Aku kembali ke kota ini. Sebuah tempat
yang menyimpan kenangan pahit bagiku di masa lalu. Aku masih ingat siapa yang
telah menorehkan luka padaku beberapa tahun silam. Di kota ini, tepat bulan
ini, tiga puluh hari lagi. Aku telah bersiap-siap membalaskan bara yang telah
lama bersemayam dalam hatiku. Aku akan meluapkan segala rasa yang telah lama
terpendam. Rasa sakit.
Aku sudah tahu di mana dia sekarang
berada. Ia kini bekerja sebagai bos di restoran cepat saji miliknya sendiri.
Entah apa yang ia jual, aku belum tahu sepenuhnya. Dan lihatlah, sekarang aku
sengaja mengontrak dekat restoran itu. Tepat di tengah kota, pusat keramaian
yang tak akan pernah padam keriuhannya. Namun, aku lupa. Ini kota kecil.
Segalanya akan terasa berbeda.
***
Sepuluh tahun lalu, aku akan ceritakan
sebuah kisah pilu mengiris hati. Aku datang ke kota ini dengan segala pikiran
yang kosong. Aku sesungguhnya kalut dan rasanya ingin mati saja saat itu.
Bagaimana tidak, aku baru saja lulus bangku putih abu-abu saat itu. Tetapi, aku
merasa kotor.
Aku baru saja menghilangkan calon
anakku. Aku melakukannya dengan pacarku. Tentu tanpa sepengetahuan orang tua
kami. Janin itu masih muda, masih layak diperjuangkan hidup sebenarnya. Namun,
aku tak memiliki banyak pilihan lagi. Aku setuju untuk mengakhiri riwayatnya.
Demi hidupku tentu saja. Terdengar egois bukan? Sangat.
Pacarku meneruskan kuliah di kota
kembang. Sedangkan, aku terdampar di kota ini. Karena Ibuku bilang biaya hidup
di kota ini murah. Dan tentu saja aku tak perlu susah-susah karena ibu memiliki
rumah di sini. Tepatnya rumah itu telah lama diurus orang kepercayaan Ibu. Maka
aku tinggal di sana.
Aku pun mengambil kuliah jurusan
komunikasi di salah satu universitas swasta di kota ini. Sungguh itu pilihan
yang tak masuk akal karena sesungguhnya mimpiku menjadi bidan. Huft, aku tak
semata-mata masih bermimpi kuliah di jurusan itu. Karena aku ini pendosa. Aku
merasa tak sanggup melahirkan nyawa alias membantu proses kelahiran bayi
sedangkan diriku sendiri pembunuh.
Maka, aku melalui hari-hariku biasa
saja. Aku tak ingin terjerumus lagi dengan hal-hal bodoh dan pergaulan bebas
lagi. Aku pun sesungguhnya dalam masa-masa kritis terhadap hubunganku. Aku
sebenarnya tak memercayai pacarku lagi yang kini berhubungan jarak jauh
denganku. Melihat responnya dulu saat tahu aku mengandung benihnya, aku bisa
bilang dia pengecut.
Aku pun menjalani kegiatan sehari-hari
yang membosankan. Kuliah-pulang-kuliah-pulang. Sampai gagasan untuk mengikuti
kegiatan kampus pun hadir. Aku resmi menjadi anggota pencinta alam saat itu.
Lagi-lagi ini pilihan yang spontan. Dan tentu saja aku tak memiliki banyak
bahan obrolan saat aku berhadapan dengan banyak orang atau teman-teman baru di
sana.
Hingga akhirnya, aku bisa nyambung
dengan salah satu seniorku bernama Bram. Dia dua tingkat di atasku. Ternyata,
kami satu fakultas sebenarnya. Namun, ia mengambil jurusan ilmu politik.
Aku selalu mengagumi Bram karena ia
senior paling ramah di antara lainnya yang ramah-ramah juga. Bram selalu
berbeda menurutku. Ia selalu mengajakku mengobrol. Alasannya karena ia tak bisa
mengobrol dengan junior lainnya berhubung selalu dijadikan sasaran gebetan oleh
teman-temannya. Namun berbicara dengan junior laki-laki adalah urusan berbeda.
Jadilah aku merasa diistimewakan.
Bram, Bram, pelan-pelan ia menggeser
posisiku pacarku di hatiku. Bram, Bram, senyumnya selalu membuatku merasa
melayang sampai langit ketujuh. Ia pun berpengetahuan luas dan selalu membuatku
merasa kagum. Bram, Bram, sebenarnya ia tak banyak bicara seperti yang lain. Oleh
karena itu aku selalu merasa penasaran dengannya. Hingga aku sadari bahwa
hari-hari kelabuku telah sirna dan tak berbekas lagi. Kini aku memiliki
semangat untuk menjalani hidup lagi.
***
Berapa waktu yang diperlukan untuk
seorang perempuan muda dan laki-laki yang ia idamkan segera menjalani hubungan
setelah lama berinteraksi? Aku tidak tahu. Yang jelas setelah tiga bulan aku
mengenal Bram, akhirnya laki-laki itu menyatakan perasaan jujurnya padaku.
Bahwa ia sebenarnya mencintaiku, tetapi ia belum bisa melangkah ke hubungan
personal alias pacaran. Karena ia ingin fokus ke studinya. Bram, Bram, atau
tepatnya Mas Bram, aku biasa memanggilnya seperti itu. Aku bilang saat itu
bahwa tidak apa-apa. Toh, aku pun tak ingin sesuatu yang lebih.
Maka, hubungan yang saat itu kita
jalani entah bernama apa. Pacaran tidak, berteman pun tidak, berkeluarga apa
lagi. Kami selalu menghabiskan waktu bersama-sama setiap akhir pekan. Menikmati
jajanan-jajanan pinggir jalan kota ini malam-malam. Kadang kami lari pagi bersama.
