Langsung ke konten utama

Cerpen Bingkai Memori (Kabar Cirebon, 25 Mei 2019)

Suatu hari aku mengunjungi rumahnya. Tapi aku tidak menemukan dirinya di sana. Bahkan batang hidungnya saja tidak. Aku merasa kecewa saat itu karena aku belum berusaha meminta maaf atas apa yang aku lakukan padanya. Setahun lalu, aku mempermalukannya di depan umum dengan membatalkan sepihak momen sakral yang akan kita jalani bersama. Iya, pernikahan itu batal begitu saja. Aku kabur saat itu karena aku memang benar-benar pecundang. Aku tak mampu menahan lagi untuk terus pura-pura bahagia, karena sebenarnya saat itu aku benar-benar rusak.
Kini aku berusaha mengunjunginya lagi ketika segalanya sudah lebih stabil. Aku melihatnya dari jauh. Dia tengah sibuk dengan dagangan kolaknya. Ya dia memang seorang pedagang sejati, tidak pernah menyerah meskipun dagangannya sepi sekali pun. Dia akan tetap berusaha. Untungnya hari ini mungkin tepat hari keberuntunganya. Hari ini adalah pertengahan ramadhan. Dagangan dia sepertinya hari ini laris, maka dia tak berhenti-hentinya menghias senyum di bibirnya.
Aku tidak kuasa untuk mendekat. Maka aku mendekat begitu saja meskipun jantungku tidak bisa berhenti untuk berdebar. Ada yang terus berdebar dan tidak bisa tenang, ternyata bukan jantungku saja namun jiwaku barangkali saat ini juga tengah berguncang.
“Mas…” katanya sembari ia memasang muka tak percaya dengan kehadiranku.
“Din…” kataku. Tapi ternyata respon yang tak kusangka terjadi saat itu juga.
Seorang lelaki datang dari arah belakang dan kemudian mengajaknya pergi. Dia tidak tahu siapa aku bagi Dina. Dia mungkin hanya tahu bahwa aku adalah pembeli biasa. Pembeli yang saat itu juga kehabisan kolak dan mungkin terpaksa akan kelaparan saat waktu berbuka. Dina hanya pasrah dan mukanya masih dikunci dengan keterkejutan. Maka, aku pun turut pamit dan hilang.
Sesampainya aku di rumah aku masih meneruskan pikiranku tentang Dina. Akh, siapa kah lelaki yang menjemput Dina itu? Apakah dia sudah berstatus orang yang legal bagi Dina? Atau siapa? Seharian pikiranku dikuasai oleh tanda tanya yang mungkin akan membunuhku perlahan-lahan. Bahkan mungkin nanti aku akan mati tanpa diketahui siapa pun. Tidak ada yang lebih menyedihkan selain mati karena dilupakan dan tidak bisa bahkan menyampaikan permintaan maaf pada orang terkasih. Ini tidak boleh dibiarkan terjadi sehingga aku saat itu juga berusaha untuk berangkat menuju rumah Dina. Untuk memastikan kembali sebelum aku benar-benar hancur.
Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Perang batin terjadi di dalam hatiku. Ada suara baik dan suara buruk yang berusaha memengaruhiku. Apakah aku harus pergi atau tidak? Aku benar-benar merasa menjadi manusia paling bodoh sedunia. Aku merasa mungkin ini karma yang seharusnya tidak aku alami saat bulan suci ini. Sungguh ini memuakkan. Dan pada akhirnya aku membenci diriku sendiri karena hal ini. Tidak ada pilihan. Aku benar-benar harus pergi mengunjungi Dina.
Sepanjang jalan yang ada dalam pikiranku hanya Dina. Setahun lalu, setelah semua persiapan pernikahan mencapai seratus persen, aku kabur dari pelaminan bahkan sebelum menampakkan diri. Tidak, hari itu aku benar-benar kacau. Seminggu sebelumnya aku menemukan surat tergeletak di depan rumahku yang isinya sebuah ultimatum untuk membatalkan pernikahanku dengan Dina. Kenapa aku begitu bodoh? Hanya karena surat yang tak jelas juntrungannya itu aku membatalkan segalnya. Isi surat itu berisi bahwa jika aku ingin mengetahui keberadaan orangtuaku, aku harus segera membatalkan pernikahan itu hari itu juga. Sial.
