Kisahku bergulir dari sebuah terminal di kota ini. Aku tak mengenal bapak karena sejak lahir aku tak pernah tahu wajahnya. Sejak kecil di terminal ini aku dibesarkan oleh ibu. Benar, ibu yang selalu bersusah payah menjual beberapa botol air mineral ke sana kemari. Ibu yang sabar uang dagangannya kadang dipalak oleh preman-preman terminal yang tidak berperasaan.
Ibu
yang tidak pernah mengeluh meskipun merasakan sama-sama kelaparan. Kita berdua
tidak pernah menyerah dengan hidup hingga akhirnya bertemu dengan sosok itu,
sosok lelaki yang saat aku berusia anak SMP dia sering bertanya-tanya kepada
ibu. Sosok itu bilang, ia pernah membaca novel Tere Liye sehingga ia merasa
bersimpati dengan ibu dan kepadaku. Namun, berbeda dengan cerita di novel itu
katanya, ia bukan malaikat.
Entah
kenapa ia selalu mengunjungi terminal saat musim hujan. Setiap kali dia datang,
aku tak segan menawarkan payung kepadanya. Karena itu adalah pekerjaanku. Lalu,
aku juga seperti berhutang budi padanya.
Ia
selalu memberikan beberapa bungkus nasi kepadaku dan ibu. Dia salah jika dia
bilang bukan malaikat, atau setidaknya berhati malaikat saat itu. Karena apa
yang dia lakukan sungguh bertolak belakang dengan pernyataan dia bukan manusia
baik-baik. Sungguh itu fakta yang saat itu kuanggap aneh. Dia benar-benar tidak
hanya memberikan makanan, namun juga baju-baju.
Preman-preman
tidak bisa mendekatinya. Setiap kali mereka mencoba menghampirinya seperti
tikus kelaparan, lelaki itu selalu menyebut nama seseorang yang terasa asing di
telingaku. Tikus-tikus itu menjauh seakan tahu kalau lelaki itu racun yang siap
membunuh mereka saat mereka menyantapnya. Kini racun itu selalu mendekatiku dan
ibu. Bedanya, aku dan ibu tak bisa mati karena bagiku dan ibu, lelaki itu
adalah obat penyembuh.
Lelaki
itu selalu bilang, kekasihnya pergi ke terminal ini setahun lalu saat musim
hujan. Saat itu hubungan percintaannya dilarang kedua orangtuanya. Dia tak
memiliki keberanian untuk pergi meninggalkan hidupnya, mungkin untuk pergi ke
daerah lain, kota lain, atau negara lain bersama sang kekasih melupakan segala hal
di sini. Keberanian yang tak kunjung dilakukan itu dibayar mahal dengan
kepergian sang kekasih yang tak kunjung kembali hingga saat itu.
Ada
yang selalu jatuh setiap lelaki itu menceritakan kekasihnya yang berbeda dunia
itu. Lelaki itu datang dari kawasan langit, sedangkan kekasihnya dari bumi.
Beda jauh dan tak mungkin bersatu.
Maka
lelaki itu selalu menyesal setiap kali datang ke terminal ini saat hujan. Bulir-bulir
air hujan kadang menyamarkan rintik-rintik yang diproduksi oleh kedua matanya,
hasil pergolakan batinnya yang mungkin perih. Lelaki itu selalu memasang wajah
sendu dan tentu saja tak ragu untuk selalu mengambil payungku.
Lelaki
itu, aku yakin bisa membeli bahkan jutaan payung. Namun, saat itu dia selalu
menggunakan jasaku dan kemudian membayar dengan uang yang dilebihkan bahkan
sangat banyak. Tentu aku memberikannya kepada ibu karena agar kita tak
mengganjal perut terus-menerus.
Di
tahun kedua lelaki itu selalu mengunjungi kami, maksudnya aku dan ibu. Dia
berencana menyekolahkanku dan memberikan tabungan kepadaku hingga kuliah
katanya. Tidak masuk akal, saat itu aku sering membaca berita di loker koran
bahwa kadang orang-orang baik berbulu domba, alias mereka serigala. Aku takut,
maka aku pun sempat menolak. Namun, ibu percaya bahwa lelaki itu malaikat dan
tentu saja memang berhati malaikat meskipun dia bilang tanpa henti bahwa dia
bukan orang baik. Tentu saja ia masih berharap kekasihnya kembali ke terminal
itu saat musim hujan.
