Langsung ke konten utama

Cerpen Mom E (Medan Pos, 29 November 2020)




Begini, aku memiliki cerita berdasarkan pengalaman nyata lagi. Cerita ini terjadi pada saat aku berkuliah di salah satu politeknik negeri di Bandung. Bukan cerita yang menurutmu mungkin menghibur, namun kamu bisa mengambil beberapa pesan yang kelak bisa kamu gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin akan bermanfaat, mungkin tidak sama sekali.

Saat itu aku berkuliah di politeknik tersebut dikarenakan beasiswa yang aku dapat. Bukan beasiswa bergengsi yang diberikan oleh pemerintah untuk siswa yang hebat. Tetapi, mungkin aku mendapatkan beasiswa itu karena nilai-nilaiku mencukupi saja plus mungkin karena aku bukan dari kalangan berada. Maka, aku mendapatkan beasiswa tersebut.

Aku terjun ke jurang yang aku sangka dangkal. Ya, aku memilih jurusan yang mungkin setengah hati aku cintai. Aku masuk jurusan Bahasa Inggris, padahal aku hanya suka berbicara dengan kosa kata terbatas. Maka, aku seperti menjatuhkan diri ke kolam yang dalam. Karena pada akhirnya aku berkutat dengan tata bahasa, kosa kata, mendengarkan, dan tentu saja yang membuatku mungkin hampir mati berdiri yaitu kelas menulis.

Saat aku mendapatkan kelas tersebut, aku masih mahasiswa semester dua. Saat semester itu berjalan, rasanya aku tidak menjalaninya dengan maksimal. Ditambah kelas menulis ada lagi ketika semester tiga, aku belum begitu pusing karena dosen yang mengajarkan materi itu terlihat santai, meskipun beberapa kali tampak menggerutu karena tulisanku seperti main-main, tidak pernah bagus karena memang aku tidak begitu lihai tata bahasa. Ditambah kosa kataku yang kurang, semakin memperparah. Tulisan-tulisanku tidak pernah ada yang becus.

Mimpi buruk itu datang ketika semester empat, kelas menulis semakin ganas karena diampu oleh seorang dosen yang teramat killer. Panggil saja Mom E, dia seorang feminis lulusan program doktoral universitas luar negeri. Sangar. Itulah kesan yang aku dapatkan. Sangat disiplin pula karena ia tidak bisa menerima keterlambatan di kelas atau keterlambatan pengumpulan tugas. Parahnya aku masih dalam mode tidak-terlalu-peduli- beragam-tugas-yang-diberikan-dosen, maka neraka itu pun terus menjerumuskanku di kebingungan, kehampaan, dan kegilaan.

Bagaimana tidak, tugas-tugas berbentuk esai itu berdatangan satu per satu. Pada pelajaran-pelajaran sebelumnya aku didera kegagalan-kegagalan yang tiada habis. Diperparah dengan karakter Mom E yang terus terang dan blak-blakan. Perempuan paruh baya itu tidak pandang bulu, ketika mahasiswanya tidak memiliki kemajuan dan terkesan bloon, siap-siap saja dipermalukan tanpa melihat mahasiswa itu selalu rajin datang ke kelas, tidak pernah terlambat, atau sering memperhatikan. Mungkin itu memang karakternya, dan ia tidak suka berpura-pura karena ia pikir menjadi dosen yang ramah dan baik hati hanya akan diperdaya pada akhirnya oleh mahasiswa-mahasiswa manipulatif yang datang dari generasi millenial dan z.

Mom E setiap Senin pagi selalu menjadi mimpi buruk yang terus menghantuiku sepanjang tahun. Setiap pagi hari itu, ia akan membagikan tugas-tugas minggu kemarin dengan komentar. Tentu tugas yang dianggap buruk akan mendapatkan hadiah berupa omelan dari mulut pedasnya. Aku selalu mendapatkannya dan tidak pernah kapok seakan kecanduan. Harga diri sudah tidak ada lagi karena tentu Mom E mengkritisi dengan kata-katanya yang setajam belati di depan kelas. Kata-kata tanpa saringan itu sungguh keji dan jika memang aku tidak teliti, kata-katanya yang tanpa saringan akan mengahancurkan. Jika tabah, mahasiswa akan jadi tangguh.