Dan tentu saja setiap akhir bulan kami pergi bersama klub pencinta alam ke
mana-mana. Tentu saja gunung, sungai, hutan, kami lalui semuanya bersama-sama
dengan api unggun, tenda, dan kopi.
Aku dan Bram pada akhirnya menyerah
dengan hubungan itu. Tiga bulan setelahnya kami resmi sebagai pasangan kekasih.
Bram menyatakan perasaannya saat kami sama-sama berada di puncak tertinggi
Gunung Ciremai. Aku dan Bram saat itu merasa cinta kami direstui langit dan
bumi.
***
Bram, Bram, atau Mas Bram tepatnya,
setelah kami semakin lengket, aku semakin menguak karakter Bram sebenarnya. Ia
entah kenapa mudah sekali tersulut emosi akhir-akhir ini. Saat aku berbincang
dengan senior laki-laki lainnya, ia selalu saja menekuk mukanya selayaknya
rongsokan. Atau ia selalu mengucapkan kata-kata dengan nada tinggi saat aku
mengerjakan tugas kuliah dengan teman-teman lelakiku, hemmm.. tentu saja aku
tak bisa memilih saat kelompok kuliahku acak.
Bram, Bram, kesini-kesini ia makin
ringan tangan. Aku telah beberapa kali merasakan cubitannya saat ia tahu aku
mengobrol dengan laki-laki, entah teman atau senior di fakultas atau klub
pencinta alam. Bram, Bram, kadang-kadang ia juga langsung meminta maaf dengan
muka sangat dilembutkan, aku tak tega menolak. Tamparannya aku lupakan. Hardikannya
aku sirnakan.
Padahal, hubungan kami terasa makin
mesra. Dan sebagaimana lelaki lainnya, ia pun menginginkan hal yang sama
seperti pacarku sebelumnya, yang telah aku putuskan saat aku merasa jatuh
semakin dalam pada Bram, atau Mas Bram. Bram, Bram, cintaku padanya
membutakanku untuk jatuh pada lubang dosa yang serupa. Bram, Bram, anehnya saat
ia tahu aku positif mengandung benihnya, ia kemudian menghilang bak ditelan
bumi. Entah ke mana ia lenyap…
***
Bram, Bram, kini ia telah menjadi
orang. Restoran cepat sajinya bahkan telah bercabang tiga tempat di kotanya
sendiri. Di kota tetangga telah banyak menjamur pula. Ia kini menjadi
seseorang, padahal dulu biasa-biasa saja. Dan aku? Ah, setelah benih itu hadir,
aku tak melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Aku memutuskan kembali pada
Ibu di kotaku, metropolitan. Aku jujur pada Ibu, dan aku kaget saat Ibu menatap
iba padaku. Aku pun ternyata korban. Ya, Ibu telah ditinggal Ayah bahkan
sebelum aku lahir. Aku pun menyesal sungguh karena anak pertamaku tak kuberi
kesempatan untuk hidup.
Kini, aku berada di restoran cepat
saji itu. Hendak menuntut sesuatu yang telah lama ingin aku dapatkan. Kata maaf
atau apalah dari Mas Bram. Aku di sana bersama… tentu saja bersama anakku.
Tapi, kini ia juga ada di sebelahku. Masih berumur sepuluh tahun, ia perempuan,
ia kini memakai masker dan kepalanya sengaja kututup turban.
“Mas lihat, dia anakmu…”
“Siapa kamu? Tidak, aku tidak pernah
punya anak. Kenapa kamu menipuku? Kamu bilang kamu investor.”
Aku melotot kemudian, “Tolong, jangan
pura-pura bodoh. Saya tahu, mas juga akan mencalonkan jadi Bupati, kan?”
Dia kemudian menjadi berang, “Jadi
kamu datang untuk memerasku?”
Sementara putriku telah merasa tak
nyaman, ia pun bergerak-gerak rusuh dan bersuara gaduh.
“Hah, dia gagu? Tidak-tidak, tidak
mungkin aku punya anak cacat!?”
Aku pun sudah tak tahan lagi. Aku
layangkan permukaan tangan kananku pada pipi Mas Bram.
Plak!
“Heh, berani-beraninya kamu?”
Sementara anakku telah meraung-raung.
Anak Mas Bram juga maksudku.
“Sudah, Nak, kita pulang saja.”
Bram hanya terpaku dan ia pun
berbicara runyam lagi. Entah bermuram durja apa lagi. Aku sudah pergi menjauh.
Aku bawa putriku ke dalam Honda City-ku yang terparkir di depan restoran. Bram,
Bram, dari jauh, aku lihat seorang pelayan memberikannya minum. Ia yang tengah
kalap, tentu saja langsung menerima. Bram, Bram, ia pun langsung jatuh tersungkur
ke lantai.
Bram, Bram, aku menjauh dengan mobilku
meninggalkan restoran itu. Bram, Bram, mungkin ia kini tengah kelojotan. Bram,
Bram, aku pun membuka ponselku yang beberapa waktu lalu berdering.
Bram, Bram, entah bagaimana nasibmu
sekarang. Sudah mati atau masih hidup. Masih mau hidup atau tengah menyesali
kesalahan masa lalu. Masa bodoh. Aku berpaling ke ponselku. Aku membaca pesan
masuk yang tertulis di sana: BERES BOS.
Seketika aku langsung tesenyum.
Rencana kedua untuk mengakhiri hidup Bram meloncat-loncat di kepalaku. Setelah
ini, aku akan mengeksekusinya dengan kedua tanganku sendiri.[]
Komentar
Posting Komentar