Lelaki
itu lenyap seperti dibawa angin setelah mampu membuatku untuk masuk sekolah
persamaan SMP saat itu dan menitipkan tabungan yang jumlahnya begitu besar
kapada ibu. Kami menggunakan uangnya untuk menyewa kos-kosan kecil yang mampu
menampung kami berdua beserta modal dagang kecil-kecilan ibu.
Hari
berganti bulan, tahun, semuanya berubah. Aku lulus SMP, SMA, bahkan menerima
beasiswa untuk meneruskan kuliah di perguruan tinggi. Lelaki itu tak pernah
ada. Lenyap seperti ditelan bumi untuk selamanya. Bahkan, sungguh aku tak tahu
menahu di mana keberadaannya. Hingga bertahun-tahun kemudian aku mencarinya
bahkan meng-google namanya di internet. Hanya ada berita tentang keluarganya
yang bangkrut, tersandung utang bermilayar-milyar, terjerat kasus korupsi
besar-besaran, dan berita-berita menyedihkan tentang betapa tercerai berai
keluarganya. Dia dinyatakan hilang.
Nasib
manusia memang tidak bisa ditebak. Aku sekarang sudah mandiri dan bebas dari
kemiskinan yang menjerat hidupku dan ibu bertahun-tahun lalu. Pelan-pelan hidup
kami berdua membaik. Setelah lulus universitas, aku bekerja di perusahaan yang
lumayan bonafide. Aku pun bekerja di sana lalu karirku lumayan meroket. Aku
masih belum memiliki pasangan, namun aku berusaha membeli rumah secara kredit.
Rumah mungil yang aku kini kudiami bersama ibu. Berada di pinggiran kota dan
lumayan berada di daerah yang sejuk.
Kadang
aku ingin berterima kasih kepada malaikat yang pernah menolongku. Orang yang
dulu kerap memberikanku sesuatu yang berharga dan rela mengorbankan hal yang
sungguh tak pernah kuduga akan aku dapatkan. Maka, entah sore itu aku hendak
bernostalgia ke masa kecilku. Setelah pulang bekerja, aku berusaha menyempatkan
diri ke terminal. Menapak tilas hidupku.
Beberapa
preman di sana masih bercokol namun sudah bukan berprofesi preman lagi.
Kebanyakan mereka menjadi tukang ojek. Itu lebih bagus dan lebih halal.
Beberapa preman menyapaku dan aku tak segan memberikan salam kepada mereka. Mereka hangat dan beberapa menepuk pundakku
sembari berkata, ‘Anak laki-laki ojek
payung itu sudah jadi orang. Sedangkan, kita jadi ojek terminal hahaha,’
ungkap mereka tanpa sedikit pun rasa angkuh.
Saat
aku sedang duduk sambil menikmati makanan ringan yang kubeli di penjual asongan
terminal, aku lihat dari jauh sosok yang tidak terlalu renta, namun kulihat ia
sangat familiar. Tidak salah, dia malaikat yang pernah menolongku sejak kecil.
Ia berjalan tertatih dengan seorang wanita di sampingnya yang ia rangkul penuh
kemantapan.
Aku
segera menyongsongnya. Hujan saat itu datang tanpa permisi. Aku kebetulan
membawa payung. Mereka sedang kebingungan untuk berteduh karena posisi mereka
di jalan luar terminal. Aku menghampiri mereka dan tanpa ragu membuka payungku
yang ukurannya lumayan lebar. Sosok itu kaget namun pelan-pelan ia seolah
mengenalku.
Aku
memberikan senyum kepada kedua sosok itu. Mereka belum berbicara apa-apa, namun
mata mereka mengatakan suatu kerinduan mendalam. Sungguh akan terjadi
perjalanan yang mungkin melelahkan setelah ini, ungkapku saat itu. Namun, aku
yakin semuanya akan berjalan lancar dan membahagiakan.
Hujan
masih turun dan membasuh terminal. Sosok-sosok ini berhutang cerita yang
mungkin berepisode banyak kepadaku. Aku pun berhutang jasa teramat besar kepada
mereka. []
bagus sekali kak cerpen ini
BalasHapuskuota lokal adalah