Tapi, yang akan aku ingat selalu adalah ia tidak pernah mengutuk tanpa sebab tulisan-tulisan yang buruk, dan yang paling kukenang adalah dia tidak pernah mempermalukan karakter mahasiswanya. Mau fisiknya buruk rupa, cantik, biasa, dan sebagainya dia tidak pernah melakukan personal attack/bullying. Murni kritisisasi tugas. Hal yang membuatku tersadar bahwa sebenarnya di hidupku banyak orang menggunakan mulutnya untuk menghunus orang lain karena mencoba merendahkan fisik atau karakter. Hal yang paling aku benci dalam hidupku.

Tugas-tugas menulis itu tidak pernah habis. Ia datang silih berganti dan semakin sulit untuk diselesaikan. Sungguh melelahkan. Ditambah bodohnya aku tidak pernah mau berusaha untuk memperbaikinya sehingga aku pun mendapatkan nilai yang sangat-sangat tidak bagus. Bagaimana tidak, aku mendapatkan nilai CD, sangat kecil. Selaras dengan nilai tata bahasa yang aku dapatkan di semester itu yaitu CD juga. Sungguh serasi, dan miris, namun agaknya tak ada yang peduli, ya harusnya aku yang peduli. Satu-satunya yang harus peduli adalah diriku sendiri, karena aku merasa miris saat itu melihat IPK-ku yang bahkan tidak menyentuh angka tiga lagi. Sungguh mengecewakan, saat itu aku khawatir, bagaimana mungkin. Maksudnya perusahaan mana yang akan menerimaku saat IPK-ku semengecewakan itu. Mungkin tidak akan ada yang menerima sehingga aku sungguh-sungguh sangat takut saat itu.

Maka aku mencoba berubah saat di semester lima. Mungkin semuanya akan terasa lancar karena aku sudah tidak ikut organisasi-organisasi kampus lagi. Ya, aku tidak terlalu sibuk dan tentu saja memiliki banyak waktu luang. Sungguh hal yang sangat-sangat aku syukuri saat itu. Aku juga sudah tidak tinggal di asrama lagi, ya itu membuatku lebih leluasa mengatur waktu dan bebas aturan ini dan itu.

Di semester lima pun Mom E semakin melonggarkan penilaian, karena di semester ini lebih memperhatikan isi tulisan esai yang mengarah ke penulisan akademik. Urusan tata bahasa belakangan, katanya. Aku menjadi lebih bisa menyesuaikan. Meskipun masih patah-patah, aku menuruti saja semua instruksinya. Maksudnya, dia memang tidak pernah mencoba menyesatkan mahasiswa-mahasiswanya. Sungguh, memang lebih terasa lancar karena kebanyakan isi tulisanku lebih diperhatikan isinya dibanding tata bahasanya.

Namun, semua kelancaran ini bukan berarti tanpa aral. Pernah beberapa kali ia marah besar karena mahasiswa-mahasiswa lain tak memperhatikan. Pernah suatu kali ia marah besar, aku lupa karena apa. Tetapi saat itu itu ia keluar dari kelas. Alih-alih tetap menunggu, ia tetap keluar setelah memberikan tugas untuk segera dicetak saat itu juga. Sungguh drama. Semua teman-temanku termasuk aku sendiri keluar kelas bagai burung yang telah lama dikurung tapi takut tersesat, karena saat itu juga kami semua harus menyerahkan tugas yang terlebih dulu diwajibkan dicetak. Mom E menunggu di ruang dosen. Meskipun pada akhirnya, ia pun mencair. Maksudnya, jika dibandingkan dengan kelas sebelah, tantrum beliau tidak separah di kelas itu, sebabnya karena di kelas tersebut lebih banyak mahasiwa-mahasiswi yang menurutnya pembangkang.

Sampai akhir semester itu, semuanya terasa lebih lancar. Aku menuruti semua saran-sarannya berakibat aku pada akhirnya dipasangkan dengan dosen writing pertamaku. Dan yang membuatku terkejut adalah penguji tugas akhirku adalah Mom E. Aku bersyukur saja saat itu meskipun sebenarnya aku tengah didera masalah.

