Begini, aku memiliki
cerita berdasarkan pengalaman nyata lagi. Cerita ini terjadi pada saat aku
berkuliah di salah satu politeknik negeri di Bandung. Bukan cerita yang
menurutmu mungkin menghibur, namun kamu bisa mengambil beberapa pesan yang
kelak bisa kamu gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin akan bermanfaat,
mungkin tidak sama sekali.
Saat itu aku berkuliah
di politeknik tersebut dikarenakan beasiswa yang aku dapat. Bukan beasiswa
bergengsi yang diberikan oleh pemerintah untuk siswa yang hebat. Tetapi,
mungkin aku mendapatkan beasiswa itu karena nilai-nilaiku mencukupi saja plus
mungkin karena aku bukan dari kalangan berada. Maka, aku mendapatkan beasiswa
tersebut.
Aku terjun ke jurang yang
aku sangka dangkal. Ya, aku memilih jurusan yang mungkin setengah hati aku
cintai. Aku masuk jurusan Bahasa Inggris, padahal aku hanya suka berbicara
dengan kosa kata terbatas. Maka, aku seperti menjatuhkan diri ke kolam yang
dalam. Karena pada akhirnya aku berkutat dengan tata bahasa, kosa kata,
mendengarkan, dan tentu saja yang membuatku mungkin hampir mati berdiri yaitu
kelas menulis.
Saat aku mendapatkan
kelas tersebut, aku masih mahasiswa semester dua. Saat semester itu berjalan,
rasanya aku tidak menjalaninya dengan maksimal. Ditambah kelas menulis ada lagi
ketika semester tiga, aku belum begitu pusing karena dosen yang mengajarkan
materi itu terlihat santai, meskipun beberapa kali tampak menggerutu karena
tulisanku seperti main-main, tidak pernah bagus karena memang aku tidak begitu
lihai tata bahasa. Ditambah kosa kataku yang kurang, semakin memperparah.
Tulisan-tulisanku tidak pernah ada yang becus.
Mimpi buruk itu datang
ketika semester empat, kelas menulis semakin ganas karena diampu oleh seorang
dosen yang teramat killer. Panggil
saja Mom E, dia seorang feminis lulusan program doktoral universitas luar
negeri. Sangar. Itulah kesan yang aku dapatkan. Sangat disiplin pula karena ia tidak
bisa menerima keterlambatan di kelas atau keterlambatan pengumpulan tugas.
Parahnya aku masih dalam mode tidak-terlalu-peduli- beragam-tugas-yang-diberikan-dosen,
maka neraka itu pun terus menjerumuskanku di kebingungan, kehampaan, dan
kegilaan.
Bagaimana tidak,
tugas-tugas berbentuk esai itu berdatangan satu per satu. Pada
pelajaran-pelajaran sebelumnya aku didera kegagalan-kegagalan yang tiada habis.
Diperparah dengan karakter Mom E yang terus terang dan blak-blakan. Perempuan
paruh baya itu tidak pandang bulu, ketika mahasiswanya tidak memiliki kemajuan
dan terkesan bloon, siap-siap saja dipermalukan tanpa melihat mahasiswa itu
selalu rajin datang ke kelas, tidak pernah terlambat, atau sering memperhatikan.
Mungkin itu memang karakternya, dan ia tidak suka berpura-pura karena ia pikir
menjadi dosen yang ramah dan baik hati hanya akan diperdaya pada akhirnya oleh
mahasiswa-mahasiswa manipulatif yang datang dari generasi millenial dan z.
Mom E setiap Senin
pagi selalu menjadi mimpi buruk yang terus menghantuiku sepanjang tahun. Setiap
pagi hari itu, ia akan membagikan tugas-tugas minggu kemarin dengan komentar.
Tentu tugas yang dianggap buruk akan mendapatkan hadiah berupa omelan dari
mulut pedasnya. Aku selalu mendapatkannya dan tidak pernah kapok seakan kecanduan.
Harga diri sudah tidak ada lagi karena tentu Mom E mengkritisi dengan
kata-katanya yang setajam belati di depan kelas. Kata-kata tanpa saringan itu
sungguh keji dan jika memang aku tidak teliti, kata-katanya yang tanpa saringan
akan mengahancurkan. Jika tabah, mahasiswa akan jadi tangguh.
