Menonton film Avatar Fire and Ash di penghujung tahun adalah pengalaman yang tak terlupakan pasalnya aku mencoba menonton film ini dengan istri ketika aku skip film Avatar the Way of Water alias film keduanya. Secara garis besar, film ketiga seri Avatar ini cukup mengesankan meskipun banyak hal di dalamnya terasa hampa.
Alur cerita film ini maju mengisahkan Jake dan keluarga yang awalnya berkelana demi membantu Spider. Di tengah petualangan, mereka dihadang bangsa abu yang mana membuat mereka kalah telak dan tercerai berai. Spider yang awalnya kesulitan bernapas karena harus menggunakan alat bantu, akhirnya ia sekarat karena jatuh dan kehilangan stok alat bantu napas. Dengan bantuan Kiri yang meminta tolong Eywa sang dewa atau Tuhan suku mereka, Spider terselamatkan dan mampu bernapas tanpa alat bantu karena di tubuhnya telah mengalir sel-sel tempat tinggalnya kini.
Konflik tak hanya tentang bagaimana Jake mempertahankan suku air, tetapi juga tentang konflik Jake beserta keluarganya termasuk Neytiri sang istri dan Loak anak lelakinya yang tinggal seorang setelah kakaknya meninggal di Avatar the Way of Water. Kolonel pun masih mengincar Spider dan coba bersekutu dengan Varang sang pemimpin suku abu dengan cara licik.
Lewat film ketiga ini aku memetik salah satu pesan bahwa keluarga memang hal penting di hidup kita. Saat salah satu anggota keluarga yang kita cintai pergi untuk selamanya, maka tidak mudah bagi kita untuk move on. Itu yang aku lihat dari bagaimana Neytiri dan Loak yang belum sepenuhnya rela dengan kepergian Neteyam. Kehilangannya membuat Neytiri dan Loak tak hentinya berargumen dengan Jake si kepala keluarga. Bahkan hadirnya tokoh Spider pun turut membuat konflik keluarga makin keruh meskipun Spider tak melakukan apapun. Itu karena Spider diincar kolonel dan pemerintah bumi demi penelitian. Jake berpikir bahwa sel-sel dalam tubuh Spider akan diteliti demi kepentingan umat manusia agar mampu menghirup udara planet Avatar dan akan menginvasi dan memusnahkan suku Avatar nantinya.
Kekejian dan kerakusan umat manusia pun disampaikan secara luwes oleh film ini lewat konflik umat manusia yang selalu terus menginvasi suku Avatar dan tempat tinggalnya. Pada film ini, umat manusia ingin menguasai Tulkun alias spesies paus yang berpotensi besar karena kandungan dalam tubuhnya. Manusia dangat jahat karena tak memedulikan keseimbangan alam beserta keberlangsungan makhluk hidup seperti Tulkun. Mereka memanfaatkan Tulkun yang jinak kemudian membunuh dan mengambil zat-zat berharga dalam tubuhnya yang bernilai jutaan dollar. Kurang lebih hal itu relevan dengan peristiwa akhir-akhir ini yang terjadi di negaraku. Bagaimana pihak-pihak berwenang membabat hutan, menghancurkan alam hijau pada akhirnya menimbulkan bencana besar yang melanda di tiga provinsi di negara Indonesia. Ulah manusia-manusia rakus itu membuat ribuan mungkin bahkan jutaan makhluk baik manusua, hewan dan tanaman menderita. Banjir bandang terjadi meluluhlantahkan dan hanya menyisakan pelik. Sudah saatnya orang-orang itu harusnya sadar bahwa merusak ekosistem mendatangkan bencana. Harusnya tak ada lagi pembabatan hutan demi pembukaan lahan sawit agar bencana alam mahadahsyat tak terjadi lagi hanya demi cuan-cuan yang dijejalkan ke kantong kantong pebisnis-pebisnis dan pemegang wewenang yang keji.
Meskipun secara visual sangat memanjakan dan plot film yang tidak membosankan, tetapi beberapa aspek dalam film ini terkesan tak mendalam. Apa hal itu terjadi karena masalah durasi? Mungkin saja karena world building Avatar seakan terbatas untuk dijelaskan rinci karena ini dijelaskan lewat film bukan series yang berepisode-episode. Juga tentang penjelasan suku abu yang menurutku terasa janggal. Lewat Varang, penonton akan tahu bahwa dulunya suku abu adalah suku biasa yang tinggal di hutan. Karena kebakaran dan ketiadaan bantuan dari Eywa, Varang pun mendalami dan memuja api. Pun Varang dan pengikutnya tinggal di gunung yang gersang. Pertanyaannya adalah bagaimana mereka bertahan dengan kondisi yang tidak memungkinkan? Terasa aneh dan janggal saja menurutku karena bahkan ketika menonton latar tempat tinggal suku abu, hanya rumah Varang yang disorot. Jika mereka hanya bertahan lewat menyerang suku lain, menurutku itu saja tak cukup. Aku rasa masih banyak lagi hal-hal yang belum dijelaskan secara detail karena itu hal-hal itu menimbulkan tanda tanya yang mungkin saja akan terjawab saat film-film selanjutnya rilis.
Banyak komentar-komentar di sosial media bernada sama tentang impact film Avatar yang mana tidak seheboh film-film atau seri-seri lain secara kultural. Menurutku itu karena rilisnya film Avatar yang tidak sering atau harus menunggu beberapa tahun dulu, pun tentang bagaimana seri ini dipromosikan. Ada yang bilang di situs letterboxd bahwa film ini memang mantap dinikmati kali pertama, namun bukan untuk ditonton ulang. Mungkin hal itu juga terkait plotnya yang kurang lebih serupa di setiap filmnya. Selalu tentang bagaimana invasi ke suku avatar dan akhirnya terjadi perang manusia versus avatar, dan konflik-konflik satu sama lain yang terasa memiliki pola. Bagiku yang tidak berekspektasi apa-apa, terasa memuaskan saja saat menonton film ini. Tak terasa membosankan sama sekali karena aku tak merasa lost interest sepanjang filmnya.
Overall, film ini lumayan dinikmati saat liburan. Sebuah film yang sekuelnya akan aku tunggu karena penasaran dengan bagaimana plot selanjutnya dan apa lagi yang akan dibawa atau diolah oleh sutradaranya yang kawakan.
Komentar
Posting Komentar