Langsung ke konten utama

Cerpen Mendekap Rasa (Kabar Cirebon, 2 Februari 2019)


Saat itu terik. Tubuhku tak berhenti memproduksi keringat meskipun aku berada di dalam sebuah ruangan. Aroma tak sedap membumbung di udara, sungguh tak segar. Agaknya jika kota ini berada di dataran rendah, aku sudah melambaikan bendera putih. Beruntungnya, kota ini berada di dataran tinggi. Aku masih bisa untuk berjuang, setidaknya hanya empat tahun saja.
Beginilah kehidupan mahasiswa baru, harus mengikuti kegiatan orientasi macam-macam. Tidak hanya satu, tapi lebih dari lima barangkali. Berbagai pelatihan, seminar, dan lain sebagainya. Andai aku diperbolehkan untuk tidak berpartisipasi, maka aku akan hengkang saja dari tempat ini. Mereka memanggilnya pendopo, namun bangunan ini sebenarnya auditorium besar yang kapasitasnya mampu menampung seribu orang.
Aku berdesak-desakan dengan yang lainnya hendak daftar ulang. Iya, kegiatan sebenarnya belum terlaksana, ini adalah langkah awal sebelum kegiatan-kegiatan sibuk lainnya mendera.
Sungguh aku manusia payah karena hilang semangat terlebih dahulu, padahal seharusnya aku bersemangat. Harusnya aku lebih proaktif terlebih karena aku mahasiswa beasiswa. Mahasiswa beasiswa miskin lebih tepatnya. Aku tinggal di asrama yang kamarnya ditempati dengan orang lain. Pun dengan kamar mandinya dipakai bergantian. Memprihatinkan.
Aku saat ini memain-mainkan pulpen yang ada di tanganku. Menunggu giliran lebih tepatnya. Aku semoga saja yang dipanggil berikutnya. Sungguh bosan sudah menguasaiku sekarang. Tak ayal penglihatanku pun mendarat ke mana-mana, rasanya aku tidak bisa mengontrolnya dengan baik. Orang-orang dari berbagai penjuru daerah ini memang menarik-menarik. Setidaknya aku bisa mencuci mata. Padahal, itu hal yang sangat tidak oleh etis dilakukan mahasiswi sepertiku. Pasti orang-orang berpikiran ganjil terhadapku.
“Hey,” suara seseorang membuatku terkaget-kaget.
Aku menoleh ke arah samping. Seorang mahasiswa laki-laki yang sedang menunggu giliran, sama saja denganku. Dia tidak menarik, namun sepertinya dia orang yang ramah.
Aku hanya memberikan senyum balasan, entah apa maunya, yang jelas aku lebih tertarik melakukan kegiatan lain. Misalnya saja melihat dengan saksama mahasiswa gagah yang letaknya agak jauh tepat di hadapanku. Ia membalikkan badannya karena asyik bercakap-cakap dengan teman di belakangnya. Kutebak mereka satu geng alias kenal satu sama lain.
“Mahasiswa lokal atau luar kota?” suara itu mengusikku lagi.
Aku mencoba ramah meskipun entah apakah rautku tampak seperti manusia yang pembawaannya hangat atau tidak, “Maksudnya?”
Ia lalu menjelaskan bahwa yang dimaksud mahasiswa lokal adalah mahasiswa yang berasal dari kota kembang alias tempat universitas ini berada sedangkan mahasiswa yang satunya adalah yang berasal dari daerah lainnya. Sepertinya mudah dipahami penjelasannya.
“Dari Yogya.” Jawabku.
Katanya dia adalah mahasiswa dalam kota alias lokal. Entah itu sebenarnya informasi tidak penting mengingat aku agaknya akan sulit bersosialiasi dengan cowok. Aku tinggal di asrama mahasiswi universitasku dengan peraturan yang sangat ketat seketat kaus kaki sempit yang harus terus dipakai. Tapi, tunggu, dia menyebutkan informasi mengejutkan lain. Ini brilian.
“Dia temanku yang beda jurusan, namanya Bram.”
Aku langsung melotot. Sungguh, aku hendak mengucapkan terima kasih tetapi lagi-lagi dia mengejutkanku dengan informasi tak penting lainnya. Sebelumnya informasi penting.
“Kalau namaku Anrea.”
Sungguh nama aneh yang tentu saja sulit untuk diingat. Lalu percakapan kami mengalir begitu saja. Sebenarnya aku mengorek informasi tentang Bram lewat Anrea. Cowok satu ini lumayan ramah dengan pembawaan yang santai. Awalnya aku mengira dia biasa saja, ternyata dia di atas rata-rata. Anrea adalah mantan siswa teladan di SMAnya dulu, sedangkan aku jangan tanya. Hanya siswa biasa. Tetapi maaf Anrea, aku hanya tertarik pada Bram.
