Judul: Salad Days
Penulis: Shelly Salfatira
Editor: Irna Permanasari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 232 halaman
Cetakan Pertama: Juli, 2013
Harga: Rp38.000,-
Sinopsis
Selain memiliki prestasi akademis cemerlang, Greta begitu diandalkan dalam tim basket SMA-nya. Ia memiliki kehidupannya yang penuh warna bersama sahabat-sahabatnya: Hanna, Boy, dan Patrick. Tapi semua itu berubah ketika sekolahnya kedatangan murid baru, Dirga. Kesan pertama yang ditinggalkan Dirga di hadapan Greta tidaklah mengenakkan, bahkan membuat Greta cukup kesal.
Namun, ketika Dirga direkrut menjadi anggota tim basket, mau tak mau Greta melihat sisi lain Dirga yang cukup mengagumkan. Hanya saja, saat itu Dirga terlanjur akrab dengan Hanna. Apakah Greta harus mengalah demi sahabatnya?
Review
Ini adalah kali pertama saya membaca teenlit GPU. Dan untungnya usia saya belum terlalu tua untuk mengikuti seluruh fitur dalam buku semacam ini. Kisah dalam Salad Days ternyata membuat saya menyadari bahwa tidak selamanya buku berlabel remaja mengedepankan kisah percintaan ala SMA atau anak kuliahan awal, melainkan lebih dari itu di dalam buku ini, semoga juga di buku-buku lainnya, menyimpan pesan tersirat yang elegan, tentang ambisi meraih mimpi, bagaimana cara mempertahankan persahabatan, rela berkorban, dan belajar mempersiapkan masa depan.
Dalam buku Salad Days, Shelly Salfatira sebagai dalang di balik alur cerita, menghadirkan sosok Azmarie Greta alias Greta, seorang gadis energik pencinta olahraga basket yang cantik, pintar, dan istimewa karena sikapnya yang rendah hati, tidak pernah menampakkan kekayaannya. Terlalu unbeliveable, atau too good to be true, namun untungnya Shelly Salfatira berhasil menghasilkan karakter yang mendekati 'dewa' itu menjadi manusia seutuhnya kala konflik mulai bergulir dan kepentingan masing-masing karakter bertabrakan satu sama lain.
Victoria Hanna alias Hanna adalah satu-satunya sahabat perempuan Greta di sekolah, dia adalah teman yang sangat Greta percaya, sedangkan teman tim basket Greta yang lain tak terlalu dekat dengan Greta meski team work mereka solid, dan tentu saja tak terlalu disorot dalam buku ini. Sikap Hanna yang kontras dengan Greta membuat Hanna menjadi seperti potongan puzzle yang dapat klop dengan Greta. Hanna digambarkan sebagai gadis manis yang tingginya lebih pendek dari Greta, pemalu, introvert, dan meskipun tak secerdas Greta dia mampu menjadi teman yang setia bagi Greta. Namun, siapa yang sangka masalah beruntun akan terjadi karena Hanna? Setelah kehadiran murid baru bernama Dirga.
Dirga pun salah satu sosok yang digambarkan penuh kesempurnaan, teknik 'too good to be true' kembali muncul di sini. Digambarkanlah sosok Dirga sebagai cowok kharismatik, dingin, jago basket, tinggi, putih, dan kaum jenset. Serupa dengan tokoh Patrick, namun sikap Patrick yang lebih extrovert tetapi cenderung ragu-ragu dalam mengambil keputusan, menegaskan bahwa dirinya memang berbeda dengan Dirga. Sedangkan Boy, adalah teman tapi mesranya Greta, namun yang membuatnya unik adalah dia pendek namun kualitas permainan basketnya super. Dan yang paling penting adalah tingkat kejailannya yang selevel dengan Greta.
Masalah terjadi saat Greta sudah memendam rasa kesal saat pertemuan kali pertama dengan Dirga. Dan kekesalan berkali-kali muncul saat Dirga direkrut oleh Patrick dan Boy masuk tim inti basket. Namun, puncaknya adalah saat Dirga mengambil perhatian Hanna, yang notabene sahabat lengket Greta, dia satu-satunya tokoh dalam buku ini yang bukan anggota eskul basket.
