Langsung ke konten utama

Cerpen Bram (Medan Pos, 30 Agustus 2020)

 



Aku kembali ke kota ini. Sebuah tempat yang menyimpan kenangan pahit bagiku di masa lalu. Aku masih ingat siapa yang telah menorehkan luka padaku beberapa tahun silam. Di kota ini, tepat bulan ini, tiga puluh hari lagi. Aku telah bersiap-siap membalaskan bara yang telah lama bersemayam dalam hatiku. Aku akan meluapkan segala rasa yang telah lama terpendam. Rasa sakit.

 

Aku sudah tahu di mana dia sekarang berada. Ia kini bekerja sebagai bos di restoran cepat saji miliknya sendiri. Entah apa yang ia jual, aku belum tahu sepenuhnya. Dan lihatlah, sekarang aku sengaja mengontrak dekat restoran itu. Tepat di tengah kota, pusat keramaian yang tak akan pernah padam keriuhannya. Namun, aku lupa. Ini kota kecil. Segalanya akan terasa berbeda.

***

 

Sepuluh tahun lalu, aku akan ceritakan sebuah kisah pilu mengiris hati. Aku datang ke kota ini dengan segala pikiran yang kosong. Aku sesungguhnya kalut dan rasanya ingin mati saja saat itu. Bagaimana tidak, aku baru saja lulus bangku putih abu-abu saat itu. Tetapi, aku merasa kotor.

 

Aku baru saja menghilangkan calon anakku. Aku melakukannya dengan pacarku. Tentu tanpa sepengetahuan orang tua kami. Janin itu masih muda, masih layak diperjuangkan hidup sebenarnya. Namun, aku tak memiliki banyak pilihan lagi. Aku setuju untuk mengakhiri riwayatnya. Demi hidupku tentu saja. Terdengar egois bukan? Sangat.

 

Pacarku meneruskan kuliah di kota kembang. Sedangkan, aku terdampar di kota ini. Karena Ibuku bilang biaya hidup di kota ini murah. Dan tentu saja aku tak perlu susah-susah karena ibu memiliki rumah di sini. Tepatnya rumah itu telah lama diurus orang kepercayaan Ibu. Maka aku tinggal di sana.

 

Aku pun mengambil kuliah jurusan komunikasi di salah satu universitas swasta di kota ini. Sungguh itu pilihan yang tak masuk akal karena sesungguhnya mimpiku menjadi bidan. Huft, aku tak semata-mata masih bermimpi kuliah di jurusan itu. Karena aku ini pendosa. Aku merasa tak sanggup melahirkan nyawa alias membantu proses kelahiran bayi sedangkan diriku sendiri pembunuh.

 

Maka, aku melalui hari-hariku biasa saja. Aku tak ingin terjerumus lagi dengan hal-hal bodoh dan pergaulan bebas lagi. Aku pun sesungguhnya dalam masa-masa kritis terhadap hubunganku. Aku sebenarnya tak memercayai pacarku lagi yang kini berhubungan jarak jauh denganku. Melihat responnya dulu saat tahu aku mengandung benihnya, aku bisa bilang dia pengecut.

 

Aku pun menjalani kegiatan sehari-hari yang membosankan. Kuliah-pulang-kuliah-pulang. Sampai gagasan untuk mengikuti kegiatan kampus pun hadir. Aku resmi menjadi anggota pencinta alam saat itu. Lagi-lagi ini pilihan yang spontan. Dan tentu saja aku tak memiliki banyak bahan obrolan saat aku berhadapan dengan banyak orang atau teman-teman baru di sana.

 

Hingga akhirnya, aku bisa nyambung dengan salah satu seniorku bernama Bram. Dia dua tingkat di atasku. Ternyata, kami satu fakultas sebenarnya. Namun, ia mengambil jurusan ilmu politik.

 

Aku selalu mengagumi Bram karena ia senior paling ramah di antara lainnya yang ramah-ramah juga. Bram selalu berbeda menurutku. Ia selalu mengajakku mengobrol. Alasannya karena ia tak bisa mengobrol dengan junior lainnya berhubung selalu dijadikan sasaran gebetan oleh teman-temannya. Namun berbicara dengan junior laki-laki adalah urusan berbeda. Jadilah aku merasa diistimewakan.

 

Bram, Bram, pelan-pelan ia menggeser posisiku pacarku di hatiku. Bram, Bram, senyumnya selalu membuatku merasa melayang sampai langit ketujuh. Ia pun berpengetahuan luas dan selalu membuatku merasa kagum. Bram, Bram, sebenarnya ia tak banyak bicara seperti yang lain. Oleh karena itu aku selalu merasa penasaran dengannya. Hingga aku sadari bahwa hari-hari kelabuku telah sirna dan tak berbekas lagi. Kini aku memiliki semangat untuk menjalani hidup lagi.

***

 

Berapa waktu yang diperlukan untuk seorang perempuan muda dan laki-laki yang ia idamkan segera menjalani hubungan setelah lama berinteraksi? Aku tidak tahu. Yang jelas setelah tiga bulan aku mengenal Bram, akhirnya laki-laki itu menyatakan perasaan jujurnya padaku. Bahwa ia sebenarnya mencintaiku, tetapi ia belum bisa melangkah ke hubungan personal alias pacaran. Karena ia ingin fokus ke studinya. Bram, Bram, atau tepatnya Mas Bram, aku biasa memanggilnya seperti itu. Aku bilang saat itu bahwa tidak apa-apa. Toh, aku pun tak ingin sesuatu yang lebih.

