Dara telah kutemui di Kafe
Cemara 31 dua bulan lalu. Awalnya kami saling mengenal lewat media sosial
Instagram. Kemudian kami saling akrab karena memiliki kesamaan pada bidang
fotografi. Setelahnya kami sering memburu foto bersama-sama hanya untuk kami
pajang di situs yang memang terkenal dengan foto-fotonya itu. Lebih tepatnya
aplikasi yang selalu menampilkan hal-hal indah tersebut.
Dara adalah gadis remaja
sepertiku juga. Dia sedang berada di tingkat satu SMA, sama sepertiku.
Sekolahku dan sekolahnya hanya berjarak kurang lebih dua kilometer yang
sama-sama berada di jantung kota kami yang padat penduduk dan selalu terasa
panas bagaikan kompor hidup yang tak pernah dimatikan. Aku dan Dara sama-sama
selalu mengeluh tentang hal ini, andai kota kami lebih sejuk.
Aku sangat dekat dengan Dara.
Meskipun kami baru kenal selama dua bulan saja. Aku bagaikan wadah polos kosong
yang selalu siap menampung apa saja sedangkan Dara seperti cawan bocor yang
memiliki bolong menganga sangat lebar. Maka, kita berdua cocok satu sama lain
karena Dara mengakuiku sebagai pendengar yang sangat baik ditambah dia sebagai
pribadi extrovert yang terbuka.
Akhir-akhir ini segala
keindahan itu tak tampak sempurna lagi karena Dara pelan-pelan selalu saja menghindariku.
Setiap kali aku mengajaknya untuk bertemu, yang ada jawaban ajakanku adalah
penolakan-penolakan berkali-kali yang sudah sangat-sangat parah. Ada apa Dar?
Kadang aku hanya ingin bertanya seperti itu saja, pada akhirnya kata nihil yang
aku dapatkan. Aku tidak berani.
Dara pernah bilang kalau
akhir-akhir ini hatinya selalu berwarna-warni. Karena seorang cowok sedang
mendekatinya. Dan seperti remaja perempuan lainnya, awalnya Dara seperti
sedikit-sedikit menolak. Namun, pada akhirnya ia terima juga. Gayung bersambut
istilahnya, entahlah aku tidak tahu siapa cowok beruntung yang mendekati Dara.
Intinya semenjak kejadian tersebut, Dara benar-benar tidak bisa menepati
janjinya lagi. Kusebut itu sebagai janji Dara. Janji untuk bersama-sama memburu
foto setiap Sabtu sore. Kami mengejar senja, atau senja yang mengejar kami.
Kami para fotografer amatir yang selalu saja merepotkan satu sama lain. Apa
mungkin Dara merasa aku sangat membuatnya merasa tidak nyaman? Aku sebenarnya
lelah untuk terus menduga-duga ini atau itu, hal tersebut atau hal lainnya.
Maka sore ini aku menyengaja
untuk datang ke sekolah Dara. Sungguh beberapa wajah sangat familiar. Ya tentu
saja, kota kecil kami memang seperti daun kelor, maksudku selebar daun kelor.
Teman-teman yang dulunya satu SMP denganku sangat mudah kutemui di sini. Namun,
aku hanya membalas dengan senyum saja, tidak banyak basa-basi yang kusampaikan
karena memang aku tidak memiliki urusan dengan mereka. Aku sungguh benar-benar
ingin bertemu Dara. Sekarang saatnya aku menagih janji Dara.
Sialnya saat itu aku
mendapatkan sesuatu yang sungguh membuatku geram hati. Bagaimana tidak, setelah
aku bertemu dengan Dara, temenku itu hanya melihatku sekilas. Ia merasa sangat
tidak bersemangat dan sangat-sangat tidak peduli lagi denganku. Mukanya sangat
kecut serupa rasa buah belum matang yang dipaksa untuk diambil. Jadilah, aku
sangat merasa terpukul.
Ditambah tiba-tiba sesosok
cowok bertubuh tinggi tegap dan standar mendekatinya. Siapa dia? Hatiku
membatin. Tentu saja pada akhirnya saat itu aku tahu dia adalah kekasih Dara.
Oh tidak, mungkin sekarang aku sudah tidak penting lagi bagi Dara. Mungkin dan
tentu saja sekarang aku bukan lagi prioritasnya. Kini aku hanyalah puzzle yang tak perlu dipakai untuk
melengkapi kebahagiaan Dara. Peranku telah tergantikan oleh kekasih tercintanya
yang bernama entah. Ya memang, aku belum tahu dan tidak berminat untuk
mengetahuinya, lelaki itu.
