Langsung ke konten utama

[Review] Looking for Alaska by John Green

Sumber foto di sini




Judul: Looking for Alaska
Penulis: John Green
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Alih bahasa: Barokah Ruziati & Sekar Wulandari
Desain sampul: Martin Dima
Cetakan: Keenam, Agustus 2015
Tebal: 288 hlm.

Pernah gak sih kamu baca kisah remaja luar negeri yang tinggal di asrama? Looking for Alaska karya John Green menceritakan hal itu. Kisahnya tentang Miles Halter yang memulai sekolahnya di Culver Creek, sebuah sekolah persiapan yang difasilitasi pula dengan asrama. Di sana ia pun harus tinggal sekamar dengan Chip Martin. Miles dan Chip keduanya akan menjalani kehidupan remaja yang berapi-api. Terlebih mereka akan sekelompok dengan Takumi, Lara, dan tentu saja Alaska. Lalu, lebih berfokus ke mana sih novel Looking for Alaska ini? Tentu saja kehidupan lima remaja tadi, sebuah rangkaian kisah remaja-remaja yang mencoba badung, mencoba menjajal hal-hal ekstrem.
     
Kisahnya sendiri dialirkan dari sudut pandang Miles. Cowok itu tergolong cupu banget sih, terungkap dari berbagai pemikirannya di buku ini. Miles di Culver Creek akhirnya punya teman, setelah sebelumnya ia selalu menyendiri. Hidup Miles jadi seru akibat ulah Chip yang punya julukan ‘Kolonel’. Cowok itu lebih pendek dari Miles, tetapi digambarkan punya kepemimpinan dan perawakan yang bagus, sehingga Miles yang ceking selalu patuh padanya, selain ia pun tak mau menyulut masalah. Dari penceritaan Miles, kita mampu mengeksplor berbagai karakter di buku ini, terutama tokoh sentral perempuannya, Alaska Young. Dia jahil, pintar, slengean, tetapi punya misteri sendiri, rahasia yang membuatnya impulsif. Alaska juga digambarkan sangat menarik, menawan, dan sangat karismatik, tetapi ia pun memiliki kekurangan. Sedangkan Takumi si cowok Jepang dan Lara yang mana pacar Miles, mereka berdua tidak tampil dengan porsi sebanyak Alaska, Miles, dan Chip. Namun, keduanya tetap punya pengaruh, terutama dalam scene-scene yang berusaha menunjukkan keakraban lima sekawan itu.
                
Meskipun temanya remaja, Looking for Alaska tidak serta merta menampilkan sebuah konflik yang dangkal. Terlebih dengan penggalian masing-masing karakternya yang menurut saya sih lumayan berat. Awal-awal ketika membaca buku ini bahkan sampai bagian pertengahan buku, saya sebagai pembaca masih menimbang-nimbang, sebenarnya mau dibawa ke mana kisahnya? Eh pas bagian SESUDAH, ternyata buku ini menampilkan konflik utamanya. Well, jangan bingung ya. Jadi di buku ini ada dua bagian besar yang diberi nama SEBELUM dan SESUDAH, masing-masing bagian memuat alur cerita yang kontras. Kurang lebih bagian SEBELUM menceritakan mengenai kegiatan-kegiatan seru yang dilakukan lima sekawan, sedangkan bagian SESUDAH mengandung cerita yang senada dengan judul buku ini ‘LOOKING FOR ALASKA’ alias mencari Alaska. Ke mana sih Alaska? Kok sampe harus dicari? Hehe, lebih jelasnya silakan baca buku ini. Bisa dibilang saya lebih menyukai bagian SESUDAH dari novel ini.
                
Layaknya novel lainnya, novel ini pun memiliki kelebihan dan kekurangan. Saya mau bahas kelebihannya dulu nih. Seenggaknya ketika kamu baca buku ini, kamu akan mendapatkan banyak pengetahuan remaja, dan tentu saja hal itu tidak disampaian secara eksplisit oleh penulisnya. Dan pengetahuannya pun tentang kehidupan remaja di luar negeri sih, yup Amerika. saya baru tahu ketika membaca buku ini, ternyata asrama di sana penghuninya bisa campur sari ya? Well, di Indonesia sih gak bakal kayak gitu hehehe… Juga mengenai psikologi remaja, sebenarnya John Green sebagai penulis mencoba menuturkan hal ini lewat banyak tingkah pola Miles, dkk sih, terutama banyaknya kejailan yang mereka lakukan entah itu demi menuntaskan rasa penasaran mereka atau demi harga diri sih, sebut saja ketika mereka melakukan pembalasan untuk anak-anak Weekday Warriors—genk anak-anak kaya yang digambarkan sok di buku ini. Oh ya, jangan kaget ya pas baca buku ini, solanya banyak isu-isu yang mungkin tabu di Indonesia coba diangkat, semisal seks bebas, ganja, alkohol, dll, maklum luar negeri. Sedangkan kekurangannya menurut saya sih, beberapa adegan khususnya di bagian bab SEBELUM, terlalu banyak yang gak memengaruhi plot utama sehingga berpotensi besar membuat pembaca jenuh.
             
