reporter di majalah CulturArt Bandung. Suatu hari di tahun 2009 ia memisahkan
diri dari rombongan teman-teman kerjanya yang berlibur ke Karimunjawa. Alasan
Jani tidak ikut serta karena ia bosan terus-menerus diganggu fotografer
majalahnya itu, dia bernama Raga si cowok playboy berwajah putih mulus bersih
yang genit. Rinjani pun berkunjung ke Yogya, tepatnya ke rumah sahabatnya saat
SMA bernama Olin, terpaksa harus kembali mengulang nostalgianya setahun lalu,
bersama pria bernama Rakata.
Cerita kemudian
bergulir ke suatu masa di 2008, saat itu Rinjani sedang ditugaskan untuk
melakukan liputan khusus, seharusnya dia datang ke Yogya dengan seorang
fotografer bernama Alif, namun menurut bosnya Alifsedang meliput di tempat
lain,Di kereta kacau tempat Jani berpindah tempat dari Bandung menuju Yogya, Rakata
hadir dengan obsesinya menaklukkan gunung di Jawa sampai dengan Sumbawa. Siapakah
Rakata? Kenapa semenjak kehadirannya, Jani tak hentinya merasa risau? Lalu,
setahun kemudian ke mana ia pergi?
Rakata dan Rinjani
adalah novel kedua karya Mbak Vilda Sintadela, sekaligus novel ini juga karya
kedua yang saya baca darinya setelah Let
It Be Love. Kebetulan, novel ini adalah juara ketiga dari kompetisi Teen
and Young Adult Romance Novel Bukune tahun 2013. Ternyata setelah menunggu
lama, novel ini akhirnya diterbitkan juga. Saya berkesempatan membaca buku ini
setelah swap buku dengan Mbak Vilda.
Isi ceritanya ternyata lebih ringan dibanding novel dia sebelumnya yang
berjudul Let It Be Love.
Novel ini beralur maju
mundur, beberapa bab yang menceritakan masa sekarang diselingi dengan cerita di
masa lalu. Namun, yang menjadi cerita pentingnya adalah kisah masa lalu yang
bergulir hanya seminggu, namun sangat berkesan. Saat Jani kebingungan meliput
dikarenakan konsepnya amburadul akibat fotografer Alif tak bisa membantunya,
maka Rakata hadir menawarkan bantuan. Rakata ternyata piawai juga dalam hal
potret-memotret, Jani amat sangat terbantu, tidak hanya itu Rakata juga
memberikan banyak ide kepada Rinjani terkait penulisan artikel yang Jani garap,
mengenai Yogyakarta, terutama Merapi dan kehidupan di sekitarnya yang masih
kental kearifan lokalnya.
Novel ini diceritakan
dari sudut pandang pertama, berbeda dengan Let
It Be Love yang diceritakan lewat POV orang ketiga. Sehingga, pembaca bisa
mengetahui emosi Jani lebih dalam, bagaimana karakternya berkembang, dan tentu
saja dengan POV ini penulis mengharapkan pembaca terkagum-kagum dengan sosok
Rakata yang misterius. Memang, karakterisasi sosok Rakata dikembangkan secara
tahap demi tahap, dunianya yang kadang kelam tak langsung dieksplor lebih dalam
di bagian awal. Hal itu membuat Rakata yang kalem, semakin bertambah level
kecakepannya, karena apa yang ada di balik misinya menaklukkan gunung-gunung
berapi di Jawa sampai Sumbawa adalah misi yang amat mulia.
Dibanding Let It Be Love, novel ini lebih terasa
suasana setting tempatnya, maklum
karena konsen penulis sepertinya ingin mengeksplor lebih dunia petualangan
Rakata dan Rinjani. Namun yang menjadi sorotan adalah konfliknya menjadi minim,
malah bisa dibilang hanya ada konflik internal dalam diri Jani saja yang
dieksplor lebih. Meskipun begitu, novel ini seakan mencoba memberikan
perspektif baru bahwa tidak selamanya novel bertema Young Adult harus mengangkat topik yang berat, pengemasan yang
ringan malah bisa memberikan kesan mengagumkan juga. Rakata dan Rinjani hadir
dengan kesederhanaannya sebagai cerita yang sebenarnya tergolong kisah
orang-orang dewasa, namun masih bisa dimaklumi. Terlebih, novel ini penceritaannya
terasa segar karena tidak njlimet-njlimet
amat.
Di setiap transisi per
babnya, penulis menuliskan kutipan isi hati Rinjani yang digubah ke bentuk
puitis, memberikan kesan bahwa novel ini tidak ditulis untuk segera cepat-cepat
diselesaikan kala dibaca. Beberapa bagian tersebut terkesan manis, mengungkap
kemisteriusan Rakata yang notabene si Tuan Gunung Berapi yang memilih jalannya
sendiri. Beberapa kutipan isi hati Rinjani sebagai berikut.
“Memang bukan kuasaku menghilangkanmu dari muka bumi. Tapi, ketika
pesanku tak juga tersampaikan, salahkah aku karena berpikir begitu?” (Hal.97)
“Aku kira, itu akhir pertemuanku denganmu. Jika begitu,
aku tak sempat berterimakasih, dan aku pasti akan menyesali itu. Sama seperti
kamu yang menyesal tak sempat menyapa Merapi di bukit itu.” (Hal.121)
“Dia membawa kisahku pergi bersamanya, meninggalkan
kenangan tergenang di kepala. Di mana kamu berada? Kamu bilang semua bisa datang
dan pergi.” (Hal. 249)
Overall, novel kedua karya Mbak Vilda Sintadela ini cocok dibaca
ketika kamu sedang dalam perjalanan. Ketika bosan di kereta yang membawamu
pergi jauh ke suatu tempat, kamu bisa masuk ke kisah Rakata dan Rinjani ini,
sambil berharap ada seseorang yang sukarela menemanimu dalam perjalanan baru,
membuat kenangan yang sebelumnya belum pernah terpahatkan, seperti Rakata pada
Rinjani, kisah seru petualangan hati dan rasa mereka bisa berakhir manis meski sebelumnya
harus dilalui dengan segudang tanya dan teka-teki takdir yang membuat mereka
saling mempertanyakan perasaan satu sama lain.[]
masih adakah buku nya???
BalasHapus