Saya bekerja di laboratorium ini hampir
seumur hidup saya sejak seorang kakek tua menemukan bakat terpendam saya di
sebuah kontes penelitian ilmiah bergengsi. Saya lalu diboyongnya untuk hidup
dengannya. Saya meninggalkan hidup penuh nestapa di panti asuhan.
Kini, saya bahkan lebih biadab
dibanding monster-monster yang hidup di sekitar laboratorium. Mungkin saat
mereka berkeliaran setelah senja datang, mereka hanya ingin makan. Sedangkan
saya, selalu merasa lapar dan ingin rasanya menguasai segala hal. Termasuk yang
kini telah saya kembangkan demi keselamatan umat manusia seluruh dunia.
Mereka berkata saya penemu hebat zaman
ini. Namun, apalah artinya semua itu saat keluarga saya sulit saya temui. Istri
bersama kedua anak saya tinggal di negara tetangga. Saya mengabdi di negara ini
yang sebenarnya tak ada sangkut pautnya dengan saya.
Monitor di ruangan saya menampilkan
berita yang disiarkan selama dua puluh empat jam nonstop. Kabar di seluruh
dunia disiarkan secara langsung dari drone-drone
istimewa zaman yang sudah sangat maju
ini. Apalah artinya semua itu saat sebuah wabah tak kasat mata hampir melenyapkan setengah
populasi manusia di bumi. Anehnya, seluruh isi planet ini sekarang sedang
menumpu harapannya pada saya. Benar-benar saya seorang diri.
Wabah itu seperti hantu. Mereka
menjangkiti inang sel-sel manusia. Saat seseorang terjangkit, hanya ada waktu seminggu
untuknya bertahan hidup. Kecuali imunitas di dalam tubuhnya kuat, dia akan
selamat. Sialnya, virus ini terlalu sakti mandraguna dan mudah menular. Hampir
seluruh benua telah tersambangi. Sudah sembilan bulan lalu sejak setan
berbentuk penyakit ini datang tanpa diundang. Ia telah memporak-porandakan semua
aspek kehidupan.
Yang tengah saya lakukan adalah
menemukan cara agar saya berhasil mendistribusikan solusi. Vaksin yang tengah
saya genggam adalah sampel yang belum dicoba keberhasilannya. Namun, saya hanya
ingin menyelamatkan keluarga saya terlebih dahulu. Ralat, saya juga telah
menyelamatkan saya.
Bagaimana caranya agar saya mampu
melakukannya? Di lain sisi, jika saya pergi keluar, virus-virus itu bisa dengan
mudah merasuki saya. Sedangkan, benda ini menunggu untuk dicoba, diperbanyak,
dan dipublikasikan sebagai benda penyelamat manusia di zaman yang seakan sudah
kerontang dan hampir kiamat ini.
***
Monster-monster di luar laboratorium
berteriak tanda jika petang hampir tiba. Mereka beruntung karena virus itu
sejauh ini tak bisa menjangkiti makhluk lain selain manusia. Saya tengah mengotak-atik
pemancar yang hampir saya banting. Alat itu saya kembangkan sebulan lalu, tetapi
saya belum berhasil menggunakannya sampai saat ini.
Suara gedoran di jendela lantai dua
tempat saya berada membuat saya tersentak. Jantung saya berdetak lebih cepat
kemudian. Sesuatu di luar sana mengantuk-antukkan kepalanya di jendela. Saya
buru-buru membuka kaca penutup ruangan saya itu sebelum rusak.
Seekor kupu-kupu raksasa seukuran gajah
terbang dengan stabil di depan saya. Ia tampak tenang dan mengangguk-angguk.
Saya tidak mengerti dengan apa yang terjadi sekarang. Langsung saja, saya
teringat dengan pemancar saya. Saya coba berbicara pada benda itu sembari
mengarahkannya pada hewan mahabesar itu. Apa yang ada di otak saya selanjutnya
adalah aksi untuk segera hengkang dari kurungan yang hampir saja membuat saya
gila.
Saya kantongi semua benda yang saya
butuhkan. Saya masukkan juga perlengkapan yang bisa saja saya gunakan untuk
antisipasi hal-hal tak diinginkan. Saya langsung menunggangi kupu-kupu itu
dengan perasaan was-was. Ada perasaan khawatir merajai awalnya. Setelahnya,
saya menembus langit dengan perasaan lebih tenang.
Pemandangan di bawah saya sungguh
sangat mengerikan. Mayat-mayat membusuk tak terurus dikerubungi lalat-lalat
sebesar anjing. Burung-burung gagak sebesar kuda terbang ke sana ke mari.
Beberapa berusaha memelatuk dan menikmati sajian gratis tubuh-tubuh berbau
anyir.
Tak tampak satu manusia pun yang lewat.