***
Laura menemui saya tadi sore.
Sayangnya saya dalam keadaan sangat tidak mood.
Sungguh saya sangat menyesal akan hal tersebut. Namun, mau bagaimana lagi. Nasi
sudah menjadi bubur dan Laura pun sudah balik dan lenyap. Saya sungguh
keterlaluan.
“Nggak usah ketemu kembaranmu
Dar, sekarang ada aku yang akan selalu berada di sampingmu.”
Kai. Iya nama cowok itu. Apa
yang tadi dia katakan? Secara tidak langsung dia bilang untuk selalu ada di
samping saya dan mau tidak mau harus melenyapkan Laura dalam hidup saya.
Tetapi, sungguh saya tidak bisa. Laura adalah kenangan saya yang sangat tulus.
Ia teman yang tidak pernah merisak saya meskipun sayang memiliki tampang yang
sangat aneh. Laura adalah karib yang seperti dipisahkan bertahun-tahun lamanya,
namun hanya perlu beberapa menit lagi untuk akrab kembali. Sungguh dia bagaikan
keajaiban dunia kedelapan bagi saya.
“Sekarang ayo Dar kita nonton ke bioskop. Film favorit
kita menanti…”
Seperti itulah Kai. Selalu
saja memaksakan kehendaknya, padahal siapa tahu saya juga memiliki sesuatu
untuk saya bagikan. Namun, sepertinya segalanya sia-sia. Dia sangat mendominasi
saya dalam hubungan percintaan ini. Lelaki memang ditakdirkan untuk demikian,
anehnya saya berharap sesuatu yang di luar keadaan normal. Saya selalu ingin
sosok yang mengerti saya apa adanya, dan yang paling penting adalah dia
pendengar yang selalu bisa membuat saya nyaman. Ini aneh memang, di satu sisi
saya merasa tidak enak hati dengan keberadaan kekasih saya di lingkaran hidup
saya. Di satu sisi lainnya, saya merasa bahwa ini akan menjadi bencana jika
saya memutuskan Kai. Saya akan sendiri lagi. Di sini. Sendiri.
Jika saja Laura satu sekolah
dengan saya. Pasti segalanya akan terasa mudah. Rasanya lelah dirundung terus
oleh teman-teman seisi sekolah. Bukan, bukan karena muka tidak artistik saya,
tetapi karena saya memiliki kakak yang mana seorang residivis. Seisi sekolah
selalu memanggil saya sebagai anggota keluarga bajingan. Ditambah setahun lalu
ayah saya divonis sebagai tersangka korupsi. Sungguh ini memalukan dan sangat
menjijikan jika saya ingat terus.
Kai, Kai, Kai, dia selalu
menemani saya ke mana pun saya pergi. Kai, Kai, Kai, dia seperti malaikat
penjaga yang selalu mengawasi ke mana saja saya pergi. Ini lebih dari cukup,
ini lebih dari romantis. Namun, kenapa hati ini tidak lega saat berada di
sampingnya? Saya butuh Laura. Saya ingin menceritakan segalanya. Hanya saja,
Kai melarang saya untuk bertemu Laura.
***
Ucapan permintaan maaf itu aku
terima dari Dara. Dia bilang kalau dia memang sedang dalam kondisi yang tidak
menguntungkan. Ya, sekarang aku tahu kenapa Dara sangat sulit bertemu denganku.
Semua ulah Kai yang sungguh menganggap Dara seperti bocah kecil polos.
Aku sedikit merasa lapang
karena sebenarnya Dara juga berkeinginan untuk bertemu denganku. Bagaimanapun
tali persahabatan yang telah kita sambung bersama-sama tidak begitu saja mudah
rusak. Agaknya, segalanya memang mengikuti arah takdir berbeda, namun pasti.
Aku pun berpikir bahwa mungkin
setelah ini Dara akan memenuhi janjinya lagi untuk memburu
pemandangan-pemandangan jelang senja dan tentu saja mengabadikannya secara
bersama-sama lewat lensa. Hobi kami sama-sama tidak begitu saja luntur setelah
banyak masalah membara. Aku dan Dara pada akhirnya adalah pejuang-pejuang
remaja pengembara.
Dari kejauhan aku melihat Dara
bergandengan tangan mesra dengan Kai. Dari lubuk hati terdalam ada lara yang
mendera. Mereka kemudian masuk ke sinema. Aku merasa rela.[]
Komentar
Posting Komentar