Langsung ke konten utama

Review Novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga (Erni Aladjai)



Judul: Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga

Penulis: Erni Aladjai

Penerbit: KPG

Terbit: 2021

Harga: Rp65.000

Tebal: 146 Halaman

Blurb

Haniyah mencintai pohon-pohon cengkih, karena tanaman ini bisa berbagi kehidupan dengan tanaman-tanaman lainnya.

...

"Tubuhmu harum cengkih," kata Ala.
"Saya dilahirkan dan mati di dalam hutan cengkih."

...

Di luar Rumah Teteruga, angin utara berembus dingin, kering, dan kencang, menggoyangkan ranting-ranting pohon gandaria dan matoa, menimbulkan suara gesekan di dinding rumah. Ala teringat kata-kata Ido, "Ada orang-orang yang tumbuh kejam dalam kehidupan ini, mereka tidak digelayuti rasa bersalah dan memiliki hasrat melahap yang tak pernah surut, mereka sungguh menakutkan ketimbang hantu dan hewan-hewan buas."

***

Dengan pelukisan suasana dan tradisi lokal yang kuat, pemberian karakter yang wajar dan hidup, naskah ini mengedepankan warga desa yang sederhana dalam hidupnya, di tengah pelbagai masalah yang merundung mereka. Novel etnografis ini tidak terjebak untuk sok eksotis, tetapi tampil wajar, termasuk tuturan bahasa Indonesia rasa lokal khas masyarakat setempat.

-Catatan juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019


Review

Dibanding juara kedua novel DKJ 2019 (Sang Keris, Panji Sukma), aku lebih menyukai novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga karya Erni Aladjai ini. Selain karena ceritanya yang linier saling terkait satu sama lain, mungkin karena apa yang ingin disampaikannya lebih sederhana dan ngena.

Membaca novel ini seperti diajak lebih dekat dengan kehidupan di desa Kon (sepertinya di Maluku), terutama selangkah lebih maju dengan Ala sang protagonis di novel ini yang menurutku lumayan hidup. Tokoh-tokoh lainnya tampil dengan porsi masing-masing yang cukup dan lumayan menghibur.

Membaca novel ini seperti menikmati bacaan slice of life. Cuma kearifan lokal yang jadi jiwa cerita, makanya terasa seru. Aku lupa apa aku pernah membaca novel etnografis, cuma ini jelas membuatku ingin membaca novel-novel sejenis. Sebutlah Orang-Orang Oetimu yang sampai sekarang belum kesampaian.

Kisahnya tentang Haniyah petani cengkeh dan anak perempuannya bernama Ala (11 tahun), bermata juling. Namun, mata juling Ala berwarna merah sehingga bisa melihat hal hal gaib. Untungnya novel ini tidak fokus ke horornya saja, tetapi seperti yang aku katakan karena agak-agak slice of life, jadi menceritakan banyak hal diantaranya kehidupan Ala di sekolah yang sering dirisak, cerita tentang Naf Tikore lelaki tua misterius di desa Ala yang disinyalir berilmu hitam dan dia diasingkan, misteri di rumah Haniyah (rumah Teteruga), dan banyak hal, tapi ceritanya tetap terjaga.

Terjaga hingga akhir alias fokus ke Ala yg tokoh utama di novel ini. Benar-benar cerita kehidupan sehari-hari seorang gadis cilik sebelas tahun di Desa Kon taun 1990. Yang membuatnya menarik deskripsi kehidupan di Desa Kon yang tak pernah aku tahu sebelumnya tentu saja.

Tentang bagaimana kehidupan petani cengkih di sana, waktu panen, dan banyak hal di desa yang sepertinya jauh dari sentuhan perkotaan itu. Warga lokal masih berjalan kaki, bahkan naik kuda. Hiburan masih radio. Bahkan ada satu bab bercerita tentang pertunjukan akrobat.

Ya hal sedih juga diceritakan. Seperti kisah latar belakang bayi yang ditemukan di perahu. Ibunya selingkuhan polisi yang sama sekali tidak tahu polisi tersebut beristri.

Novel-novel DKJ selalu membuatku takjub. Salah satunya novel ini. Siapa sangka mungkin ini kali pertama pengalaman membaca novel DKJ yang damai. Maksudnya karena ceritanya menurutku sama sekali tidak terkesan ambisius apalagi menggebu-gebu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)