Kamu hanya kupakai sebagai sumber informasi saja. Namun, aku juga sedikit ragu-ragu, bukan, lebih tepatnya ragu-ragu adalah diriku sendiri. Aku dan Bram seperti langit dan bumi. Tidak mungkin bersatu.
“Kamu suka baca?” tanya Anrea.
Aku sedikit menaruh minat, “Kalau aku suka baca emang kenapa Re?”
Aku mencoba lebih akrab dengan Anrea meskipun status pertemanan kami masih seumur jagung. Sebelum Anrea menjawab aku menimpali terlebih dahulu, “Kamu dekat dengan Bram?”
Anrea menjawab, “Tunggu, kujawab satu-satu. Pertama, kalau kamu juga suka baca aku punya banyak buku di rumah yang bisa aku pinjamkan jika kamu minat karena kamu pun belum punya kartu perpus. Kedua, Bram tidak dekat denganku tapi kita saling kenal karena tiga tahun di kelas yang sama, dia jago semua bidang pelajaran, tapi aku tetap nomer satu.”
Cih, Anrea arogan sekali. Namun, tentu saja aku tak mengungkapkannya secara lisan.
“Kelihatannya dia populer.”
Kalimatku langsung dibalas anggukan Anrea. Dia juga berkata sesuatu yang lainnya, “Berbeda denganku yang berteman hanya dengan beberapa orang, Bram memang asyik orangnya. Udah gitu dia itu punya kelebihan secara fisik.”
Aku terkejut dengan pernyataan Anrea itu. Bukankah sebelumnya dia bilang dengan arogan bahwa dia… Akh, sudah lupakan, fokus, fokus, fokus tentang Bram saja.
“Pasti sudah punya gebetan ya?”
Ups, aku merasa bodoh sudah mengatakan itu kepada Anrea. Bukankah ia bisa melaporkan hal itu kepada Bram? Lain kali aku akan lebih berhati-hati.
“Naksir? Cinta pada pandangan pertama dong.” Ujar Anrea.
Aku berada dalam kebingungan. Jika aku jawab ‘tidak’ dengan menggebu-gebu, akan sangat terlihat bahwa aku sebenarnya menaruh perhatian. Kalau aku jawab ‘iya’, aku masuk kategori manusia tak tahu diri. Untungnya panggilan pegawai administrasi membuatku terselamatkan. Aku belum sempat menjawab pertanyaan Anrea, si cowok yang kelihatan culun tapi lumayan ceplas-ceplos. Tunggu, aku dipanggil bersamaan dengan Bram. Oh no!
***
          Tiga bulan setelah menjalani kehidupan mahasiswa, banyak hal-hal baru yang aku alami dan semuanya harus aku bilang mengesankan. Beberapa hal mengajarkanku untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan tentu saja mandiri. Hidup jauh dari orangtua banyak sekali tantangannya, di mana salah satunya adalah menjaga perasaan ini untuk tetap aman dan terkendali. Bahkan ketika banyak rintangan menerjang. Hal yang aku alami tentu saja sangat-sangat membuatku kelimpungan.
       Hidup di asrama dengan peraturan yang sangat-sangat tegas membuatku goyah beberapa kali. Aku selalu pulang kemalaman demi tugas. Pada akhirnya aku diberi hukuman untuk membersihkan kamar mandi berkali-kali. Menyedihkan memang.
          Hal berkesan lainnya adalah merelakan rasa itu pergi. Rasa yang terus hinggap bahkan terpisah jarak yang sebenarnya tak jauh-jauh amat. Bram, gedung tempat kuliahnya berada tak jauh dari tempatku belajar. Bahkan dari jauh beberapa kali aku lihat dia tengah bercengkrama dengan teman-temannya. Bahkan dengan kekasihnya yang ternyata satu kelas. Saat tahu fakta itu hatiku hancur berkeping-keping, berhari-hari aku tak bisa untuk tak sedih. Air mata bukan barang langka lagi. Ia hadir menemani hari-hari kelabuku.
          Tetapi setiap tiga hari sekali juga aku mendapatkan pesan misterius di ponselku. Si pengirim sungguh-sungguh rela menghiburku dengan gratis. Bukan kata-kata manis yang ia kirim pada awalnya, hanya motivasi-motivasi pembangkit jiwa. Tak pernah kuhiraukan juga pesannya. Hanya pesan terakhir. Dia bilang dia akan menelponku malam ini. Dia akan mengungkapkan siapa jati dirinya. Bahkan, lewat sms dia bilang bahwa sebenarnya dia menaruh hati padaku. Entah siapa. Sebenarnya aku penasaran, namun aku hanya bisa menunggu.
          Dering ponsel membuatku terhenyak dari lamunan, saat kuangkat kata ‘halo’ adalah yang kali pertama aku ucapkan. Dari seberang suara asing menyapa. Tidak, aku tiba-tiba saja mengingatnya, suara lelaki berpenampilan sederhana yang kadang bertingkah arogan. Seseorang yang seminggu sekali aku temui di klub baca kampusku. Ini malapetaka menggembirakan.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)