Aku sudah cukup sabar menahan tingkah laku
Rengganis yang seakan tidak pernah mau mengalah terhadapku. Aku tahu gadis itu
sangat keras kepala, bahkan kelewat keras kepala. Aku ingin mengatakan padanya
bahwa sungguh aku sangat mencintainya, tetapi jika terus-menerus ia bertingkah
bak layaknya anak kecil, aku tak segan akan mencampakannya begitu saja.
Rengganis, aku menyayangimu, sungguh, maka
berhentilah bertingkah seolah kamu mengulang masa kanak-kanakmu. Aku sungguh
ingin berhenti melakukan hal-hal yang kupikir sangat gila. Iya, gila. Kamu
terus memarahiku karena menurutmu aku dekat dengan gadis-gadis lain, ya tentu
saja Rengganis, ini adalah tuntutan pekerjaan, kamu tahu sendiri pekerjaanku
itu macam apa, tetapi kamu tak kunjung sadar untuk memakluminya.
“Kamu seharusnya bisa memilih siswa mana yang
pantas kamu mentori!” Rengganis mengatakan hal yang tidak aku suka, ia memulai
lagi menyulut pertengkaran.
Aku berusaha sabar, “Kamu tahu sendiri Rengganis,
orangtua-orangtua mereka sendiri yang datang kepadaku, aku gak mungkin nolak.”
Rengganis masih dengan raut wajah yang tidak
bersahabatnya, “Maksudmu? Iya aku tahu, bahkan alasan lain kamu menerima mereka
sebagai murid-murid les privatmu.”
Aku masih diam, tetapi kemudian lantang berbicara
lagi, “Lantas? Mereka aku pikir pantas untuk aku jadikan siswi-siswi lesku,
meskipun umur mereka seumuran.”
Rengganis lalu memalingkan muka dan tiba-tiba saja
mengucapkan sesuatu yang membuat jiwaku hampir mendidih.
“Sudahlah, katakan saja hal yang sejujurnya, kalau
dirimu mulai naksir mereka kan?”
Aku sudah tidak tahu apa yang akan aku lakukan
lagi saat itu. Hanya kata-kata yang terpikirkan saja yang keluar. Membuat
kondisi Rengganis otomatis makin tidak stabil. Gadis itu bahkan jauh lebih
terluka dengan kata-kataku. Mungkin.
“Memang. Semestinya sebentar lagi mereka akan
kucintai, maksudku salah satu. Ada dua faktor, pertama karena aku lebih sering
bertemu mereka dibanding dirimu. Kedua, kamu yang semakin lama semakin
menyebalkan.”
Rengganis langsung pergi begitu saja sembari
terisak.
Aku memang tidak pernah mengerti perempuan dan
perempuan-perempuan banyak yang tidak mengerti diriku. Termasuk Rengganis.
***
Seminggu lagi hari Valentine, aku tak kunjung juga
bertemu Rengganis. Ke mana gadisku itu? Kini, aku sedang terjebak di rumah
sederhana Arlet, salah satu siswi les privat Kalkulusku, dia punya ibu yang
notabene teman baik ibuku. Sungguh, sebenarnya dia seumuran denganku, kami satu
angkatan dan tentu saja beda sekolah.
“Masalah lagi dengan Rengganis?” Arlet membuyarkan
lamunanku.
Aku masih menatap keluar dari balik jendela ruang
tamu rumah Arlet. Saat itu di rumah Arlet hanya ada kami berdua.
“Ya,” jawabku singkat.
Arlet yang tadi duduk kini mengubah posisi
badannya menjadi berdiri.
“Rengganis pasti sudah tahu kan fakta kalau kamu
mengajar Kalkulus denganku? Maksudku mengajariku lebih tepatnya. Wajar kalau
dia cemburu, aku pernah punya masalah dengan dia …”
Aku sungguh tersentak saat kudengar pernyataan
langsung Arlet yang akan segera kukorek benang merah yang menghubungkannya
dengan pacarku bernama Rengganis. Apa yang sebenarnya terjadi di belakangku
antara Rengganis dengan Arlet?
