Sindu biasa mengitari lampu merah kota
saat beberapa hari menjelang lebaran. Memakai pakaian lusuh, ia berusaha
menengadah tangannya kepada siapa pun yang ia temui. Orang-orang di dalam mobil
biasanya memberikan Sindu sejumlah uang lebih banyak dibanding para pengendara
motor. Sesekali para pejalanan kaki juga memberikan Sindu uang receh tak
seberapa.
Sindu membawa seorang bayi dalam
gendongannya. Bayi tersebut sudah satu tahun ini menemani Sindu. Tak lupa ia
juga membawa serta gadis kecil bernama La. Anak itu selalu merengek pada Sindu
jika keinginannya tidak terkabul. Sindu kadang merasa gemas.
“Aku
mau ketupat, Mak…” rintih La.
“Tidak bisa, La. Kita tunggu saja Pak
Karmin atau Bu Masyitoh memberikan ketupat-ketupat itu dengan senang hati
seperti saat tahun lalu,” ujar Sindu pahit.
Sindu hanya menatap nanar anak kecil di
hadapannya. Sedangkan si bayi dalam gendongannya masih tidur lelap. Jika
makhluk kecil itu bangun kemudian menangis, Sindu sangat tahu jika ia harus
segera memberikan sebotol susu formula yang sudah ia siapkan.
Akhir-akhir ini pendapatan Sindu
menurun drastis. Tidak banyak orang-orang yang berlalu lalang memberikan
uangnya dengan cuma-cuma kepada perempuan awal tiga puluh tahunan itu. Dari
cerita-cerita yang ia dengar dari para tukang parkir atau penjaja asongan,
negeri ini tengah dilanda wabah. Sindu tak ingat nama wabah itu. Yang jelas
kehadirannya sedikit banyak memengaruhi kehidupan Sindu yang sudah sangat tidak
layak menjadi semakin terpuruk.
Pagi dan siang jalanan hanya diramaikan
oleh sedikit pengendara. Saat malam tiba, kesunyian semakin tampak lebih jelas.
Lengang di mana-mana memberikan tanda yang sangat membuat Sindu semakin
mengelus dada. Tentu saja tidak ada orang-orang yang akan memberikan uang kepada
Sindu untuk sekadar bertahan hidup. Jangankan menderma, untuk sekadar keluar
rumah saja mereka sudah diliputi rasa takut. Itu yang Sindu tahu dari omongan
tukang parkir terakhir yang ia temui saat siang terik hari ini.
Sindu merasa sudah kehabisan akal. Apa
dia harus menunggu di depan gerbang masjid alun-alun kotanya? Karena tempat itu
biasanya ramai saat bulan ramadan. Namun, yang selalu Sindu khawatirkan adalah
pengemis-pengemis lainnya yang juga bercokol di sana. Semakin banyak
gelandangan atau orang-orang mengemis di sana, semakin kecil kemungkinan untuk
mendapatkan jatah rezeki dari orang-orang yang bermurah hati. Belum ancaman
satpol PP yang selalu mengacungkan tongkat-tongkatnya kepada Sindu. Membuat
perempuan itu selalu menyalakan alarm bunyi siaga di dalam jiwanya setiap kali
melihat mereka bersliweran apalagi mengancam.
“Aku lapar Ma…” ucap La.
Sedangkan bayi dalam gendongan Sindu
merengek tak henti-henti. Susu formula dalam botol tak menyisa barang setetes.
Sindu merogoh kantung bajunya. Ia hanya menemukan kehampaan yang lantang di sana.
***
Bak sampah adalah tempat sakral bagi
Sindu. Tempat itu menjadi tempat terakhir jalan keluar segala kegundahannya
meskipun ia jarang menemukan makanan yang layak disantap saat mengais-ngais segala
benda di tempat tersebut.
Namun, bak sampah juga merupakan tempat
tak terlupakan bagi Sindu. Bukankah ia juga menemukan bayi dalam gendongannya
itu setahun lalu di sana? Belum lagi La yang juga ia temukan di sana. Hanya
berbeda kondisi.
La saat itu ditemukan olehnya tiga
tahun lalu tengah kehilangan arah. Sindu berkali-kali bertanya kepada La
tentang orangtua anak itu. Hanya jawaban tak memuaskan yang ia temukan dari La.
Juga gelengan berkali-kali yang ia selalu berikan saat Sindu hendak melapor ke
kantor polisi.
Sedangkan, bayi dalam gendongan Sindu
saat ditemukan oleh Sindu tengah menangis tengah malam. Tak ada yang peduli
atau memang belum ada yang sadar saat itu. Bayi itu dalam keranjang dan dalam
keadaan yang sangat bersih. Sindu menduga anak bak malaikat itu tidak
diinginkan oleh kedua orangtuanya.
