Langsung ke konten utama

Cerpen Mengejar Senja (Kabar Cirebon, 27 Juli 2019)





Dara telah kutemui di Kafe Cemara 31 dua bulan lalu. Awalnya kami saling mengenal lewat media sosial Instagram. Kemudian kami saling akrab karena memiliki kesamaan pada bidang fotografi. Setelahnya kami sering memburu foto bersama-sama hanya untuk kami pajang di situs yang memang terkenal dengan foto-fotonya itu. Lebih tepatnya aplikasi yang selalu menampilkan hal-hal indah tersebut.
Dara adalah gadis remaja sepertiku juga. Dia sedang berada di tingkat satu SMA, sama sepertiku. Sekolahku dan sekolahnya hanya berjarak kurang lebih dua kilometer yang sama-sama berada di jantung kota kami yang padat penduduk dan selalu terasa panas bagaikan kompor hidup yang tak pernah dimatikan. Aku dan Dara sama-sama selalu mengeluh tentang hal ini, andai kota kami lebih sejuk.
Aku sangat dekat dengan Dara. Meskipun kami baru kenal selama dua bulan saja. Aku bagaikan wadah polos kosong yang selalu siap menampung apa saja sedangkan Dara seperti cawan bocor yang memiliki bolong menganga sangat lebar. Maka, kita berdua cocok satu sama lain karena Dara mengakuiku sebagai pendengar yang sangat baik ditambah dia sebagai pribadi extrovert yang terbuka.
Akhir-akhir ini segala keindahan itu tak tampak sempurna lagi karena Dara pelan-pelan selalu saja menghindariku. Setiap kali aku mengajaknya untuk bertemu, yang ada jawaban ajakanku adalah penolakan-penolakan berkali-kali yang sudah sangat-sangat parah. Ada apa Dar? Kadang aku hanya ingin bertanya seperti itu saja, pada akhirnya kata nihil yang aku dapatkan. Aku tidak berani.
Dara pernah bilang kalau akhir-akhir ini hatinya selalu berwarna-warni. Karena seorang cowok sedang mendekatinya. Dan seperti remaja perempuan lainnya, awalnya Dara seperti sedikit-sedikit menolak. Namun, pada akhirnya ia terima juga. Gayung bersambut istilahnya, entahlah aku tidak tahu siapa cowok beruntung yang mendekati Dara. Intinya semenjak kejadian tersebut, Dara benar-benar tidak bisa menepati janjinya lagi. Kusebut itu sebagai janji Dara. Janji untuk bersama-sama memburu foto setiap Sabtu sore. Kami mengejar senja, atau senja yang mengejar kami. Kami para fotografer amatir yang selalu saja merepotkan satu sama lain. Apa mungkin Dara merasa aku sangat membuatnya merasa tidak nyaman? Aku sebenarnya lelah untuk terus menduga-duga ini atau itu, hal tersebut atau hal lainnya.
Maka sore ini aku menyengaja untuk datang ke sekolah Dara. Sungguh beberapa wajah sangat familiar. Ya tentu saja, kota kecil kami memang seperti daun kelor, maksudku selebar daun kelor. Teman-teman yang dulunya satu SMP denganku sangat mudah kutemui di sini. Namun, aku hanya membalas dengan senyum saja, tidak banyak basa-basi yang kusampaikan karena memang aku tidak memiliki urusan dengan mereka. Aku sungguh benar-benar ingin bertemu Dara. Sekarang saatnya aku menagih janji Dara.
Sialnya saat itu aku mendapatkan sesuatu yang sungguh membuatku geram hati. Bagaimana tidak, setelah aku bertemu dengan Dara, temenku itu hanya melihatku sekilas. Ia merasa sangat tidak bersemangat dan sangat-sangat tidak peduli lagi denganku. Mukanya sangat kecut serupa rasa buah belum matang yang dipaksa untuk diambil. Jadilah, aku sangat merasa terpukul.
Ditambah tiba-tiba sesosok cowok bertubuh tinggi tegap dan standar mendekatinya. Siapa dia? Hatiku membatin. Tentu saja pada akhirnya saat itu aku tahu dia adalah kekasih Dara. Oh tidak, mungkin sekarang aku sudah tidak penting lagi bagi Dara. Mungkin dan tentu saja sekarang aku bukan lagi prioritasnya. Kini aku hanyalah puzzle yang tak perlu dipakai untuk melengkapi kebahagiaan Dara. Peranku telah tergantikan oleh kekasih tercintanya yang bernama entah. Ya memang, aku belum tahu dan tidak berminat untuk mengetahuinya, lelaki itu.
