Suatu hari aku mengunjungi
rumahnya. Tapi aku tidak menemukan dirinya di sana. Bahkan batang hidungnya
saja tidak. Aku merasa kecewa saat itu karena aku belum berusaha meminta maaf
atas apa yang aku lakukan padanya. Setahun lalu, aku mempermalukannya di depan
umum dengan membatalkan sepihak momen sakral yang akan kita jalani bersama.
Iya, pernikahan itu batal begitu saja. Aku kabur saat itu karena aku memang
benar-benar pecundang. Aku tak mampu menahan lagi untuk terus pura-pura
bahagia, karena sebenarnya saat itu aku benar-benar rusak.
Kini aku berusaha
mengunjunginya lagi ketika segalanya sudah lebih stabil. Aku melihatnya dari
jauh. Dia tengah sibuk dengan dagangan kolaknya. Ya dia memang seorang pedagang
sejati, tidak pernah menyerah meskipun dagangannya sepi sekali pun. Dia akan
tetap berusaha. Untungnya hari ini mungkin tepat hari keberuntunganya. Hari ini
adalah pertengahan ramadhan. Dagangan dia sepertinya hari ini laris, maka dia
tak berhenti-hentinya menghias senyum di bibirnya.
Aku tidak kuasa untuk
mendekat. Maka aku mendekat begitu saja meskipun jantungku tidak bisa berhenti
untuk berdebar. Ada yang terus berdebar dan tidak bisa tenang, ternyata bukan
jantungku saja namun jiwaku barangkali saat ini juga tengah berguncang.
“Mas…” katanya sembari ia
memasang muka tak percaya dengan kehadiranku.
“Din…” kataku. Tapi ternyata
respon yang tak kusangka terjadi saat itu juga.
Seorang lelaki datang dari
arah belakang dan kemudian mengajaknya pergi. Dia tidak tahu siapa aku bagi
Dina. Dia mungkin hanya tahu bahwa aku adalah pembeli biasa. Pembeli yang saat
itu juga kehabisan kolak dan mungkin terpaksa akan kelaparan saat waktu
berbuka. Dina hanya pasrah dan mukanya masih dikunci dengan keterkejutan. Maka,
aku pun turut pamit dan hilang.
Sesampainya aku di rumah aku
masih meneruskan pikiranku tentang Dina. Akh, siapa kah lelaki yang menjemput
Dina itu? Apakah dia sudah berstatus orang yang legal bagi Dina? Atau siapa?
Seharian pikiranku dikuasai oleh tanda tanya yang mungkin akan membunuhku
perlahan-lahan. Bahkan mungkin nanti aku akan mati tanpa diketahui siapa pun.
Tidak ada yang lebih menyedihkan selain mati karena dilupakan dan tidak bisa
bahkan menyampaikan permintaan maaf pada orang terkasih. Ini tidak boleh
dibiarkan terjadi sehingga aku saat itu juga berusaha untuk berangkat menuju
rumah Dina. Untuk memastikan kembali sebelum aku benar-benar hancur.
Tidak. Ini tidak boleh
terjadi. Perang batin terjadi di dalam hatiku. Ada suara baik dan suara buruk yang
berusaha memengaruhiku. Apakah aku harus pergi atau tidak? Aku benar-benar
merasa menjadi manusia paling bodoh sedunia. Aku merasa mungkin ini karma yang
seharusnya tidak aku alami saat bulan suci ini. Sungguh ini memuakkan. Dan pada
akhirnya aku membenci diriku sendiri karena hal ini. Tidak ada pilihan. Aku
benar-benar harus pergi mengunjungi Dina.
Sepanjang jalan yang ada
dalam pikiranku hanya Dina. Setahun lalu, setelah semua persiapan pernikahan
mencapai seratus persen, aku kabur dari pelaminan bahkan sebelum menampakkan diri.
Tidak, hari itu aku benar-benar kacau. Seminggu sebelumnya aku menemukan surat
tergeletak di depan rumahku yang isinya sebuah ultimatum untuk membatalkan
pernikahanku dengan Dina. Kenapa aku begitu bodoh? Hanya karena surat yang tak
jelas juntrungannya itu aku membatalkan segalnya. Isi surat itu berisi bahwa
jika aku ingin mengetahui keberadaan orangtuaku, aku harus segera membatalkan
pernikahan itu hari itu juga. Sial.
Sudah beberapa minggu juga
tak ada kabar dari ibuku yang hilang saat itu. Aku sungguh frustrasi sehingga
aku tak bisa berpikir jernih. Dina menguatku saat itu tetapi aku yang pada
akhirnya tidak kuat mental untuk terus bertahan di sisinya. Saat hari
pernikahan, sungguh aku sudah tidak bisa berpikir dengan kepala dingin lagi.
