Saat itu terik. Tubuhku tak
berhenti memproduksi keringat meskipun aku berada di dalam sebuah ruangan.
Aroma tak sedap membumbung di udara, sungguh tak segar. Agaknya jika kota ini
berada di dataran rendah, aku sudah melambaikan bendera putih. Beruntungnya,
kota ini berada di dataran tinggi. Aku masih bisa untuk berjuang, setidaknya
hanya empat tahun saja.
Beginilah kehidupan
mahasiswa baru, harus mengikuti kegiatan orientasi macam-macam. Tidak hanya
satu, tapi lebih dari lima barangkali. Berbagai pelatihan, seminar, dan lain
sebagainya. Andai aku diperbolehkan untuk tidak berpartisipasi, maka aku akan
hengkang saja dari tempat ini. Mereka memanggilnya pendopo, namun bangunan ini
sebenarnya auditorium besar yang kapasitasnya mampu menampung seribu orang.
Aku berdesak-desakan dengan
yang lainnya hendak daftar ulang. Iya, kegiatan sebenarnya belum terlaksana,
ini adalah langkah awal sebelum kegiatan-kegiatan sibuk lainnya mendera.
Sungguh aku manusia payah
karena hilang semangat terlebih dahulu, padahal seharusnya aku bersemangat.
Harusnya aku lebih proaktif terlebih karena aku mahasiswa beasiswa. Mahasiswa
beasiswa miskin lebih tepatnya. Aku tinggal di asrama yang kamarnya ditempati
dengan orang lain. Pun dengan kamar mandinya dipakai bergantian. Memprihatinkan.
Aku saat ini memain-mainkan
pulpen yang ada di tanganku. Menunggu giliran lebih tepatnya. Aku semoga saja
yang dipanggil berikutnya. Sungguh bosan sudah menguasaiku sekarang. Tak ayal
penglihatanku pun mendarat ke mana-mana, rasanya aku tidak bisa mengontrolnya
dengan baik. Orang-orang dari berbagai penjuru daerah ini memang
menarik-menarik. Setidaknya aku bisa mencuci mata. Padahal, itu hal yang sangat
tidak oleh etis dilakukan mahasiswi sepertiku. Pasti orang-orang berpikiran
ganjil terhadapku.
“Hey,” suara seseorang
membuatku terkaget-kaget.
Aku menoleh ke arah samping.
Seorang mahasiswa laki-laki yang sedang menunggu giliran, sama saja denganku.
Dia tidak menarik, namun sepertinya dia orang yang ramah.
Aku hanya memberikan senyum
balasan, entah apa maunya, yang jelas aku lebih tertarik melakukan kegiatan
lain. Misalnya saja melihat dengan saksama mahasiswa gagah yang letaknya agak
jauh tepat di hadapanku. Ia membalikkan badannya karena asyik bercakap-cakap
dengan teman di belakangnya. Kutebak mereka satu geng alias kenal satu sama
lain.
“Mahasiswa lokal atau luar
kota?” suara itu mengusikku lagi.
Aku mencoba ramah meskipun
entah apakah rautku tampak seperti manusia yang pembawaannya hangat atau tidak,
“Maksudnya?”
Ia lalu menjelaskan bahwa
yang dimaksud mahasiswa lokal adalah mahasiswa yang berasal dari kota kembang
alias tempat universitas ini berada sedangkan mahasiswa yang satunya adalah
yang berasal dari daerah lainnya. Sepertinya mudah dipahami penjelasannya.
“Dari Yogya.” Jawabku.
Katanya dia adalah mahasiswa
dalam kota alias lokal. Entah itu sebenarnya informasi tidak penting mengingat
aku agaknya akan sulit bersosialiasi dengan cowok. Aku tinggal di asrama
mahasiswi universitasku dengan peraturan yang sangat ketat seketat kaus kaki
sempit yang harus terus dipakai. Tapi, tunggu, dia menyebutkan informasi
mengejutkan lain. Ini brilian.
“Dia temanku yang beda
jurusan, namanya Bram.”
Aku langsung melotot.
Sungguh, aku hendak mengucapkan terima kasih tetapi lagi-lagi dia mengejutkanku
dengan informasi tak penting lainnya. Sebelumnya informasi penting.
“Kalau namaku Anrea.”
Sungguh nama aneh yang tentu
saja sulit untuk diingat. Lalu percakapan kami mengalir begitu saja. Sebenarnya
aku mengorek informasi tentang Bram lewat Anrea. Cowok satu ini lumayan ramah
dengan pembawaan yang santai. Awalnya aku mengira dia biasa saja, ternyata dia
di atas rata-rata. Anrea adalah mantan siswa teladan di SMAnya dulu, sedangkan
aku jangan tanya. Hanya siswa biasa. Tetapi maaf Anrea, aku hanya tertarik pada
Bram.
Kamu hanya kupakai sebagai
sumber informasi saja. Namun, aku juga sedikit ragu-ragu, bukan, lebih tepatnya
ragu-ragu adalah diriku sendiri. Aku dan Bram seperti langit dan bumi. Tidak
mungkin bersatu.
