Langsung ke konten utama

Cerpen Dawai Rasa Rengganis (Kabar Cirebon, 20 Juni 2020)


Aku sudah cukup sabar menahan tingkah laku Rengganis yang seakan tidak pernah mau mengalah terhadapku. Aku tahu gadis itu sangat keras kepala, bahkan kelewat keras kepala. Aku ingin mengatakan padanya bahwa sungguh aku sangat mencintainya, tetapi jika terus-menerus ia bertingkah bak layaknya anak kecil, aku tak segan akan mencampakannya begitu saja.

Rengganis, aku menyayangimu, sungguh, maka berhentilah bertingkah seolah kamu mengulang masa kanak-kanakmu. Aku sungguh ingin berhenti melakukan hal-hal yang kupikir sangat gila. Iya, gila. Kamu terus memarahiku karena menurutmu aku dekat dengan gadis-gadis lain, ya tentu saja Rengganis, ini adalah tuntutan pekerjaan, kamu tahu sendiri pekerjaanku itu macam apa, tetapi kamu tak kunjung sadar untuk memakluminya.

“Kamu seharusnya bisa memilih siswa mana yang pantas kamu mentori!” Rengganis mengatakan hal yang tidak aku suka, ia memulai lagi menyulut pertengkaran.

Aku berusaha sabar, “Kamu tahu sendiri Rengganis, orangtua-orangtua mereka sendiri yang datang kepadaku, aku gak mungkin nolak.”

Rengganis masih dengan raut wajah yang tidak bersahabatnya, “Maksudmu? Iya aku tahu, bahkan alasan lain kamu menerima mereka sebagai murid-murid les privatmu.”

Aku masih diam, tetapi kemudian lantang berbicara lagi, “Lantas? Mereka aku pikir pantas untuk aku jadikan siswi-siswi lesku, meskipun umur mereka seumuran.”

Rengganis lalu memalingkan muka dan tiba-tiba saja mengucapkan sesuatu yang membuat jiwaku hampir mendidih.

“Sudahlah, katakan saja hal yang sejujurnya, kalau dirimu mulai naksir mereka kan?”

Aku sudah tidak tahu apa yang akan aku lakukan lagi saat itu. Hanya kata-kata yang terpikirkan saja yang keluar. Membuat kondisi Rengganis otomatis makin tidak stabil. Gadis itu bahkan jauh lebih terluka dengan kata-kataku. Mungkin.

“Memang. Semestinya sebentar lagi mereka akan kucintai, maksudku salah satu. Ada dua faktor, pertama karena aku lebih sering bertemu mereka dibanding dirimu. Kedua, kamu yang semakin lama semakin menyebalkan.”

Rengganis langsung pergi begitu saja sembari terisak.

Aku memang tidak pernah mengerti perempuan dan perempuan-perempuan banyak yang tidak mengerti diriku. Termasuk Rengganis.

***

Seminggu lagi hari Valentine, aku tak kunjung juga bertemu Rengganis. Ke mana gadisku itu? Kini, aku sedang terjebak di rumah sederhana Arlet, salah satu siswi les privat Kalkulusku, dia punya ibu yang notabene teman baik ibuku. Sungguh, sebenarnya dia seumuran denganku, kami satu angkatan dan tentu saja beda sekolah.

“Masalah lagi dengan Rengganis?” Arlet membuyarkan lamunanku.

Aku masih menatap keluar dari balik jendela ruang tamu rumah Arlet. Saat itu di rumah Arlet hanya ada kami berdua.

“Ya,” jawabku singkat.

Arlet yang tadi duduk kini mengubah posisi badannya menjadi berdiri.

“Rengganis pasti sudah tahu kan fakta kalau kamu mengajar Kalkulus denganku? Maksudku mengajariku lebih tepatnya. Wajar kalau dia cemburu, aku pernah punya masalah dengan dia …”

Aku sungguh tersentak saat kudengar pernyataan langsung Arlet yang akan segera kukorek benang merah yang menghubungkannya dengan pacarku bernama Rengganis. Apa yang sebenarnya terjadi di belakangku antara Rengganis dengan Arlet?