Semua orang berlindung di balik kandang milik mereka masing-masing. Apa mereka
masih tampak waras sementara wabah ini kian hari kian menunjukan kesintingannya?
Semua orang telah berkorban. Termasuk
orang-orang dalam tim saya. Untuk mengembangkan vaksin di genggaman saya perlu
usaha ekstra keras. Sangat menguji mental dan nyali. Di balik sebotol vaksin di
kantong saya, ada ratusan orang yang telah gugur di baliknya. Saya hanya
beruntung karena berada di garis akhir yang memiliki tugas mengembangkan.
Tetapi, jiwa saya tetap meronta untuk memberikan serum penyelamat ini kepada
orang-orang yang saya kasihi lebih dulu. Maka, kini saya menuju ke kediaman
tempat istri dan anak saya berada. Ini akan menebus semua waktu kebersamaan
saya dengan mereka yang dirampas dan hampir membuat saya kehilangan akal sehat.
***
Sudah hampir enam jam saya terbang
bersama sang kupu-kupu. Tengah malam hendak mampir membuat kantuk hampir
menguasai saya. Petir di langit yang hitam tak berhentinya menyambar.
Kelalawar-kelalawar tampak senang bermain dengan kunang-kunang. Hampir semuanya
seukuran manusia-manusia dewasa gembrot. Setidaknya saya malam ini tak
kesepian. Sejam lagi saya akan sampai di rumah keluarga saya.
Kera-kera melompat-lompat tinggi. Kini,
mereka akan bermukim sementara di atap gedung. Kera-keras yang besarnya
seukuran badak itu meraung-raung.
Mereka menangis melihat orang-orang
yang satu per satu wafat dengan tidak tenang. Ketika virus-virus menguasai
seratus persen isi tubuh dan pikiran, manusia-manusia itu akan kejang-kejang
sebelum akhirnya mereka berteriak keras seakan tak rela nyawa mereka dicabut
malaikat maut. Kera-kera itu masih meraung lalu seolah menggerung saat
orang-orang yang mereka lihat dari kaca jendela pamit satu per satu. Kaca
jendela gedung kini berembun karena berlapis air mata para kera yang diproduksi
karena kesedihan ditinggal teman-teman manusia.
***
Rumah itu
di tengah danau. Dari kejauhan tampak seperti mercusuar di semenanjung.
Saya berada
beberapa meter dari bagian teratas menara. Saya mencoba memanggil mereka dengan
alat pengeras yang sudah saya bawa di tas.
Lumba-lumba
sebesar paus di danau melompat-lompat. Mereka tahu keberadaan saya yang tengah
memanggil istri dan kedua anak saya yang masih kecil-kecil.
Sesosok
perempuan membuka jendela. Dia masih tampak segar bugar meskipun rambutnya
awut-awutan. Saya menyuruhnya untuk segera menggunakan pengeras suara juga.
“Saya ingin
memberikan vaksin ini untuk kalian terlebih dahulu,” ungkap saya keras, “tenang
saja kalian bukan kelinci percobaan karena saya telah mencobanya terlebih
dahulu dan aman.”
Ia tampak
ragu. Kemudian saya lihat kedua anak-anak saya pun tampak di sampingnya. Mereka
memeluknya dan berteriak-teriak menyebut nama saya.
“Kau
berikan saja kepada mereka dulu,” ucapnya sedikit ragu, “maksudku ke departemen
penelitian pemerintah negara tempat kau bekerja. Kita akan setia menunggumu di
sini!”
Saya ingin
memaksa mereka menggunakan apa yang telah saya kembangkan. Saya curahkan segala
cinta, energi, dan rasa pada setiap hal yang saya kerjakan. Namun, untuk
sekarang agaknya saya harus menuruti mereka.
Saya lalu
pamit meninggalkan mereka yang sepertinya tidak bermaksud mengeyahkan saya.
Mereka mendukung saya tentu saja. Hanya saya memang perlu memprioritaskan yang
lain.
Saya masih dalam tunggangan kupu-kupu ketika sadar sudah hampir 24 jam vaksin yang saya kembangkan masuk dalam tubuh saya. Tiba-tiba angin yang cukup keras menerpa saya dan kupu-kupu raksasa. Saya goyah dan tersungkur. Kini saya melayang menuju permukaan tanah yang bermeter-meter jauhnya di bawah. Tubuh saya seakan dialiri listrik saat saya menunjam ke tanah. Saya jatuh dengan kecepatan yang diperlambat. Tubuh saya seakan terbakar dan memercikan api yang keluar perlahan-lahan dari dalam tubuh saya. Seketika saya meledak menjadi keping-keping yang berserakan dan menyatu dengan udara. Menjadi abu.[]
Komentar
Posting Komentar