Terlepas dari kelebihan kekurangannya, novel pertama John Green ini sungguh luar biasa. Menurut saya John Green mampu menyajikan cerita remaja yang kompleks namun banyak hal warna-warni yang ia coba selipkan dan dia berhasil membaurkannya dengan cerita utama. Looking for Alaska, membuat perspektif saya terhadap kisah remaja semakin terbuka, bahwa semakin remaja terobsesi dengan hasrat masa mudanya, ia harus cepat-cepat sadar akan konsekuensi hal tersebut.

Novel ini saya rekomendasikan, khususnya bagi yang belum baca karya penulis satu ini. Well, saya jadi tertarik untuk membaca karya-karya lain dari John Green, terutama The Fault in Our Stars yang melegenda itu, dan tentu saja Will Grayson Will Grayson yang ditulis duet dengan David Levithan.

BTW, ada beberapa kutipan yang saya favoritkan dari buku ini.
“Tuhan akan menghukum orang-orang jahat. Dan sebelum Dia melakukannya, kita akan menghukum mereka terlebih dahulu.” Halaman 93.
“Mungkin ‘kehidupan setelah mati’ hanya sesuatu yang kita karang untuk meredakan sakitnya kehilangan.” Halaman 277.
“Aku kehilangan sesuatu yang berharga, dan aku tak dapat menemukannya, padahal aku membutuhkannya.” Halaman 182.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)

 

[Travel Writing] Bale Kabuyutan Desa Ciledug Wetan Cirebon

Kemarin mencoba datang ke tempat yang belum pernah dikunjungi. Kebetulan daerah dekat rumah saya. Tulisan ini tadinya telah terkirim ke media tempat PKL saya. Tapi, nasibnya naas karena harus berakhir di recycle bin komputer redaktur. Jadi, saya share saja di blog. Bale kembang di Bale Kabuyutan. (Dok. pribadi) Berlokasi tepat di belakang kantor kuwu Desa Ciledug Wetan Kecamatan Ciledug, Bale Kabuyutan masih berdiri kokoh hingga kini. Bale Kabuyutan adalah salah satu situs peninggalan budaya leluhur Cirebon berbentuk bale kambang (tempat tidur dari kayu). Benda itu tersimpan di dalam ruangan berukuran sekitar 20 x 30 meter. Sedangkan bale kambang itu memiliki ukuran panjang 5 m, lebar 3 m, dan tinggi 0,5 m serta disangga oleh enam tiang. Menurut Mundara (62) selaku juru kunci Bale Kabuyutan, tempat tersebut dulunya difungsikan sebagai tempat pengambilan sumpah bagi mereka yang hendak menganut Islam. Mundara yang sejak tahun 2002 menjadi juru kunci di tempat itu menuturkan bah...

The Cat Returns (2002), Sebuah Ulasan Singkat

Film ini mengisahkan seorang siswa bernama Haru yang kurang bisa menikmati hidupnya karena terasa membosankan. Haru memendam perasaan kepada siswa cowok di sekolahnya namun sayang Haru harus menelan pil pahit karena dia tahu cowok itu sudah memiliki kekasih. Hidup Haru berubah saat dia kemudian menyelamatkan seekor kucing yang akan tertabrak mobil. Sejak saat itu, Haru kembali mempertanyakan kembali makna kebahagiaan dalam hidupnya. Menonton film ini membuatku merasa bahagia dan tenang. Mungkin lebih ke perasaan tentram sepanjang menonton filmnya. Karena aku pikir plot dalam film ini sungguh sangat mudah dicerna namun aku tidak protes. Tidak seperti kebanyakan film lainnya kreasi studio Ghibli, film ini seakan tidak berusaha membuat pusing penontonnya, ya mungkin memang sengaja dibuat mudah ditebak dari segala aspek filmnya.  Menurutku, penonton akan mengambil hikmah tentang tidak banyak menggerutu dalam menjalani hidup saat mereka menuntaskan menonton film ini. Karena ...