“Aku ingin tahu lebih jauh … Tolong ceritakan …”

Arlet mengajakku duduk. Kini bukan dalam kondisi bercengkrama lagi dengan rumus-rumus yang mampu membuat otak kami berdua berputar-putar, tetapi lebih ke arah pembicaraan lainnya. Ini masih tentang Rengganis, juga Arlet.

***

Hujan masih belum berhenti saat sudah dua jam lalu kutinggalkan rumah Arlet. Aku membawa oleh-oleh kisah Rengganis dari sudut pandang Arlet. Tidak pernah aku duga, dulunya Rengganis memiliki pacar yang direbut Arlet. Dan kisah itu berakhir tak sesuai rencana yang indah karena tidak ada satu pun baik Arlet ataupun Rengganis mendapatkan cowok yang ditaksir mereka berdua. Karena lelaki itu tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat kala kendaraan yang ditumpanginya jatuh ke laut.

Tokk .. tokk .. tokk …

Aku mengetuk pintu rumah Rengganis namun tak kunjung kudapati satu sosok manusia pun yang hadir dari balik pintu itu setelah kulakukan aktivitas tadi.

Ke mana perginya semua orang di rumah Rengganis? Batinku yang mulai kecewa saat hampir ketukan ketujuh tak ada satupun respon. Barulah setelah ketukan kedelapan, kudapati seorang asisten rumah tangga keluarga Rengganis yang nongol. Aku mendesah lega.

“Maaf Dik Arya, semua orang pergi ke rumah sakit, Non Rengganis kena tabrak lari …”

Lalu seperti ada godam besar memalu kesadaranku kuat-kuat. Hujan sudah hampir reda, tetapi kini akan aku rasakan sepertinya akan ada hujan yang menderas dari pelupuk mataku. Sungguh, aku menyesal telah memperlakukan Rengganis dengan tidak menyenangkan tempo hari lalu. Aku harus segera menyusulnya mendapatkan permohonan maafnya. Rengganis tunggu.

***

Ke mana semua orang? Aku terbangun dari lelapku semenjak dua jam lalu. Saat kudapati Rengganis tergolek lemah dan sedang dalam proses penanganan, aku kemudian tak tega melihatnya. Aku bergegas menuju ke pojok area rumah sakit yang di sana terdapat mushala. Aku dirikan solat gaib dulu untuk seseorang yang amat kusayangi. Sungguh, aku rela jika jiwaku ditukar dengannya sekarang, yang terpenting dia masih menghela napas.

Aku berjalan terus sepanjang koridor rumah sakit. Sungguh tempat ini amat sepi sekali, seperti tak ada kehidupan di sini. Tak kudapati lagi bau obat-obatan yang seakan aroma tempat perbatasan antara maut dan kehidupan. Juga tak kutemui pasien yang tengah tergolek lemah di ranjang mereka masing-masing di setiap kamar rumah sakit ini. Aku mengintip dari jendela.

Aku sedang berada di mana? Langkahku kemudian dituntun menuju ruang Rengganis dirawat. Apa semua paramedis telah lenyap dari sana melihat fakta bahwa telah lama kutinggalakan Rengganis? Tetapi tetap tidak ada siapa-siapa di sana. Juga di ruangan lainnya. Saat kulirik penunjuk waktu di salah satu ruangan rumah sakit yang tak terkunci pintunya, betapa terkejutnya aku saat kulihat tiga buah jarum jam yang melekat di benda itu berputar dengan posisi berlawanan. Aku limbung seketika … Gelap kemudian memukatku lekat-lekat.

***

“Ar .. Ar .. Arya bangun…”

Aku kemudian membuka mata saat kusadari ada seseorang yang berusaha membangunkanku. Ya Tuhan, dia ayah Rengganis yang sangat kukenal sekali.

“Rengganis sudah sadar, kamu bisa besuk dia sekarang.”

Lalu seperti ada cahaya yang menerangi hatiku yang telah lama berkabut. Aku pasti akan segera menemui Rengganis dan memohon maaf atas segala ucapanku beberapa tempo hari lalu.[]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)