 

Maka, hubungan yang saat itu kita jalani entah bernama apa. Pacaran tidak, berteman pun tidak, berkeluarga apa lagi. Kami selalu menghabiskan waktu bersama-sama setiap akhir pekan. Menikmati jajanan-jajanan pinggir jalan kota ini malam-malam. Kadang kami lari pagi bersama. Dan tentu saja setiap akhir bulan kami pergi bersama klub pencinta alam ke mana-mana. Tentu saja gunung, sungai, hutan, kami lalui semuanya bersama-sama dengan api unggun, tenda, dan kopi.

 

Aku dan Bram pada akhirnya menyerah dengan hubungan itu. Tiga bulan setelahnya kami resmi sebagai pasangan kekasih. Bram menyatakan perasaannya saat kami sama-sama berada di puncak tertinggi Gunung Ciremai. Aku dan Bram saat itu merasa cinta kami direstui langit dan bumi.

***

 

Bram, Bram, atau Mas Bram tepatnya, setelah kami semakin lengket, aku semakin menguak karakter Bram sebenarnya. Ia entah kenapa mudah sekali tersulut emosi akhir-akhir ini. Saat aku berbincang dengan senior laki-laki lainnya, ia selalu saja menekuk mukanya selayaknya rongsokan. Atau ia selalu mengucapkan kata-kata dengan nada tinggi saat aku mengerjakan tugas kuliah dengan teman-teman lelakiku, hemmm.. tentu saja aku tak bisa memilih saat kelompok kuliahku acak.

 

Bram, Bram, kesini-kesini ia makin ringan tangan. Aku telah beberapa kali merasakan cubitannya saat ia tahu aku mengobrol dengan laki-laki, entah teman atau senior di fakultas atau klub pencinta alam. Bram, Bram, kadang-kadang ia juga langsung meminta maaf dengan muka sangat dilembutkan, aku tak tega menolak. Tamparannya aku lupakan. Hardikannya aku sirnakan.

 

Padahal, hubungan kami terasa makin mesra. Dan sebagaimana lelaki lainnya, ia pun menginginkan hal yang sama seperti pacarku sebelumnya, yang telah aku putuskan saat aku merasa jatuh semakin dalam pada Bram, atau Mas Bram. Bram, Bram, cintaku padanya membutakanku untuk jatuh pada lubang dosa yang serupa. Bram, Bram, anehnya saat ia tahu aku positif mengandung benihnya, ia kemudian menghilang bak ditelan bumi. Entah ke mana ia lenyap…

***

 

Bram, Bram, kini ia telah menjadi orang. Restoran cepat sajinya bahkan telah bercabang tiga tempat di kotanya sendiri. Di kota tetangga telah banyak menjamur pula. Ia kini menjadi seseorang, padahal dulu biasa-biasa saja. Dan aku? Ah, setelah benih itu hadir, aku tak melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Aku memutuskan kembali pada Ibu di kotaku, metropolitan. Aku jujur pada Ibu, dan aku kaget saat Ibu menatap iba padaku. Aku pun ternyata korban. Ya, Ibu telah ditinggal Ayah bahkan sebelum aku lahir. Aku pun menyesal sungguh karena anak pertamaku tak kuberi kesempatan untuk hidup.

 

Kini, aku berada di restoran cepat saji itu. Hendak menuntut sesuatu yang telah lama ingin aku dapatkan. Kata maaf atau apalah dari Mas Bram. Aku di sana bersama… tentu saja bersama anakku. Tapi, kini ia juga ada di sebelahku. Masih berumur sepuluh tahun, ia perempuan, ia kini memakai masker dan kepalanya sengaja kututup turban.

 

“Mas lihat, dia anakmu…”

 

“Siapa kamu? Tidak, aku tidak pernah punya anak. Kenapa kamu menipuku? Kamu bilang kamu investor.”

 

Aku melotot kemudian, “Tolong, jangan pura-pura bodoh. Saya tahu, mas juga akan mencalonkan jadi Bupati, kan?”

 

Dia kemudian menjadi berang, “Jadi kamu datang untuk memerasku?”

 

Sementara putriku telah merasa tak nyaman, ia pun bergerak-gerak rusuh dan bersuara gaduh.

 

“Hah, dia gagu? Tidak-tidak, tidak mungkin aku punya anak cacat!?”

 

Aku pun sudah tak tahan lagi. Aku layangkan permukaan tangan kananku pada pipi Mas Bram.

 

Plak!

 

“Heh, berani-beraninya kamu?”

 

Sementara anakku telah meraung-raung. Anak Mas Bram juga maksudku.

 

“Sudah, Nak, kita pulang saja.”

 

Bram hanya terpaku dan ia pun berbicara runyam lagi. Entah bermuram durja apa lagi. Aku sudah pergi menjauh. Aku bawa putriku ke dalam Honda City-ku yang terparkir di depan restoran. Bram, Bram, dari jauh, aku lihat seorang pelayan memberikannya minum. Ia yang tengah kalap, tentu saja langsung menerima. Bram, Bram, ia pun langsung jatuh tersungkur ke lantai.

 

Bram, Bram, aku menjauh dengan mobilku meninggalkan restoran itu. Bram, Bram, mungkin ia kini tengah kelojotan. Bram, Bram, aku pun membuka ponselku yang beberapa waktu lalu berdering.

 

Bram, Bram, entah bagaimana nasibmu sekarang. Sudah mati atau masih hidup. Masih mau hidup atau tengah menyesali kesalahan masa lalu. Masa bodoh. Aku berpaling ke ponselku. Aku membaca pesan masuk yang tertulis di sana: BERES BOS.

 

Seketika aku langsung tesenyum. Rencana kedua untuk mengakhiri hidup Bram meloncat-loncat di kepalaku. Setelah ini, aku akan mengeksekusinya dengan kedua tanganku sendiri.[]

           

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)