Langsung ke konten utama

Cerpen Transit Hujan (Medan Pos, 20 Desember 2020)

 

Kisahku bergulir dari sebuah terminal di kota ini. Aku tak mengenal bapak karena sejak lahir aku tak pernah tahu wajahnya. Sejak kecil di terminal ini aku dibesarkan oleh ibu. Benar, ibu yang selalu bersusah payah menjual beberapa botol air mineral ke sana kemari. Ibu yang sabar uang dagangannya kadang dipalak oleh preman-preman terminal yang tidak berperasaan.

Ibu yang tidak pernah mengeluh meskipun merasakan sama-sama kelaparan. Kita berdua tidak pernah menyerah dengan hidup hingga akhirnya bertemu dengan sosok itu, sosok lelaki yang saat aku berusia anak SMP dia sering bertanya-tanya kepada ibu. Sosok itu bilang, ia pernah membaca novel Tere Liye sehingga ia merasa bersimpati dengan ibu dan kepadaku. Namun, berbeda dengan cerita di novel itu katanya, ia bukan malaikat.

Entah kenapa ia selalu mengunjungi terminal saat musim hujan. Setiap kali dia datang, aku tak segan menawarkan payung kepadanya. Karena itu adalah pekerjaanku. Lalu, aku juga seperti berhutang budi padanya.

Ia selalu memberikan beberapa bungkus nasi kepadaku dan ibu. Dia salah jika dia bilang bukan malaikat, atau setidaknya berhati malaikat saat itu. Karena apa yang dia lakukan sungguh bertolak belakang dengan pernyataan dia bukan manusia baik-baik. Sungguh itu fakta yang saat itu kuanggap aneh. Dia benar-benar tidak hanya memberikan makanan, namun juga baju-baju.

Preman-preman tidak bisa mendekatinya. Setiap kali mereka mencoba menghampirinya seperti tikus kelaparan, lelaki itu selalu menyebut nama seseorang yang terasa asing di telingaku. Tikus-tikus itu menjauh seakan tahu kalau lelaki itu racun yang siap membunuh mereka saat mereka menyantapnya. Kini racun itu selalu mendekatiku dan ibu. Bedanya, aku dan ibu tak bisa mati karena bagiku dan ibu, lelaki itu adalah obat penyembuh.

Lelaki itu selalu bilang, kekasihnya pergi ke terminal ini setahun lalu saat musim hujan. Saat itu hubungan percintaannya dilarang kedua orangtuanya. Dia tak memiliki keberanian untuk pergi meninggalkan hidupnya, mungkin untuk pergi ke daerah lain, kota lain, atau negara lain bersama sang kekasih melupakan segala hal di sini. Keberanian yang tak kunjung dilakukan itu dibayar mahal dengan kepergian sang kekasih yang tak kunjung kembali hingga saat itu.

Ada yang selalu jatuh setiap lelaki itu menceritakan kekasihnya yang berbeda dunia itu. Lelaki itu datang dari kawasan langit, sedangkan kekasihnya dari bumi. Beda jauh dan tak mungkin bersatu.

Maka lelaki itu selalu menyesal setiap kali datang ke terminal ini saat hujan. Bulir-bulir air hujan kadang menyamarkan rintik-rintik yang diproduksi oleh kedua matanya, hasil pergolakan batinnya yang mungkin perih. Lelaki itu selalu memasang wajah sendu dan tentu saja tak ragu untuk selalu mengambil payungku.

Lelaki itu, aku yakin bisa membeli bahkan jutaan payung. Namun, saat itu dia selalu menggunakan jasaku dan kemudian membayar dengan uang yang dilebihkan bahkan sangat banyak. Tentu aku memberikannya kepada ibu karena agar kita tak mengganjal perut terus-menerus.

Di tahun kedua lelaki itu selalu mengunjungi kami, maksudnya aku dan ibu. Dia berencana menyekolahkanku dan memberikan tabungan kepadaku hingga kuliah katanya. Tidak masuk akal, saat itu aku sering membaca berita di loker koran bahwa kadang orang-orang baik berbulu domba, alias mereka serigala. Aku takut, maka aku pun sempat menolak. Namun, ibu percaya bahwa lelaki itu malaikat dan tentu saja memang berhati malaikat meskipun dia bilang tanpa henti bahwa dia bukan orang baik. Tentu saja ia masih berharap kekasihnya kembali ke terminal itu saat musim hujan.

