Langsung ke konten utama

Cerpen Sang Ramadan (Kabar Cirebon, 16 Mei 2020)


"Rabbana laatuzigh Quluubanaa ba'da idzahadaitanaa wahablana milladunka rohah, innaka antal wahhaab."[1]

Tenang sekali kumpulan perca biru di telaga. Ketika kaubasuh wajah wagumu dengan air dari situ, berubahlah rupa tempat itu menjadi cemerlang. Perlahan-lahan, lalu bintang gemintang berjatuhan seiring kau tinggalkan tempat itu menuju rumah peribadatan. Jejak bekas derap langkahmu kini bolong dikeruk meteor-meteor. Kusangka ia bintang, aku salah.

Matamu terlihat sayu. Rambutmu basah itu tentu. Kupandang sorot bayang dirimu tanpa ragu. Kuyakini dalam hati, kaulah sosok pelipur lara dalam hidupmu sendiri. Kau adalah lentera bagi dirimu sendiri. Bukan aku, maupun diriNya.

Angin berlarian membawa bunyi sirine sebagai sebuah simbol. Juga sebagai tanda salat Subuh akan datang. Waktu saur ditutup. Kau melangkahkan kaki pelan kemudian bercerita kepada mereka, teman-temanmu tentang kebaikanmu hari ini. Tentang menahan tak makan, tidak meneguk air ketika haus, dan juga amarahmu tak terpancing sedikitpun oleh kail bernama perempuan. Oh iya, kamu juga bercerita tentang pengalaman pertamamu mengisi kuliah subuh, dengan cara yang unik tak banyak retorika kau dendangkan, katamu. Seperti dongeng sebelum tidur, seolah ibu peri yang melantunkan dawai-dawai nada agar jamaahmu mengantuk.

Dahulu kutahu kau adalah penggondol botol-botol itu, hobimu bergerak sesuai irama di tempat itu, jam malam tak kauhiraukan. Seberkas angin malam yang menusuk-nusuk apalagi, tak dipedulikan. Kauabaikan semua tanda-tandanya. Hanya dirimulah sebagai benda berharga bagi hidupmu, menurutmu.

Semua seolah bermetamorfosa setelah kau bertemu denganku. Sebuah sesuatu yang banyak dirindukan oleh banyak orang di muka bumi ini. Yang mampu mengubah semua orang yang tadinya buruk jadi baik, tamak jadi pemurah, sering bersu'udzon jadi suka berhuznudzon, dan lain-lain. Semua tak terhitung jumlahnya, bahkan aku telah lupa cara menghitungnya.

Euforia kehadiranku pun disambut meriah penuh suka cita olehmu. Seorang manusia yang rindu akan tempat aslimu, surga. Dan kaulah seorang jiwa yang ingin bertemu kemenangan, Idul Fitri.

Namun, jangan jadikan aku hanyalah pakaian dikala salju turun. Seolah kaugadai uang itu, harga dirimu untuk membeli diriku. Setelah mentari terik kembali, aku mohon jangan tinggalkan aku. Jangan kautepis diriku layaknya orang-orang di sekitarmu, kala dahulu.  Teman yang tercampakkan atau kekasih yang digantung pasrah di masa lalu, masa kelammu. Aku meminta tolong padamu!

Aku hendak bertanya tentang kesanmu kepadaku. Ada apa dengan hati yang terasa gersang? Semua terasa bimbang. Mimpi buruk seakan selalu menerjang. Dan waktu memaki untuk tidak berdentang.

Aku adalah bulan yang kini kau singgahi. Tempat dimana pahala mengalir dari cawan yang kutaruh miring tak bertepi. Sekarang kulihat ketidaktulusanmu, kini hatiku seakan bernyanyi lirih. Air mata tak tertahan jatuh meringis pedih. Sampai kapan harus bersedih? Mengkhawatirkan sesuatu yang membuatmu lupa untuk bertasbih.

Isi kepalaku dunia. Hingga aku terlena. Mudah sekali mengelak karena lupa. Hingga doa sebagai tebusan dosa.

Sekarang kaugenggam irama para ma'mum di surau samping rumahmu. Kumohon sekali lagi, ikhlaslah kala kau berkumandang ibadah, jangan sampai aku marah, karena jika kaulakukan hal yang kularang, bukankah aku akan melepas setan-setan yang kini aku dekap erat? Itu mudah bagiku. Tolong perhatikan!

* * *

Menjelmalah aku menjadi seorang lusuh. Compang-camping kain yang kusandang, penat kutahan merajalela, dan aku seorang tak berumah. Orang-orang yang baru bertemu, meruahku si duafa.

Namaku Ramadan. Si bulan yang kau agung-agungkan. Banyak yang berlomba atas namaku. Mereka berdzikir kala aku merajah dalam jiwa-jiwa sendu mereka, selama tiga puluh hari lamanya.

"Pa, bolehkah saya minta sepiring nasi beserta lauknya?"

Kau diam. Agak kaget kau bertingkah. Kemudian kaulirik orang-orang disampingmu. Aku dibawa menuju suatu tempat. Aku diberi makan, minum, dan yang membuatku terkejut mereka, termasuk dirimu sangat segan menyambutku. Seketika air mata luruh dari benteng kantung mataku. Kristal bening tadi mengantarkanku pada putih. Mereka semua diam. Senyap seketika. Terima kasih! Aku telah berburuk sangka.[]

[1]Ya, Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)