Langsung ke konten utama

Cerpen Sindu (Medan Pos, 26 Juli 2020)





Sindu biasa mengitari lampu merah kota saat beberapa hari menjelang lebaran. Memakai pakaian lusuh, ia berusaha menengadah tangannya kepada siapa pun yang ia temui. Orang-orang di dalam mobil biasanya memberikan Sindu sejumlah uang lebih banyak dibanding para pengendara motor. Sesekali para pejalanan kaki juga memberikan Sindu uang receh tak seberapa.

Sindu membawa seorang bayi dalam gendongannya. Bayi tersebut sudah satu tahun ini menemani Sindu. Tak lupa ia juga membawa serta gadis kecil bernama La. Anak itu selalu merengek pada Sindu jika keinginannya tidak terkabul. Sindu kadang merasa gemas.

 “Aku mau ketupat, Mak…” rintih La.

“Tidak bisa, La. Kita tunggu saja Pak Karmin atau Bu Masyitoh memberikan ketupat-ketupat itu dengan senang hati seperti saat tahun lalu,” ujar Sindu pahit.

Sindu hanya menatap nanar anak kecil di hadapannya. Sedangkan si bayi dalam gendongannya masih tidur lelap. Jika makhluk kecil itu bangun kemudian menangis, Sindu sangat tahu jika ia harus segera memberikan sebotol susu formula yang sudah ia siapkan.

Akhir-akhir ini pendapatan Sindu menurun drastis. Tidak banyak orang-orang yang berlalu lalang memberikan uangnya dengan cuma-cuma kepada perempuan awal tiga puluh tahunan itu. Dari cerita-cerita yang ia dengar dari para tukang parkir atau penjaja asongan, negeri ini tengah dilanda wabah. Sindu tak ingat nama wabah itu. Yang jelas kehadirannya sedikit banyak memengaruhi kehidupan Sindu yang sudah sangat tidak layak menjadi semakin terpuruk.

Pagi dan siang jalanan hanya diramaikan oleh sedikit pengendara. Saat malam tiba, kesunyian semakin tampak lebih jelas. Lengang di mana-mana memberikan tanda yang sangat membuat Sindu semakin mengelus dada. Tentu saja tidak ada orang-orang yang akan memberikan uang kepada Sindu untuk sekadar bertahan hidup. Jangankan menderma, untuk sekadar keluar rumah saja mereka sudah diliputi rasa takut. Itu yang Sindu tahu dari omongan tukang parkir terakhir yang ia temui saat siang terik hari ini.

Sindu merasa sudah kehabisan akal. Apa dia harus menunggu di depan gerbang masjid alun-alun kotanya? Karena tempat itu biasanya ramai saat bulan ramadan. Namun, yang selalu Sindu khawatirkan adalah pengemis-pengemis lainnya yang juga bercokol di sana. Semakin banyak gelandangan atau orang-orang mengemis di sana, semakin kecil kemungkinan untuk mendapatkan jatah rezeki dari orang-orang yang bermurah hati. Belum ancaman satpol PP yang selalu mengacungkan tongkat-tongkatnya kepada Sindu. Membuat perempuan itu selalu menyalakan alarm bunyi siaga di dalam jiwanya setiap kali melihat mereka bersliweran apalagi mengancam.

“Aku lapar Ma…” ucap La.

Sedangkan bayi dalam gendongan Sindu merengek tak henti-henti. Susu formula dalam botol tak menyisa barang setetes. Sindu merogoh kantung bajunya. Ia hanya menemukan kehampaan yang lantang di sana.

***

Bak sampah adalah tempat sakral bagi Sindu. Tempat itu menjadi tempat terakhir jalan keluar segala kegundahannya meskipun ia jarang menemukan makanan yang layak disantap saat mengais-ngais segala benda di tempat tersebut.

Namun, bak sampah juga merupakan tempat tak terlupakan bagi Sindu. Bukankah ia juga menemukan bayi dalam gendongannya itu setahun lalu di sana? Belum lagi La yang juga ia temukan di sana. Hanya berbeda kondisi.

La saat itu ditemukan olehnya tiga tahun lalu tengah kehilangan arah. Sindu berkali-kali bertanya kepada La tentang orangtua anak itu. Hanya jawaban tak memuaskan yang ia temukan dari La. Juga gelengan berkali-kali yang ia selalu berikan saat Sindu hendak melapor ke kantor polisi.

Sedangkan, bayi dalam gendongan Sindu saat ditemukan oleh Sindu tengah menangis tengah malam. Tak ada yang peduli atau memang belum ada yang sadar saat itu. Bayi itu dalam keranjang dan dalam keadaan yang sangat bersih. Sindu menduga anak bak malaikat itu tidak diinginkan oleh kedua orangtuanya.