Dalam kondisi yang serba salah akhirnya
Sindu berani membesarkan anak-anak itu. Dalam jiwanya selalu hadir dua suara.
Yang pertama menolak keras kehadiran keduanya karena sangat tahu kondisi Sindu
tak memungkinkan untuk membesarkan mereka. Sedangkan, yang kedua adalah hati
nurani Sindu selalu berkata untuk tetap maju membesarkan kedua bocah itu
terlepas dari segala rintangan berat yang membebani Sindu. Perempuan itu
memilih suara kedua.
Saat itu jelang magrib di hari terakhir
ramadan. Sindu melihat bak sampah itu penuh. Namun, ada hal aneh di bagian
penutup bak. Ada sebuah kantong plastik besar hitam yang mencolok karena
ukurannya. Sindu dengan penuh rasa penasaran langsung membukanya setelah ia
bawa terlebih dahulu kantong plastik itu ke samping bak sampah.
Betapa terkejutnya Sindu karena di
dalam kantong itu berisi sejumlah uang yang amat banyak. Teramat banyak hingga
Sindu merasa jantungnya hampir copot. Semuanya berwarna merah dengan lambang
dua proklamator. Di dalam kantong itu ada sebuah dompet berwarna abu-abu. Sindu
juga membuka benda itu karena ingin tahu. Saat itu Sindu didesak kembali oleh suara-suara
dalam jiwanya. Ia harus segera melakukan apa yang harus ia lakukan atau ia
harus segera lenyap dari tempat itu menggondol barang yang bisa menghidupinya entah
untuk berapa lama.
***
Perempuan dalam setelan sederhana itu
tengah menyiapkan hidangan untuk sebuah keluarga. Seorang ayah, ibu, dan
anak-anaknya tengah asyik bercengkrama. Perempuan yang tengah menyiapkan
hidangan berkata bahwa makanan sudah siap di meja. Seorang perempuan paruh baya
menghampiri. Ia menyuruh perempuan berstelan sederhana untuk istirahat. Lalu ia
pamit terlebih dahulu menuju kamarnya yang berlokasi di sebelah dapur..
Dari jauh perempuan berstelan sederhana
melihat keluarga itu tengah asyik melahap makanan. Sang ibu memanggil kedua
asisten rumah tangganya untuk ikut serta malahap makanan di meja.
“Ayo, Sindu dan Mbok Jum! Ikut makan di
sini,” ucap perempuan itu.
Sindu melangkah pasti menuju meja
makan. Ia duduk, lalu ikut serta dalam makan malam keluarga itu.
Tak terasa tiga tahun berlalu. Sindu
tidak pernah menyesali setiap takdir yang Tuhan gariskan untuknya. Genap tiga
tahun lalu, ia ingat bahwa ia telah melaporkan beberapa gepok uang tunai dalam
kantong plastik kepada pos polisi terdekat. Saat itu ia tidak pernah tahu bahwa
ia tengah dalam acara program tv realitas yang akan ditayangkan salah satu tv
swasta. Sindu saat itu diberikan uang yang tentu saja lebih halal senilai dua
juta.
Tak disangka setelah program yang
menayangkan dirinya tampil, Sindu mendapat banyak pujian dari banyak pihak.
Yang tidak pernah ia sangka, orangtua kandung La menghubungi Sindu. Mereka
berujar bahwa La hilang beberapa tahun lalu saat anak itu disekap penculik.
Kini orangtua La memboyong Sindu ke
rumahnya. Menjadikan Sindu salah satu asisten rumah tangga mereka. Dan hal yang
membahagiakan lainnya, mereka bahkan mengangkat bayi yang selalu Sindu gendong
menjadi salah satu keluarga mereka.
Hal yang selalu membebani Sindu adalah
mereka kadang masih bertanya kenapa Sindu tak memberi nama pada bayi itu. Sindu
tak tega menamai bayi itu karena saat ia menemukan bayi itu tertulis nama Gema
di sana. Nama yang selalu mengingatkan Sindu pada sosok tukang parkir yang
pernah mengisi hatinya. Lelaki yang lenyap entah ke mana setelah merenggut hati
dan hal berharga dalam diri Sindu beberapa tahun silam. Sindu tentu tak serta
memberitahukan hal ini kepada orangtua La yang anaknya bernama asli Laili. Sindu
hanya selalu memaparkan senyum tiap kali mereka bertanya tentang bayi yang
ditemukan Sindu itu. Kini bayi itu bernama Izra yang nama lengkapnya tak pernah
Sindu hafal karena terlalu panjang dan sulit.[]
Cirebon,
Mei 2020
Komentar
Posting Komentar