Sudah beberapa minggu juga tak ada kabar dari ibuku yang hilang saat itu. Aku sungguh frustrasi sehingga aku tak bisa berpikir jernih. Dina menguatku saat itu tetapi aku yang pada akhirnya tidak kuat mental untuk terus bertahan di sisinya. Saat hari pernikahan, sungguh aku sudah tidak bisa berpikir dengan kepala dingin lagi. Aku indahkan permintaan surat itu untuk menemui ibuku, satu-satunya orang tua yang kupunya. Aku tinggalkan Dina yang tentu saja menjadi nelangsa setelahnya menurut pendapat orang-orang. Tentu saja, siapa yang tidak akan menjadi retak hatinya saat kenangan indah malah berubah menjadi bencana.
Aku telusuri saat itu juga keberadaan ibuku dan ternyata hasilnya nihil. Yang aku dapatkan hanya bukti bodoh bahwa mantan kekasihku dari masa lalu yang ternyata terobsesi padaku sehingga mengerjaiku sampai ke level yang tidak aku mengerti. Aku sungguh tidak mengerti lagi dengan semua itu, marahku sudah mencapai level puncak sehingga aku tidak bisa apa-apa lagi selain melupakan segalanya. Aku pergi ke luar negeri untuk mengambil kuliah singkat demi kesehatan jiwaku yang saat itu hancur berkeping-keping. Sungguh sangat menedihkan hidupku.
Sekembalina dari sana, kini aku mencari Dina. Mungkin bukan perkara mudah saat aku berusaha untuk mendekatinya lagi. Bukan hal mudah untuk menjalin setidaknya hubungan pertemanan saja dengan Dina. Ini akan sangat sulit. Nasi sudah menjadi bubur. Hati Dina mungkin sudah hancur berkeping-keping karenaku. Sungguh aku sudah menghancurkan hati Dina begitu dalam. Tetapi, aku siap Dina dengan segala konsekuensi yang akan aku terima. Aku hanya ingin memperbaiki segalanya dari pecahan paling kecil. Bertemu dengan Dina dan tersenyum padanya.
Sekarang aku sudah ada di depan rumah Dina. Siap untuk membuka lembaran baru meski itu lembaran hidupku saja.
***
Setelah kejadian itu, kata banyak orang aku terkena syok berat. Hidupku sudah tidak sama lagi. Aku memang tinggal bersama orang tuaku yang bukan orang tua kandung alias mereka paman bibiku. Katanya seorang laki-laki membatalkan acara pernikahan kami. Aku ang saat itu terguncang kemudian tidak bisa mengontrol diri. Saat aku lari tak tentu arah aku terjatuh dan kepalaku membentur batu. Saat itu juga ingatanku sirna tak bersisa. Mungkin itu cara Tuhan menyembuhkan segalanya. Ia berusaha menyelamatkan hatiku yang rapuh. Sungguh itu keajaiban.
Orang-orang di sekitarku tidak pernah membicarakan siapa dirinya. Siapa lelaki itu? Jika suatu hari aku bertemu dengannya, mungkin aku tidak akan bereaksi apa-apa karena memang hatiku tak merasakan apa-apa. Aku tidak mengingat bahkan memori terkecil dengannya.
Maka siang itu aku melihat sosok yang selama ini tak pernah kulihat. Menatapku dengan saksama, sosok itu seperti telah mengenalku ribuan tahun lamanya. Carana memandangku seperti melihat sosok yang telah akrab sebagai teman masa kecil selama puluhan tahun lamanya. Aku tidak tahu siapa dia tapi aku merasa familiar dengannya. Apakah itu salah satu temanku atau bukan?
Saat itu Ikhram menjemputku dari booth tempat aku menjaga dagangan kolak. Ini bulan ramadhan sehingga aku bekerja sampingan untuk menambah-nambah rezeki. Ikhram lah yang selama ini menjagaku dari semenjak aku tertimpa musibah itu. Awalnya dia hanyalah asisten dokter yang menanganiku. Namun, dia ternyata berusaha untuk lebih dekat dan selalu memberikan perhatian terhadapku. Siapapun lelakiku ang di masa lalu telah menyia-nyiakanku, mungkin dia harus berusaha menjauhiku karena hatiku lambat laun tak terasa tertambat pada Ikhram. Meskipun begitu tak ada sedikit pun rasa dendam, sedih, atau terluka karena lelaki masa laluku. Mungkin itu cara unik Sang Penguasa menunjukkan kebesarannya. Luka terlampau dalam yang terlupa barangkali namanya.[]

Komentar

  1. Bagus cerpennya, De. Memakai dua sudut pandang yang ternyata memiliki kejutan masing-masing, berupa alasan mereka berseteru.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)