Aku indahkan permintaan surat itu untuk menemui ibuku, satu-satunya orang tua yang
kupunya. Aku tinggalkan Dina yang tentu saja menjadi nelangsa setelahnya
menurut pendapat orang-orang. Tentu saja, siapa yang tidak akan menjadi retak
hatinya saat kenangan indah malah berubah menjadi bencana.
Aku telusuri saat itu juga
keberadaan ibuku dan ternyata hasilnya nihil. Yang aku dapatkan hanya bukti
bodoh bahwa mantan kekasihku dari masa lalu yang ternyata terobsesi padaku
sehingga mengerjaiku sampai ke level yang tidak aku mengerti. Aku sungguh tidak
mengerti lagi dengan semua itu, marahku sudah mencapai level puncak sehingga
aku tidak bisa apa-apa lagi selain melupakan segalanya. Aku pergi ke luar
negeri untuk mengambil kuliah singkat demi kesehatan jiwaku yang saat itu hancur
berkeping-keping. Sungguh sangat menedihkan hidupku.
Sekembalina dari sana, kini
aku mencari Dina. Mungkin bukan perkara mudah saat aku berusaha untuk
mendekatinya lagi. Bukan hal mudah untuk menjalin setidaknya hubungan
pertemanan saja dengan Dina. Ini akan sangat sulit. Nasi sudah menjadi bubur.
Hati Dina mungkin sudah hancur berkeping-keping karenaku. Sungguh aku sudah
menghancurkan hati Dina begitu dalam. Tetapi, aku siap Dina dengan segala
konsekuensi yang akan aku terima. Aku hanya ingin memperbaiki segalanya dari
pecahan paling kecil. Bertemu dengan Dina dan tersenyum padanya.
Sekarang aku sudah ada di
depan rumah Dina. Siap untuk membuka lembaran baru meski itu lembaran hidupku
saja.
***
Setelah kejadian itu, kata
banyak orang aku terkena syok berat. Hidupku sudah tidak sama lagi. Aku memang
tinggal bersama orang tuaku yang bukan orang tua kandung alias mereka paman
bibiku. Katanya seorang laki-laki membatalkan acara pernikahan kami. Aku ang
saat itu terguncang kemudian tidak bisa mengontrol diri. Saat aku lari tak
tentu arah aku terjatuh dan kepalaku membentur batu. Saat itu juga ingatanku
sirna tak bersisa. Mungkin itu cara Tuhan menyembuhkan segalanya. Ia berusaha
menyelamatkan hatiku yang rapuh. Sungguh itu keajaiban.
Orang-orang di sekitarku tidak
pernah membicarakan siapa dirinya. Siapa lelaki itu? Jika suatu hari aku
bertemu dengannya, mungkin aku tidak akan bereaksi apa-apa karena memang hatiku
tak merasakan apa-apa. Aku tidak mengingat bahkan memori terkecil dengannya.
Maka siang itu aku melihat
sosok yang selama ini tak pernah kulihat. Menatapku dengan saksama, sosok itu
seperti telah mengenalku ribuan tahun lamanya. Carana memandangku seperti
melihat sosok yang telah akrab sebagai teman masa kecil selama puluhan tahun
lamanya. Aku tidak tahu siapa dia tapi aku merasa familiar dengannya. Apakah
itu salah satu temanku atau bukan?
Saat itu Ikhram menjemputku
dari booth tempat aku menjaga dagangan kolak. Ini bulan ramadhan sehingga aku
bekerja sampingan untuk menambah-nambah rezeki. Ikhram lah yang selama ini
menjagaku dari semenjak aku tertimpa musibah itu. Awalnya dia hanyalah asisten
dokter yang menanganiku. Namun, dia ternyata berusaha untuk lebih dekat dan
selalu memberikan perhatian terhadapku. Siapapun lelakiku ang di masa lalu
telah menyia-nyiakanku, mungkin dia harus berusaha menjauhiku karena hatiku
lambat laun tak terasa tertambat pada Ikhram. Meskipun begitu tak ada sedikit
pun rasa dendam, sedih, atau terluka karena lelaki masa laluku. Mungkin itu
cara unik Sang Penguasa menunjukkan kebesarannya. Luka terlampau dalam yang
terlupa barangkali namanya.[]
Bagus cerpennya, De. Memakai dua sudut pandang yang ternyata memiliki kejutan masing-masing, berupa alasan mereka berseteru.
BalasHapusiya kang thank you🙏🙏🙏
Hapus