Tapi, yang akan aku
ingat selalu adalah ia tidak pernah mengutuk tanpa sebab tulisan-tulisan yang
buruk, dan yang paling kukenang adalah dia tidak pernah mempermalukan karakter mahasiswanya.
Mau fisiknya buruk rupa, cantik, biasa, dan sebagainya dia tidak pernah
melakukan personal attack/bullying. Murni
kritisisasi tugas. Hal yang membuatku tersadar bahwa sebenarnya di hidupku
banyak orang menggunakan mulutnya untuk menghunus orang lain karena mencoba
merendahkan fisik atau karakter. Hal yang paling aku benci dalam hidupku.
Tugas-tugas menulis
itu tidak pernah habis. Ia datang silih berganti dan semakin sulit untuk
diselesaikan. Sungguh melelahkan. Ditambah bodohnya aku tidak pernah mau
berusaha untuk memperbaikinya sehingga aku pun mendapatkan nilai yang
sangat-sangat tidak bagus. Bagaimana tidak, aku mendapatkan nilai CD, sangat
kecil. Selaras dengan nilai tata bahasa yang aku dapatkan di semester itu yaitu
CD juga. Sungguh serasi, dan miris, namun agaknya tak ada yang peduli, ya
harusnya aku yang peduli. Satu-satunya yang harus peduli adalah diriku sendiri,
karena aku merasa miris saat itu melihat IPK-ku yang bahkan tidak menyentuh
angka tiga lagi. Sungguh mengecewakan, saat itu aku khawatir, bagaimana
mungkin. Maksudnya perusahaan mana yang akan menerimaku saat IPK-ku
semengecewakan itu. Mungkin tidak akan ada yang menerima sehingga aku
sungguh-sungguh sangat takut saat itu.
Maka aku mencoba
berubah saat di semester lima. Mungkin semuanya akan terasa lancar karena aku sudah
tidak ikut organisasi-organisasi kampus lagi. Ya, aku tidak terlalu sibuk dan
tentu saja memiliki banyak waktu luang. Sungguh hal yang sangat-sangat aku
syukuri saat itu. Aku juga sudah tidak tinggal di asrama lagi, ya itu membuatku
lebih leluasa mengatur waktu dan bebas aturan ini dan itu.
Di semester lima pun
Mom E semakin melonggarkan penilaian, karena di semester ini lebih
memperhatikan isi tulisan esai yang mengarah ke penulisan akademik. Urusan tata
bahasa belakangan, katanya. Aku menjadi lebih bisa menyesuaikan. Meskipun masih
patah-patah, aku menuruti saja semua instruksinya. Maksudnya, dia memang tidak
pernah mencoba menyesatkan mahasiswa-mahasiswanya. Sungguh, memang lebih terasa
lancar karena kebanyakan isi tulisanku lebih diperhatikan isinya dibanding tata
bahasanya.
Namun, semua
kelancaran ini bukan berarti tanpa aral. Pernah beberapa kali ia marah besar
karena mahasiswa-mahasiswa lain tak memperhatikan. Pernah suatu kali ia marah
besar, aku lupa karena apa. Tetapi saat itu itu ia keluar dari kelas. Alih-alih
tetap menunggu, ia tetap keluar setelah memberikan tugas untuk segera dicetak
saat itu juga. Sungguh drama. Semua teman-temanku termasuk aku sendiri keluar
kelas bagai burung yang telah lama dikurung tapi takut tersesat, karena saat
itu juga kami semua harus menyerahkan tugas yang terlebih dulu diwajibkan
dicetak. Mom E menunggu di ruang dosen. Meskipun pada akhirnya, ia pun mencair.
Maksudnya, jika dibandingkan dengan kelas sebelah, tantrum beliau tidak separah
di kelas itu, sebabnya karena di kelas tersebut lebih banyak mahasiwa-mahasiswi
yang menurutnya pembangkang.
Sampai akhir semester
itu, semuanya terasa lebih lancar. Aku menuruti semua saran-sarannya berakibat
aku pada akhirnya dipasangkan dengan dosen writing pertamaku. Dan yang
membuatku terkejut adalah penguji tugas akhirku adalah Mom E. Aku bersyukur
saja saat itu meskipun sebenarnya aku tengah didera masalah.
