Langsung ke konten utama

Cerpen Penemu Vaksin (Kabar Cirebon, 4 Juli 2020)


Saya bekerja di laboratorium ini hampir seumur hidup saya sejak seorang kakek tua menemukan bakat terpendam saya di sebuah kontes penelitian ilmiah bergengsi. Saya lalu diboyongnya untuk hidup dengannya. Saya meninggalkan hidup penuh nestapa di panti asuhan.

Kini, saya bahkan lebih biadab dibanding monster-monster yang hidup di sekitar laboratorium. Mungkin saat mereka berkeliaran setelah senja datang, mereka hanya ingin makan. Sedangkan saya, selalu merasa lapar dan ingin rasanya menguasai segala hal. Termasuk yang kini telah saya kembangkan demi keselamatan umat manusia seluruh dunia.

Mereka berkata saya penemu hebat zaman ini. Namun, apalah artinya semua itu saat keluarga saya sulit saya temui. Istri bersama kedua anak saya tinggal di negara tetangga. Saya mengabdi di negara ini yang sebenarnya tak ada sangkut pautnya dengan saya.

Monitor di ruangan saya menampilkan berita yang disiarkan selama dua puluh empat jam nonstop. Kabar di seluruh dunia disiarkan secara langsung dari drone-drone istimewa zaman yang sudah  sangat maju ini. Apalah artinya semua itu saat sebuah wabah tak  kasat mata hampir melenyapkan setengah populasi manusia di bumi. Anehnya, seluruh isi planet ini sekarang sedang menumpu harapannya pada saya. Benar-benar saya seorang diri.

Wabah itu seperti hantu. Mereka menjangkiti inang sel-sel manusia. Saat seseorang terjangkit, hanya ada waktu seminggu untuknya bertahan hidup. Kecuali imunitas di dalam tubuhnya kuat, dia akan selamat. Sialnya, virus ini terlalu sakti mandraguna dan mudah menular. Hampir seluruh benua telah tersambangi. Sudah sembilan bulan lalu sejak setan berbentuk penyakit ini datang tanpa diundang. Ia telah memporak-porandakan semua aspek kehidupan.

Yang tengah saya lakukan adalah menemukan cara agar saya berhasil mendistribusikan solusi. Vaksin yang tengah saya genggam adalah sampel yang belum dicoba keberhasilannya. Namun, saya hanya ingin menyelamatkan keluarga saya terlebih dahulu. Ralat, saya juga telah menyelamatkan saya.

Bagaimana caranya agar saya mampu melakukannya? Di lain sisi, jika saya pergi keluar, virus-virus itu bisa dengan mudah merasuki saya. Sedangkan, benda ini menunggu untuk dicoba, diperbanyak, dan dipublikasikan sebagai benda penyelamat manusia di zaman yang seakan sudah kerontang dan hampir kiamat ini.

***

Monster-monster di luar laboratorium berteriak tanda jika petang hampir tiba. Mereka beruntung karena virus itu sejauh ini tak bisa menjangkiti makhluk lain selain manusia. Saya tengah mengotak-atik pemancar yang hampir saya banting. Alat itu saya kembangkan sebulan lalu, tetapi saya belum berhasil menggunakannya sampai saat ini.

Suara gedoran di jendela lantai dua tempat saya berada membuat saya tersentak. Jantung saya berdetak lebih cepat kemudian. Sesuatu di luar sana mengantuk-antukkan kepalanya di jendela. Saya buru-buru membuka kaca penutup ruangan saya itu sebelum rusak.

Seekor kupu-kupu raksasa seukuran gajah terbang dengan stabil di depan saya. Ia tampak tenang dan mengangguk-angguk. Saya tidak mengerti dengan apa yang terjadi sekarang. Langsung saja, saya teringat dengan pemancar saya. Saya coba berbicara pada benda itu sembari mengarahkannya pada hewan mahabesar itu. Apa yang ada di otak saya selanjutnya adalah aksi untuk segera hengkang dari kurungan yang hampir saja membuat saya gila.

Saya kantongi semua benda yang saya butuhkan. Saya masukkan juga perlengkapan yang bisa saja saya gunakan untuk antisipasi hal-hal tak diinginkan. Saya langsung menunggangi kupu-kupu itu dengan perasaan was-was. Ada perasaan khawatir merajai awalnya. Setelahnya, saya menembus langit dengan perasaan lebih tenang.

Pemandangan di bawah saya sungguh sangat mengerikan. Mayat-mayat membusuk tak terurus dikerubungi lalat-lalat sebesar anjing. Burung-burung gagak sebesar kuda terbang ke sana ke mari. Beberapa berusaha memelatuk dan menikmati sajian gratis tubuh-tubuh berbau anyir.