Benci berubah cinta, cinta segitiga, cinta diam-diam, teman tapi mesra, semuanya komplit ada dalam buku ini. Dengan penuturan yang pas plus cerita berjalan lewat berbagai sudut pandang sekaligus, teenlit ini seolah-olah menampakkan nuansa yang berbeda, sekaligus menunjukkan kelasnya sebagai buku remaja berkualitas. Saya memang tidak sedang membuat citra teenlit ini melambung, namun memang benar adanya ketika saya sampai di akhir halaman buku ini, ending-nya tidak terduga sama sekali. Melengkapi semua poin-poin excelent yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Ketika plot cerita buku teenlit ini mengalami pengembangan ide yang cukup menarik, saya sadar buku ini diolah dengan matang. Greta yang semula benci jadi cinta pada Dirga, mungkin itu pengembangan plot yang pasaran, namun bagaimana jika Dirga pun mencintai Greta? Lalu, Hanna yang tidak peka pada rasa cinta Greta, ia menganggap Greta tak punya hubungan apa-apa dengan Dirga. Sedangkan Dirga, sebagai cowok yang masih punya belas kasihan, ia selalu membuat Hanna tampak spesial, karena ternyata Hannah adalah teman masa kecilnya. Dan hal itu adalah hal yang membuat Greta kecewa saat Dirga dan Hanna tak kunjung berbicara jujur. Pada akhirnya semua tokoh menelan pil pahit, bahkan Patrick yang juga menaruh perasaan pada Greta, ia tidak dapat meraihnya walau jemarinya saja, sedangkan Boy tetap dengan status 'teman tapi mesranya' Greta. Namun, tenang saja, itu bukan akhir dalam buku ini.
Saya merasa sangat puas membeli teenlit GPU satu ini. Menumbuhkan niat untuk membeli yang lainnya, dalam genre yang sama. Karena buku Salad Days tak melulu seputar patah hati, cinta diam-diam, cinta segitiga, dan meraih cita-cita, namun segala hal seputar basket menjadi background besar dalam tiap detail diksi yang termaktub dalam Salad Days. Mengingatkan saya pada FTV Lovasket, yang lagi-lagi membuat saya tercengang karena memang FTV itu diadaptasi dari teenlit GPU, meski saya belum pernah baca.
Semoga GPU tetap akan menerbitkan buku-buku semacam ini. Karena buku-buku semacam ini sepertinya sungguh memberikan pesan inspiratif yang tak menggurui dalam bingkai warna-warni remaja yang rasanya beraneka ragam dan tentu saja tak menjemukan. Melengkapi khasanah sastra Indonesia yang patut untuk tak dilewatkan eksistensinya.[]
Penulis: Shelly Salfatira
Editor: Irna Permanasari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 232 halaman
Cetakan Pertama: Juli, 2013
Harga: Rp38.000,-
Sinopsis
Selain memiliki prestasi akademis cemerlang, Greta begitu diandalkan dalam tim basket SMA-nya. Ia memiliki kehidupannya yang penuh warna bersama sahabat-sahabatnya: Hanna, Boy, dan Patrick. Tapi semua itu berubah ketika sekolahnya kedatangan murid baru, Dirga. Kesan pertama yang ditinggalkan Dirga di hadapan Greta tidaklah mengenakkan, bahkan membuat Greta cukup kesal.
Namun, ketika Dirga direkrut menjadi anggota tim basket, mau tak mau Greta melihat sisi lain Dirga yang cukup mengagumkan. Hanya saja, saat itu Dirga terlanjur akrab dengan Hanna. Apakah Greta harus mengalah demi sahabatnya?
Review
Ini adalah kali pertama saya membaca teenlit GPU. Dan untungnya usia saya belum terlalu tua untuk mengikuti seluruh fitur dalam buku semacam ini. Kisah dalam Salad Days ternyata membuat saya menyadari bahwa tidak selamanya buku berlabel remaja mengedepankan kisah percintaan ala SMA atau anak kuliahan awal, melainkan lebih dari itu di dalam buku ini, semoga juga di buku-buku lainnya, menyimpan pesan tersirat yang elegan, tentang ambisi meraih mimpi, bagaimana cara mempertahankan persahabatan, rela berkorban, dan belajar mempersiapkan masa depan.
Dalam buku Salad Days, Shelly Salfatira sebagai dalang di balik alur cerita, menghadirkan sosok Azmarie Greta alias Greta, seorang gadis energik pencinta olahraga basket yang cantik, pintar, dan istimewa karena sikapnya yang rendah hati, tidak pernah menampakkan kekayaannya. Terlalu unbeliveable, atau too good to be true, namun untungnya Shelly Salfatira berhasil menghasilkan karakter yang mendekati 'dewa' itu menjadi manusia seutuhnya kala konflik mulai bergulir dan kepentingan masing-masing karakter bertabrakan satu sama lain.