Dalam kondisi yang serba salah akhirnya Sindu berani membesarkan anak-anak itu. Dalam jiwanya selalu hadir dua suara. Yang pertama menolak keras kehadiran keduanya karena sangat tahu kondisi Sindu tak memungkinkan untuk membesarkan mereka. Sedangkan, yang kedua adalah hati nurani Sindu selalu berkata untuk tetap maju membesarkan kedua bocah itu terlepas dari segala rintangan berat yang membebani Sindu. Perempuan itu memilih suara kedua.

Saat itu jelang magrib di hari terakhir ramadan. Sindu melihat bak sampah itu penuh. Namun, ada hal aneh di bagian penutup bak. Ada sebuah kantong plastik besar hitam yang mencolok karena ukurannya. Sindu dengan penuh rasa penasaran langsung membukanya setelah ia bawa terlebih dahulu kantong plastik itu ke samping bak sampah.

Betapa terkejutnya Sindu karena di dalam kantong itu berisi sejumlah uang yang amat banyak. Teramat banyak hingga Sindu merasa jantungnya hampir copot. Semuanya berwarna merah dengan lambang dua proklamator. Di dalam kantong itu ada sebuah dompet berwarna abu-abu. Sindu juga membuka benda itu karena ingin tahu. Saat itu Sindu didesak kembali oleh suara-suara dalam jiwanya. Ia harus segera melakukan apa yang harus ia lakukan atau ia harus segera lenyap dari tempat itu menggondol barang yang bisa menghidupinya entah untuk berapa lama.

***

Perempuan dalam setelan sederhana itu tengah menyiapkan hidangan untuk sebuah keluarga. Seorang ayah, ibu, dan anak-anaknya tengah asyik bercengkrama. Perempuan yang tengah menyiapkan hidangan berkata bahwa makanan sudah siap di meja. Seorang perempuan paruh baya menghampiri. Ia menyuruh perempuan berstelan sederhana untuk istirahat. Lalu ia pamit terlebih dahulu menuju kamarnya yang berlokasi di sebelah dapur..

Dari jauh perempuan berstelan sederhana melihat keluarga itu tengah asyik melahap makanan. Sang ibu memanggil kedua asisten rumah tangganya untuk ikut serta malahap makanan di meja.

“Ayo, Sindu dan Mbok Jum! Ikut makan di sini,” ucap perempuan itu.

Sindu melangkah pasti menuju meja makan. Ia duduk, lalu ikut serta dalam makan malam keluarga itu.

Tak terasa tiga tahun berlalu. Sindu tidak pernah menyesali setiap takdir yang Tuhan gariskan untuknya. Genap tiga tahun lalu, ia ingat bahwa ia telah melaporkan beberapa gepok uang tunai dalam kantong plastik kepada pos polisi terdekat. Saat itu ia tidak pernah tahu bahwa ia tengah dalam acara program tv realitas yang akan ditayangkan salah satu tv swasta. Sindu saat itu diberikan uang yang tentu saja lebih halal senilai dua juta.

Tak disangka setelah program yang menayangkan dirinya tampil, Sindu mendapat banyak pujian dari banyak pihak. Yang tidak pernah ia sangka, orangtua kandung La menghubungi Sindu. Mereka berujar bahwa La hilang beberapa tahun lalu saat anak itu disekap penculik.

Kini orangtua La memboyong Sindu ke rumahnya. Menjadikan Sindu salah satu asisten rumah tangga mereka. Dan hal yang membahagiakan lainnya, mereka bahkan mengangkat bayi yang selalu Sindu gendong menjadi salah satu keluarga mereka.

Hal yang selalu membebani Sindu adalah mereka kadang masih bertanya kenapa Sindu tak memberi nama pada bayi itu. Sindu tak tega menamai bayi itu karena saat ia menemukan bayi itu tertulis nama Gema di sana. Nama yang selalu mengingatkan Sindu pada sosok tukang parkir yang pernah mengisi hatinya. Lelaki yang lenyap entah ke mana setelah merenggut hati dan hal berharga dalam diri Sindu beberapa tahun silam. Sindu tentu tak serta memberitahukan hal ini kepada orangtua La yang anaknya bernama asli Laili. Sindu hanya selalu memaparkan senyum tiap kali mereka bertanya tentang bayi yang ditemukan Sindu itu. Kini bayi itu bernama Izra yang nama lengkapnya tak pernah Sindu hafal karena terlalu panjang dan sulit.[] 

Cirebon, Mei 2020


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)