Langsung ke konten utama

Norwegian Wood, Sebuah Novel Masterpiece





Judul: Norwegian Wood
Judul Asli: Noruwei no Mori
Penulis: Haruki Murakami
Penerbit: KPG
Terbit: Cetakan Keempat, Juni 2007
Penerjemah: Jojon Johana
Penyunting: Yul Hamiyati
Tebal: 550 halaman

Sinopsis
Ketika ia mendengar Norwegian Wood karya Beatles, Toru Watanabe terkenang akan Naoko, gadis cinta pertamanya, yang kebetulan juga kekasih mendiang sahabat karibnya, Kizuki. Serta-merta ia merasa terlempar ke masa-masa kuliah di Tokyo, hampir 20 tahun silam, terhanyut dalam dunia pertemanan yang serba pelik, seks bebas, nafsu-nafsi, dan rasa hampa-hingga ke masa seorang gadis badung, Midori memasuki kehidupannya, sehingga ia harus memilih antara masa depan dan masa silam.


Murakami pastilah sudah termasuk di antara novelis terkemuka dunia yang masih hidup.
-Guartan.

Buku ini tak ayal lagi begitu seru, sarat dengan pemberontakan mahasiswa, seks bebas, minuman keras, dan lagu-lagu pop 1960-an. Novel ini juga sungguh-sungguh memukau dan menggambarkan gejolak masa remaja.
-Independent on Sunday.

Berhasil menggambarkan gelora cinta remaja. Kendati penuh dengan saat-saat memilukan dan kesadaran banyak tokohnya yang tampak bagai kamikaze, novel ini sering kocak dan rinci dengan hal-hal yang serba ganjil. Tenang-tenang menghanyutkan dan akhirnya mengharukan.
-Times Literary Supplement.

Begitu indah dan halus Murakami menulis, sehingga apa saja yang dilukiskan kaya makna.
-Guardian. 

Ini adalah pengalaman kali pertama membaca buku penulis yang digadang-gadang bakal mendapatkan nobel sastra setahun lalu. Karya penulis ini langsung saja menarik perhatian saya yang sebenarnya awam akan dunia sastra. Tetapi, apa boleh buat akhirnya buku ini saya bawa dari rak fiction corner universitas saya, setelah didata oleh petugas perpustakaan, saya langsung melahapnya membabi buta.

Norwegian Wood adalah karya yang kontemporer di jamannya, menurut saya buku ini lahir dari pengamatan penulis yang cukup detail, merekam sekitar tahun 1960-an sampai 1980-an bukanlah perkara mudah. Apalagi jika muatan novel ini bertautan antara genre roman plus young adult-nya.

Karakter tokoh-tokoh dalam novel ini masing-masing sangat kuat. Main character, si Watanabe adalah tokoh yang bimbang dan sebenarnya mudah terpengaruh, tak bisa menentukan sikap, dan meskipun terlalu sering melakukan masturbasi dan seks, ia sampai ending di buku ini pun tidak bisa memilih cintanya pada siapa, Naoko atau Midori. Tokoh Naoko adalah potret penanggung beban terberat dalam buku ini, menyaksikan dua orang terdekatnya bunuh diri adalah alasan terkuatnya untuk runtuh permanen alias mengasingkan diri ke tempat aneh yang layaknya surga, semacam rehabilitasi tetapi lebih menenangkan. Di sana ia bertemu Ishida Reiko, wanita hampir tua yang sudah menetap di sana sangat lama, penyuka musik dan pandai sekali bermain gitar piano, tentu saja latar belakangnya juga pahit. Ada pula Midori, gadis badung yang membuat hidup Watanabe menjadi lebih terang, ia sangat frontal, dan kejujurannya tak bisa diragukan lagi menarik Watanabe untuk menyelaminya. Dan jangan lupakan Nagasawa, teman setia tokoh utama yang berkarakter sempurna, hanya satu kekurangnya, pemikirannya miring.

Banyak adegan yang mungkin sangat original dalam buku ini. Menurut saya sendiri, adegan-adegannya terasa lucu, seperti saat Watanabe dan Naoko berjalan-jalan tanpa tujuan di Tokyo, Midori dan Watanabe yang menikmati kebakaran di samping rumah Midori, keganjilan pada Naoko yang menari-nari telanjang malam-malam, dan lain-lain. Entah, Haruki Murakami sangat lihai mengolah segalanya jadi sarat kelucuan. Bahkan endingnya ada potongan cerita yang mungkin bisa membuat terbengong-bengong.

Tokyo, Kobe, dan beberapa tempat lain di Jepang menjadi setting novel ini selain waktu sekitar 1960-an sampai 1980-an. Sangat cerdik Haruki mempresentasikan imajinasinya dalam novel ini, ceritanya begitu kaya bahkan bisa dikatakan 'wah'.

Memang plotnya yang extrem bisa dikatakan menjadi lubang hitam dalam pembentukan karya masterpiece ini. Ketidakengganan tokoh-tokohnya dalam mengekspresikan seks begitu kentara. Lihat saja Watanabe yang tidur berkali-kali dengan perempuan lain, perhatikan Naoko yang rela keperawanannya direnggut ketika usianya menginjak 20 tahun, jangan pula abaikan potongan cerita yang menjelaskan kegilaan yang dilakukan Reiko bersama gadis manis lesbi yang kejiwaannya telah merapuh, semua dijelaskan rinci, dan itulah menjadi kebosanan luar biasa jika memang pembaca tak mengerti maksud dan tujuan dari perlakuan-perlakuan tadi.

Intinya, novel ini mengambil tema besar kesepian. Bagaimana seorang manusia menjadi makhluk lain ketika ia merasakan sunyi yang begitu dewa, Haruki Murakami dapat meraciknya dengan memesona. Buku ini mengatakan bahwa kematian bukanlah lawan dari kehidupan, melainkan ia bilang, kematian ada memang sebagai bagiannya (dari kehidupan). Semoga Anda terhibur ketika membaca buku ini, dan segera meluangkan waktu untuk berkunjung ke online shop untuk mencari buku Haruki Murakami yang lain! Tentu saja, semoga beruntung![]

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)

 

Review Never Have I Ever Season 2 (Sebuah Ulasan Singkat)