Victoria Hanna alias Hanna adalah satu-satunya sahabat perempuan Greta di sekolah, dia adalah teman yang sangat Greta percaya, sedangkan teman tim basket Greta yang lain tak terlalu dekat dengan Greta meski team work mereka solid, dan tentu saja tak terlalu disorot dalam buku ini. Sikap Hanna yang kontras dengan Greta membuat Hanna menjadi seperti potongan puzzle yang dapat klop dengan Greta. Hanna digambarkan sebagai gadis manis yang tingginya lebih pendek dari Greta, pemalu, introvert, dan meskipun tak secerdas Greta dia mampu menjadi teman yang setia bagi Greta. Namun, siapa yang sangka masalah beruntun akan terjadi karena Hanna? Setelah kehadiran murid baru bernama Dirga.
Dirga pun salah satu sosok yang digambarkan penuh kesempurnaan, teknik 'too good to be true' kembali muncul di sini. Digambarkanlah sosok Dirga sebagai cowok kharismatik, dingin, jago basket, tinggi, putih, dan kaum jenset. Serupa dengan tokoh Patrick, namun sikap Patrick yang lebih extrovert tetapi cenderung ragu-ragu dalam mengambil keputusan, menegaskan bahwa dirinya memang berbeda dengan Dirga. Sedangkan Boy, adalah teman tapi mesranya Greta, namun yang membuatnya unik adalah dia pendek namun kualitas permainan basketnya super. Dan yang paling penting adalah tingkat kejailannya yang selevel dengan Greta.
Masalah terjadi saat Greta sudah memendam rasa kesal saat pertemuan kali pertama dengan Dirga. Dan kekesalan berkali-kali muncul saat Dirga direkrut oleh Patrick dan Boy masuk tim inti basket. Namun, puncaknya adalah saat Dirga mengambil perhatian Hanna, yang notabene sahabat lengket Greta, dia satu-satunya tokoh dalam buku ini yang bukan anggota eskul basket.
Benci berubah cinta, cinta segitiga, cinta diam-diam, teman tapi mesra, semuanya komplit ada dalam buku ini. Dengan penuturan yang pas plus cerita berjalan lewat berbagai sudut pandang sekaligus, teenlit ini seolah-olah menampakkan nuansa yang berbeda, sekaligus menunjukkan kelasnya sebagai buku remaja berkualitas. Saya memang tidak sedang membuat citra teenlit ini melambung, namun memang benar adanya ketika saya sampai di akhir halaman buku ini, ending-nya tidak terduga sama sekali. Melengkapi semua poin-poin excelent yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Ketika plot cerita buku teenlit ini mengalami pengembangan ide yang cukup menarik, saya sadar buku ini diolah dengan matang. Greta yang semula benci jadi cinta pada Dirga, mungkin itu pengembangan plot yang pasaran, namun bagaimana jika Dirga pun mencintai Greta? Lalu, Hanna yang tidak peka pada rasa cinta Greta, ia menganggap Greta tak punya hubungan apa-apa dengan Dirga. Sedangkan Dirga, sebagai cowok yang masih punya belas kasihan, ia selalu membuat Hanna tampak spesial, karena ternyata Hannah adalah teman masa kecilnya. Dan hal itu adalah hal yang membuat Greta kecewa saat Dirga dan Hanna tak kunjung berbicara jujur. Pada akhirnya semua tokoh menelan pil pahit, bahkan Patrick yang juga menaruh perasaan pada Greta, ia tidak dapat meraihnya walau jemarinya saja, sedangkan Boy tetap dengan status 'teman tapi mesranya' Greta. Namun, tenang saja, itu bukan akhir dalam buku ini.
Saya merasa sangat puas membeli teenlit GPU satu ini. Menumbuhkan niat untuk membeli yang lainnya, dalam genre yang sama. Karena buku Salad Days tak melulu seputar patah hati, cinta diam-diam, cinta segitiga, dan meraih cita-cita, namun segala hal seputar basket menjadi background besar dalam tiap detail diksi yang termaktub dalam Salad Days. Mengingatkan saya pada FTV Lovasket, yang lagi-lagi membuat saya tercengang karena memang FTV itu diadaptasi dari teenlit GPU, meski saya belum pernah baca.
Semoga GPU tetap akan menerbitkan buku-buku semacam ini. Karena buku-buku semacam ini sepertinya sungguh memberikan pesan inspiratif yang tak menggurui dalam bingkai warna-warni remaja yang rasanya beraneka ragam dan tentu saja tak menjemukan. Melengkapi khasanah sastra Indonesia yang patut untuk tak dilewatkan eksistensinya.[]
Jadi, saya mau membeli bukunya setelah membaca resensi buku ini :)
BalasHapusOh, silakan silakan, beli buku aku juga yahhh .... Judulnya Hoppipolla!
BalasHapusnovel ini termasuk novel fav aku..
BalasHapusobat kista tradisional
obat ambeien tanpa efek samping
hemm .. bagus ya novelnya?
BalasHapus