Runyam pikiranku
karena uang beasiswa tidak cair, sementara aku tidak punya uang. Ya, aku juga
tidak mengambil kerja sampingan sehingga aku merasa sungguh berat hati saat
itu. Tak punya uang dan juga stress. Aku kesana kemari meminjam uang karena
uang beasiswa pemerintah yang stop. Aneh, setelah ditelusuri karena kesalahan
input data oleh petugas di kampus. Sungguh mengecewakan. Saat itu mau tidak mau
aku harus bertahan. Maksudnya, toh tugas akhirku tidak terlalu memakan biaya
karena berupa blog yang bisa dibuat gratis terlebih dahulu di internet. Sungguh
melelahkan karena revisi bertubi-tubi yang diberikan dosen pembimbingku. Proses
bimbingan pun terasa tradisional karena aku harus selalu bertemu tatap muka dan
harus selalu diperiksa di tempat. Tidak seperti yang lain yang bisa dibawa di
rumah.
Parahnya
aku selalu berharap bahwa uang itu akan cair. Uang itu pada akhirnya tidak
pernah cair. Di tengah menunggu uang beasiswa tak pasti itu, aku meminjam ke
banyak orang. Tentu aku tidak mengutarakan hal ini kepada pembimbing apalagi
pengujiku Mom E dan satu lagi dosen yang tidak terlalu dekat denganku. Ya, aku
memang tidak dekat dengan mereka semua. Mereka menjaga jarak, begitupun aku.
Intinya, sungguh berat sangat berat.
Dosen
berbeda dengan guru. Ketika tugas guru membimbing dan mengarahkan., tugas dosen
hanya mengarahkan saja menurutku karena mereka menganggap mahasiswa-mahasiswa
adalah orang-orang yang sudah dewasa. Maka, karakter mereka pun tidak perlu
mereka tutup-tutupi. Kadang aku merasa sedikit terenyuh juga kadang
teman-temanku menggosipkan mereka. Apa mungkin itu cara mereka melawan karena
dosen-dosenku punya kuasa penuh. Terlebih Mom E dengan segala karakternya yang
tegas dan lumayan intimidatif.. Ditambah dia juga memutuskan tidak menikah dan
memiliki momongan. Mungkin dia juga tinggal sendiri di rumahnya. Dia sangat
mandiri dan memang terkesan eksentrik jika saja penampilannya tidak biasa saja.
Tapi, penampilannya memang biasa saja. Mungkin umurnya saat itu 50-an karena ia
lahir tahun 1962, bulan Februari tanggal 26.
Pengerjaan
tugas akhir itu semakin memberatkan, tapi aku tetap mengikuti prosesnya. Sampai
beberapa halangan pun aku temui seperti pada saat sidang proposal, blog resensi
novelku dinilai jelek desainnya, sedangkan pada saat sidang kemajuan yang
dikritik adalah resensiku yang dinilai terlalu menilai isi buku saja alias
tidak ada opini pribadi. Ditambah sepanjang bimbingan aku benar-benar
bergantung kepada pembimbingku, ditambah teman bimbingan juga ada yang selalu
meminta bantuanku, padahal kita sama-sama tidak mahir. Begitulah.
Pada
akhirnya, semuanya berakhir. Hal yang membuatku terkejut adalah segalanya
lancar pada akhirnya. Mom E memberikanku banyak input dan pujian, sebenarnya
pujian itu ia berikan kepada pembimbingku yang sabar menuntunku. Mom E tidak
benar-benar memberikan kredit yang banyak untuk kerjaku, tapi ya sudahlah, aku
toh sudah tidak mau berurusan lagi dengannya. Tugas akhir blog resensi bukuku menarik
perhatiannya, dia meminta untuk membelikan dua buku yang aku resensi. Hemmm… ya
sudah aku bantu untuk membelikannya.
Sudah hampir lima tahun aku tidak atau belum bertemu dengan dosen-dosenku terutama Mom E, meskipun kita tidak terlalu dekat, menurutku dia salah satu yang terkenang dan terus diingat olehku. Andai saja waktu itu aku lebih belajar dengan giat, mungkin aku tidak akan menjadi bulan-bulannnya. Tapi, toh pada akhirnya kita baik-baik saja. Tidak ada masalah.[]
Komentar
Posting Komentar