Tak tampak satu manusia pun yang lewat. Semua orang berlindung di balik kandang milik mereka masing-masing. Apa mereka masih tampak waras sementara wabah ini kian hari kian menunjukan kesintingannya?

Semua orang telah berkorban. Termasuk orang-orang dalam tim saya. Untuk mengembangkan vaksin di genggaman saya perlu usaha ekstra keras. Sangat menguji mental dan nyali. Di balik sebotol vaksin di kantong saya, ada ratusan orang yang telah gugur di baliknya. Saya hanya beruntung karena berada di garis akhir yang memiliki tugas mengembangkan. Tetapi, jiwa saya tetap meronta untuk memberikan serum penyelamat ini kepada orang-orang yang saya kasihi lebih dulu. Maka, kini saya menuju ke kediaman tempat istri dan anak saya berada. Ini akan menebus semua waktu kebersamaan saya dengan mereka yang dirampas dan hampir membuat saya kehilangan akal sehat.

***

Sudah hampir enam jam saya terbang bersama sang kupu-kupu. Tengah malam hendak mampir membuat kantuk hampir menguasai saya. Petir di langit yang hitam tak berhentinya menyambar. Kelalawar-kelalawar tampak senang bermain dengan kunang-kunang. Hampir semuanya seukuran manusia-manusia dewasa gembrot. Setidaknya saya malam ini tak kesepian. Sejam lagi saya akan sampai di rumah keluarga saya.

Kera-kera melompat-lompat tinggi. Kini, mereka akan bermukim sementara di atap gedung. Kera-keras yang besarnya seukuran badak itu meraung-raung.

Mereka menangis melihat orang-orang yang satu per satu wafat dengan tidak tenang. Ketika virus-virus menguasai seratus persen isi tubuh dan pikiran, manusia-manusia itu akan kejang-kejang sebelum akhirnya mereka berteriak keras seakan tak rela nyawa mereka dicabut malaikat maut. Kera-kera itu masih meraung lalu seolah menggerung saat orang-orang yang mereka lihat dari kaca jendela pamit satu per satu. Kaca jendela gedung kini berembun karena berlapis air mata para kera yang diproduksi karena kesedihan ditinggal teman-teman manusia.

***

            Rumah itu di tengah danau. Dari kejauhan tampak seperti mercusuar di semenanjung.

            Saya berada beberapa meter dari bagian teratas menara. Saya mencoba memanggil mereka dengan alat pengeras yang sudah saya bawa di tas.

            Lumba-lumba sebesar paus di danau melompat-lompat. Mereka tahu keberadaan saya yang tengah memanggil istri dan kedua anak saya yang masih kecil-kecil.

            Sesosok perempuan membuka jendela. Dia masih tampak segar bugar meskipun rambutnya awut-awutan. Saya menyuruhnya untuk segera menggunakan pengeras suara juga.

            “Saya ingin memberikan vaksin ini untuk kalian terlebih dahulu,” ungkap saya keras, “tenang saja kalian bukan kelinci percobaan karena saya telah mencobanya terlebih dahulu dan aman.”

            Ia tampak ragu. Kemudian saya lihat kedua anak-anak saya pun tampak di sampingnya. Mereka memeluknya dan berteriak-teriak menyebut nama saya.

            “Kau berikan saja kepada mereka dulu,” ucapnya sedikit ragu, “maksudku ke departemen penelitian pemerintah negara tempat kau bekerja. Kita akan setia menunggumu di sini!”

            Saya ingin memaksa mereka menggunakan apa yang telah saya kembangkan. Saya curahkan segala cinta, energi, dan rasa pada setiap hal yang saya kerjakan. Namun, untuk sekarang agaknya saya harus menuruti mereka.

            Saya lalu pamit meninggalkan mereka yang sepertinya tidak bermaksud mengeyahkan saya. Mereka mendukung saya tentu saja. Hanya saya memang perlu memprioritaskan yang lain.

            Saya masih dalam tunggangan kupu-kupu ketika sadar sudah hampir 24 jam vaksin yang saya kembangkan masuk dalam tubuh saya. Tiba-tiba angin yang cukup keras menerpa saya dan kupu-kupu raksasa. Saya goyah dan tersungkur. Kini saya melayang menuju permukaan tanah yang bermeter-meter jauhnya di bawah. Tubuh saya seakan dialiri listrik saat saya menunjam ke tanah. Saya jatuh dengan kecepatan yang diperlambat. Tubuh saya seakan terbakar dan memercikan api yang keluar perlahan-lahan dari dalam tubuh saya. Seketika saya meledak menjadi keping-keping yang berserakan dan menyatu dengan udara. Menjadi abu.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)