Lelaki itu lenyap seperti dibawa angin setelah mampu membuatku untuk masuk sekolah persamaan SMP saat itu dan menitipkan tabungan yang jumlahnya begitu besar kapada ibu. Kami menggunakan uangnya untuk menyewa kos-kosan kecil yang mampu menampung kami berdua beserta modal dagang kecil-kecilan ibu.

Hari berganti bulan, tahun, semuanya berubah. Aku lulus SMP, SMA, bahkan menerima beasiswa untuk meneruskan kuliah di perguruan tinggi. Lelaki itu tak pernah ada. Lenyap seperti ditelan bumi untuk selamanya. Bahkan, sungguh aku tak tahu menahu di mana keberadaannya. Hingga bertahun-tahun kemudian aku mencarinya bahkan meng-google namanya di internet. Hanya ada berita tentang keluarganya yang bangkrut, tersandung utang bermilayar-milyar, terjerat kasus korupsi besar-besaran, dan berita-berita menyedihkan tentang betapa tercerai berai keluarganya. Dia dinyatakan hilang.

Nasib manusia memang tidak bisa ditebak. Aku sekarang sudah mandiri dan bebas dari kemiskinan yang menjerat hidupku dan ibu bertahun-tahun lalu. Pelan-pelan hidup kami berdua membaik. Setelah lulus universitas, aku bekerja di perusahaan yang lumayan bonafide. Aku pun bekerja di sana lalu karirku lumayan meroket. Aku masih belum memiliki pasangan, namun aku berusaha membeli rumah secara kredit. Rumah mungil yang aku kini kudiami bersama ibu. Berada di pinggiran kota dan lumayan berada di daerah yang sejuk.

Kadang aku ingin berterima kasih kepada malaikat yang pernah menolongku. Orang yang dulu kerap memberikanku sesuatu yang berharga dan rela mengorbankan hal yang sungguh tak pernah kuduga akan aku dapatkan. Maka, entah sore itu aku hendak bernostalgia ke masa kecilku. Setelah pulang bekerja, aku berusaha menyempatkan diri ke terminal. Menapak tilas hidupku.

Beberapa preman di sana masih bercokol namun sudah bukan berprofesi preman lagi. Kebanyakan mereka menjadi tukang ojek. Itu lebih bagus dan lebih halal. Beberapa preman menyapaku dan aku tak segan memberikan salam kepada mereka.  Mereka hangat dan beberapa menepuk pundakku sembari berkata, ‘Anak laki-laki ojek payung itu sudah jadi orang. Sedangkan, kita jadi ojek terminal hahaha,’ ungkap mereka tanpa sedikit pun rasa angkuh.

Saat aku sedang duduk sambil menikmati makanan ringan yang kubeli di penjual asongan terminal, aku lihat dari jauh sosok yang tidak terlalu renta, namun kulihat ia sangat familiar. Tidak salah, dia malaikat yang pernah menolongku sejak kecil. Ia berjalan tertatih dengan seorang wanita di sampingnya yang ia rangkul penuh kemantapan.

Aku segera menyongsongnya. Hujan saat itu datang tanpa permisi. Aku kebetulan membawa payung. Mereka sedang kebingungan untuk berteduh karena posisi mereka di jalan luar terminal. Aku menghampiri mereka dan tanpa ragu membuka payungku yang ukurannya lumayan lebar. Sosok itu kaget namun pelan-pelan ia seolah mengenalku.

Aku memberikan senyum kepada kedua sosok itu. Mereka belum berbicara apa-apa, namun mata mereka mengatakan suatu kerinduan mendalam. Sungguh akan terjadi perjalanan yang mungkin melelahkan setelah ini, ungkapku saat itu. Namun, aku yakin semuanya akan berjalan lancar dan membahagiakan.

Hujan masih turun dan membasuh terminal. Sosok-sosok ini berhutang cerita yang mungkin berepisode banyak kepadaku. Aku pun berhutang jasa teramat besar kepada mereka. []

 

 

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)