***
Laura menemui saya tadi sore. Sayangnya saya dalam keadaan sangat tidak mood. Sungguh saya sangat menyesal akan hal tersebut. Namun, mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur dan Laura pun sudah balik dan lenyap. Saya sungguh keterlaluan.
“Nggak usah ketemu kembaranmu Dar, sekarang ada aku yang akan selalu berada di sampingmu.”
Kai. Iya nama cowok itu. Apa yang tadi dia katakan? Secara tidak langsung dia bilang untuk selalu ada di samping saya dan mau tidak mau harus melenyapkan Laura dalam hidup saya. Tetapi, sungguh saya tidak bisa. Laura adalah kenangan saya yang sangat tulus. Ia teman yang tidak pernah merisak saya meskipun sayang memiliki tampang yang sangat aneh. Laura adalah karib yang seperti dipisahkan bertahun-tahun lamanya, namun hanya perlu beberapa menit lagi untuk akrab kembali. Sungguh dia bagaikan keajaiban dunia kedelapan bagi saya.
“Sekarang ayo Dar kita nonton ke bioskop. Film favorit kita menanti…”
Seperti itulah Kai. Selalu saja memaksakan kehendaknya, padahal siapa tahu saya juga memiliki sesuatu untuk saya bagikan. Namun, sepertinya segalanya sia-sia. Dia sangat mendominasi saya dalam hubungan percintaan ini. Lelaki memang ditakdirkan untuk demikian, anehnya saya berharap sesuatu yang di luar keadaan normal. Saya selalu ingin sosok yang mengerti saya apa adanya, dan yang paling penting adalah dia pendengar yang selalu bisa membuat saya nyaman. Ini aneh memang, di satu sisi saya merasa tidak enak hati dengan keberadaan kekasih saya di lingkaran hidup saya. Di satu sisi lainnya, saya merasa bahwa ini akan menjadi bencana jika saya memutuskan Kai. Saya akan sendiri lagi. Di sini. Sendiri.
Jika saja Laura satu sekolah dengan saya. Pasti segalanya akan terasa mudah. Rasanya lelah dirundung terus oleh teman-teman seisi sekolah. Bukan, bukan karena muka tidak artistik saya, tetapi karena saya memiliki kakak yang mana seorang residivis. Seisi sekolah selalu memanggil saya sebagai anggota keluarga bajingan. Ditambah setahun lalu ayah saya divonis sebagai tersangka korupsi. Sungguh ini memalukan dan sangat menjijikan jika saya ingat terus.
Kai, Kai, Kai, dia selalu menemani saya ke mana pun saya pergi. Kai, Kai, Kai, dia seperti malaikat penjaga yang selalu mengawasi ke mana saja saya pergi. Ini lebih dari cukup, ini lebih dari romantis. Namun, kenapa hati ini tidak lega saat berada di sampingnya? Saya butuh Laura. Saya ingin menceritakan segalanya. Hanya saja, Kai melarang saya untuk bertemu Laura.
***
Ucapan permintaan maaf itu aku terima dari Dara. Dia bilang kalau dia memang sedang dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Ya, sekarang aku tahu kenapa Dara sangat sulit bertemu denganku. Semua ulah Kai yang sungguh menganggap Dara seperti bocah kecil polos.
Aku sedikit merasa lapang karena sebenarnya Dara juga berkeinginan untuk bertemu denganku. Bagaimanapun tali persahabatan yang telah kita sambung bersama-sama tidak begitu saja mudah rusak. Agaknya, segalanya memang mengikuti arah takdir berbeda, namun pasti.
Aku pun berpikir bahwa mungkin setelah ini Dara akan memenuhi janjinya lagi untuk memburu pemandangan-pemandangan jelang senja dan tentu saja mengabadikannya secara bersama-sama lewat lensa. Hobi kami sama-sama tidak begitu saja luntur setelah banyak masalah membara. Aku dan Dara pada akhirnya adalah pejuang-pejuang remaja pengembara.
Dari kejauhan aku melihat Dara bergandengan tangan mesra dengan Kai. Dari lubuk hati terdalam ada lara yang mendera. Mereka kemudian masuk ke sinema. Aku merasa rela.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)