“Aku ingin tahu lebih jauh … Tolong ceritakan …”
Arlet mengajakku duduk. Kini bukan dalam kondisi
bercengkrama lagi dengan rumus-rumus yang mampu membuat otak kami berdua
berputar-putar, tetapi lebih ke arah pembicaraan lainnya. Ini masih tentang
Rengganis, juga Arlet.
***
Hujan masih belum berhenti saat sudah dua jam lalu
kutinggalkan rumah Arlet. Aku membawa oleh-oleh kisah Rengganis dari sudut
pandang Arlet. Tidak pernah aku duga, dulunya Rengganis memiliki pacar yang
direbut Arlet. Dan kisah itu berakhir tak sesuai rencana yang indah karena
tidak ada satu pun baik Arlet ataupun Rengganis mendapatkan cowok yang ditaksir
mereka berdua. Karena lelaki itu tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat kala
kendaraan yang ditumpanginya jatuh ke laut.
Tokk .. tokk .. tokk …
Aku mengetuk pintu rumah Rengganis namun tak
kunjung kudapati satu sosok manusia pun yang hadir dari balik pintu itu setelah
kulakukan aktivitas tadi.
Ke mana perginya semua orang di rumah Rengganis?
Batinku yang mulai kecewa saat hampir ketukan ketujuh tak ada satupun respon.
Barulah setelah ketukan kedelapan, kudapati seorang asisten rumah tangga
keluarga Rengganis yang nongol. Aku mendesah lega.
“Maaf Dik Arya, semua orang pergi ke rumah sakit,
Non Rengganis kena tabrak lari …”
Lalu seperti ada godam besar memalu kesadaranku
kuat-kuat. Hujan sudah hampir reda, tetapi kini akan aku rasakan sepertinya
akan ada hujan yang menderas dari pelupuk mataku. Sungguh, aku menyesal telah
memperlakukan Rengganis dengan tidak menyenangkan tempo hari lalu. Aku harus
segera menyusulnya mendapatkan permohonan maafnya. Rengganis tunggu.
***
Ke mana semua orang? Aku terbangun dari lelapku
semenjak dua jam lalu. Saat kudapati Rengganis tergolek lemah dan sedang dalam
proses penanganan, aku kemudian tak tega melihatnya. Aku bergegas menuju ke
pojok area rumah sakit yang di sana terdapat mushala. Aku dirikan solat gaib
dulu untuk seseorang yang amat kusayangi. Sungguh, aku rela jika jiwaku ditukar
dengannya sekarang, yang terpenting dia masih menghela napas.
Aku berjalan terus sepanjang koridor rumah sakit.
Sungguh tempat ini amat sepi sekali, seperti tak ada kehidupan di sini. Tak
kudapati lagi bau obat-obatan yang seakan aroma tempat perbatasan antara maut
dan kehidupan. Juga tak kutemui pasien yang tengah tergolek lemah di ranjang
mereka masing-masing di setiap kamar rumah sakit ini. Aku mengintip dari
jendela.
Aku sedang berada di mana? Langkahku kemudian
dituntun menuju ruang Rengganis dirawat. Apa semua paramedis telah lenyap dari
sana melihat fakta bahwa telah lama kutinggalakan Rengganis? Tetapi tetap tidak
ada siapa-siapa di sana. Juga di ruangan lainnya. Saat kulirik penunjuk waktu
di salah satu ruangan rumah sakit yang tak terkunci pintunya, betapa
terkejutnya aku saat kulihat tiga buah jarum jam yang melekat di benda itu
berputar dengan posisi berlawanan. Aku limbung seketika … Gelap kemudian
memukatku lekat-lekat.
***
“Ar .. Ar .. Arya bangun…”
Aku kemudian membuka mata saat kusadari ada
seseorang yang berusaha membangunkanku. Ya Tuhan, dia ayah Rengganis yang
sangat kukenal sekali.
“Rengganis sudah sadar, kamu bisa besuk dia
sekarang.”
Lalu seperti ada cahaya yang menerangi hatiku yang
telah lama berkabut. Aku pasti akan segera menemui Rengganis dan memohon maaf
atas segala ucapanku beberapa tempo hari lalu.[]
Komentar
Posting Komentar