“Kamu suka baca?” tanya Anrea.
Aku sedikit menaruh minat,
“Kalau aku suka baca emang kenapa Re?”
Aku mencoba lebih akrab
dengan Anrea meskipun status pertemanan kami masih seumur jagung. Sebelum Anrea
menjawab aku menimpali terlebih dahulu, “Kamu dekat dengan Bram?”
Anrea menjawab, “Tunggu,
kujawab satu-satu. Pertama, kalau kamu juga suka baca aku punya banyak buku di
rumah yang bisa aku pinjamkan jika kamu minat karena kamu pun belum punya kartu
perpus. Kedua, Bram tidak dekat denganku tapi kita saling kenal karena tiga
tahun di kelas yang sama, dia jago semua bidang pelajaran, tapi aku tetap nomer
satu.”
Cih, Anrea arogan sekali.
Namun, tentu saja aku tak mengungkapkannya secara lisan.
“Kelihatannya dia populer.”
Kalimatku langsung dibalas
anggukan Anrea. Dia juga berkata sesuatu yang lainnya, “Berbeda denganku yang
berteman hanya dengan beberapa orang, Bram memang asyik orangnya. Udah gitu dia
itu punya kelebihan secara fisik.”
Aku terkejut dengan
pernyataan Anrea itu. Bukankah sebelumnya dia bilang dengan arogan bahwa dia…
Akh, sudah lupakan, fokus, fokus, fokus tentang Bram saja.
“Pasti sudah punya gebetan
ya?”
Ups, aku merasa bodoh sudah mengatakan
itu kepada Anrea. Bukankah ia bisa melaporkan hal itu kepada Bram? Lain kali
aku akan lebih berhati-hati.
“Naksir? Cinta pada pandangan
pertama dong.” Ujar Anrea.
Aku berada dalam
kebingungan. Jika aku jawab ‘tidak’ dengan menggebu-gebu, akan sangat terlihat
bahwa aku sebenarnya menaruh perhatian. Kalau aku jawab ‘iya’, aku masuk
kategori manusia tak tahu diri. Untungnya panggilan pegawai administrasi
membuatku terselamatkan. Aku belum sempat menjawab pertanyaan Anrea, si cowok
yang kelihatan culun tapi lumayan ceplas-ceplos. Tunggu, aku dipanggil
bersamaan dengan Bram. Oh no!
***
Tiga
bulan setelah menjalani kehidupan mahasiswa, banyak hal-hal baru yang aku alami
dan semuanya harus aku bilang mengesankan. Beberapa hal mengajarkanku untuk
menjadi pribadi yang lebih baik dan tentu saja mandiri. Hidup jauh dari
orangtua banyak sekali tantangannya, di mana salah satunya adalah menjaga perasaan
ini untuk tetap aman dan terkendali. Bahkan ketika banyak rintangan menerjang.
Hal yang aku alami tentu saja sangat-sangat membuatku kelimpungan.
Hidup
di asrama dengan peraturan yang sangat-sangat tegas membuatku goyah beberapa
kali. Aku selalu pulang kemalaman demi tugas. Pada akhirnya aku diberi hukuman
untuk membersihkan kamar mandi berkali-kali. Menyedihkan memang.
Hal
berkesan lainnya adalah merelakan rasa itu pergi. Rasa yang terus hinggap
bahkan terpisah jarak yang sebenarnya tak jauh-jauh amat. Bram, gedung tempat
kuliahnya berada tak jauh dari tempatku belajar. Bahkan dari jauh beberapa kali
aku lihat dia tengah bercengkrama dengan teman-temannya. Bahkan dengan
kekasihnya yang ternyata satu kelas. Saat tahu fakta itu hatiku hancur
berkeping-keping, berhari-hari aku tak bisa untuk tak sedih. Air mata bukan
barang langka lagi. Ia hadir menemani hari-hari kelabuku.
Tetapi
setiap tiga hari sekali juga aku mendapatkan pesan misterius di ponselku. Si
pengirim sungguh-sungguh rela menghiburku dengan gratis. Bukan kata-kata manis
yang ia kirim pada awalnya, hanya motivasi-motivasi pembangkit jiwa. Tak pernah
kuhiraukan juga pesannya. Hanya pesan terakhir. Dia bilang dia akan menelponku malam
ini. Dia akan mengungkapkan siapa jati dirinya. Bahkan, lewat sms dia bilang
bahwa sebenarnya dia menaruh hati padaku. Entah siapa. Sebenarnya aku
penasaran, namun aku hanya bisa menunggu.
Dering
ponsel membuatku terhenyak dari lamunan, saat kuangkat kata ‘halo’ adalah yang
kali pertama aku ucapkan. Dari seberang suara asing menyapa. Tidak, aku
tiba-tiba saja mengingatnya, suara lelaki berpenampilan sederhana yang kadang bertingkah
arogan. Seseorang yang seminggu sekali aku temui di klub baca kampusku. Ini
malapetaka menggembirakan.[]
Komentar
Posting Komentar