Runyam pikiranku karena uang beasiswa tidak cair, sementara aku tidak punya uang. Ya, aku juga tidak mengambil kerja sampingan sehingga aku merasa sungguh berat hati saat itu. Tak punya uang dan juga stress. Aku kesana kemari meminjam uang karena uang beasiswa pemerintah yang stop. Aneh, setelah ditelusuri karena kesalahan input data oleh petugas di kampus. Sungguh mengecewakan. Saat itu mau tidak mau aku harus bertahan. Maksudnya, toh tugas akhirku tidak terlalu memakan biaya karena berupa blog yang bisa dibuat gratis terlebih dahulu di internet. Sungguh melelahkan karena revisi bertubi-tubi yang diberikan dosen pembimbingku. Proses bimbingan pun terasa tradisional karena aku harus selalu bertemu tatap muka dan harus selalu diperiksa di tempat. Tidak seperti yang lain yang bisa dibawa di rumah.

            Parahnya aku selalu berharap bahwa uang itu akan cair. Uang itu pada akhirnya tidak pernah cair. Di tengah menunggu uang beasiswa tak pasti itu, aku meminjam ke banyak orang. Tentu aku tidak mengutarakan hal ini kepada pembimbing apalagi pengujiku Mom E dan satu lagi dosen yang tidak terlalu dekat denganku. Ya, aku memang tidak dekat dengan mereka semua. Mereka menjaga jarak, begitupun aku. Intinya, sungguh berat sangat berat.

            Dosen berbeda dengan guru. Ketika tugas guru membimbing dan mengarahkan., tugas dosen hanya mengarahkan saja menurutku karena mereka menganggap mahasiswa-mahasiswa adalah orang-orang yang sudah dewasa. Maka, karakter mereka pun tidak perlu mereka tutup-tutupi. Kadang aku merasa sedikit terenyuh juga kadang teman-temanku menggosipkan mereka. Apa mungkin itu cara mereka melawan karena dosen-dosenku punya kuasa penuh. Terlebih Mom E dengan segala karakternya yang tegas dan lumayan intimidatif.. Ditambah dia juga memutuskan tidak menikah dan memiliki momongan. Mungkin dia juga tinggal sendiri di rumahnya. Dia sangat mandiri dan memang terkesan eksentrik jika saja penampilannya tidak biasa saja. Tapi, penampilannya memang biasa saja. Mungkin umurnya saat itu 50-an karena ia lahir tahun 1962, bulan Februari tanggal 26.

            Pengerjaan tugas akhir itu semakin memberatkan, tapi aku tetap mengikuti prosesnya. Sampai beberapa halangan pun aku temui seperti pada saat sidang proposal, blog resensi novelku dinilai jelek desainnya, sedangkan pada saat sidang kemajuan yang dikritik adalah resensiku yang dinilai terlalu menilai isi buku saja alias tidak ada opini pribadi. Ditambah sepanjang bimbingan aku benar-benar bergantung kepada pembimbingku, ditambah teman bimbingan juga ada yang selalu meminta bantuanku, padahal kita sama-sama tidak mahir. Begitulah.

            Pada akhirnya, semuanya berakhir. Hal yang membuatku terkejut adalah segalanya lancar pada akhirnya. Mom E memberikanku banyak input dan pujian, sebenarnya pujian itu ia berikan kepada pembimbingku yang sabar menuntunku. Mom E tidak benar-benar memberikan kredit yang banyak untuk kerjaku, tapi ya sudahlah, aku toh sudah tidak mau berurusan lagi dengannya. Tugas akhir blog resensi bukuku menarik perhatiannya, dia meminta untuk membelikan dua buku yang aku resensi. Hemmm… ya sudah aku bantu untuk membelikannya.

            Sudah hampir lima tahun aku tidak atau belum bertemu dengan dosen-dosenku terutama Mom E, meskipun kita tidak terlalu dekat, menurutku dia salah satu yang terkenang dan terus diingat olehku. Andai saja waktu itu aku lebih belajar dengan giat, mungkin aku tidak akan menjadi bulan-bulannnya. Tapi, toh pada akhirnya kita baik-baik saja. Tidak ada masalah.[] 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)