Judul: Pantomime
Kategori: Novel
Ditulis oleh: Sayyidatul Imamah
Penerbit: Bhuana Sastra
Tahun Terbit: 2019
Tebal: 265 Halaman
Harga: Rp68.000
Sinopsis
Menurut Atlanta, hari yang dia punya tinggal 18 hari lagi.
Menurut Asteria, tidak ada hari untuknya.
Dan, menurut mereka berdua, hidup mereka seperti Pantomimer. Bersembunyi dalam topeng, dan tidak akan pernah ada yang bisa mendengar kata-kata mereka. Kata-kata yang ingin mereka teriakkan sejak lama.
Saat mereka bertemu. Atlanta menyadari kehadiran Asteria, tapi Asteria menunggu kehadiran Atlanta. Pertemuan itu layaknya pertemuan antara embun dan daun.
Pantomime bercerita tentang dua orang remaja. Mereka bernama Atlanta dan Asteria. Keduanya memiliki pandangan yang berbeda mengenai hidup. Di usianya yang ke-17, Atlanta terus berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Ia selalu mempertanyakan tentang arti hidup, yang baginya tidak ada harapan. Lantaran Atlanta merasa dirinya aneh, orang lain tidak menginginkannya, dan dirinya hancur.
Atlanta hanya punya waktu dalama 18 hari sebelum tiba pada hari kematiannya. Menjelang 18 hari itu, Atlanta kerap menuliskan catatan dan pesan untuk ibunya sebelum ia pergi, sampai suatu hari ia bertemu dengan gadis bernama Asteria.
Berbeda dengan Atlanta, Asteria adalah gadis yang kuat atau lebih tepatnya keras kepala. Asteria tidak punya tempat untuk pulang. Ia harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain setiap harinya, hanya untuk mempertahankan hidupnya, sampai suatu hari ia bertemu dengan Atlanta dan kehidupannya pun berubah.
Apakah Atlanta akan mengakhiri hidupnya? Dan, mampukan Asteria mempertahankan kehidupannya?
Review
Ini adalah novel pertama Dayuk yang aku baca. Dayuk adalah nama sapaan akrab bagi penulis. Novel ini menceritakan seorang remaja bernama Atlanta dan Asteria. Keduanya dipertemukan oleh takdir yang pahit. Novel ini secara garis besar menceritakan bagaimana masing-masing dari mereka bertahan hidup. Ya, bertahan hidup dalam arti sebenarnya maupun bertahan hidup dari berbagai macam tekanan.
Menurutku pesan novel ini bagus yaitu hendak menyampaikan bahwa bunuh diri tentu bukan jalan keluar terbaik menyelesaikan masalah. Juga tentang bagaimana bertahan hidup dengan cara yang positif. Sepanjang cerita, Dayuk sebagai penulis mampu memaparkannya dengan baik. Runut dan tetap santun.
Namun, beberapa kekurangan di buku ini membuatku merasa terganggu. Mungkin ini subjektif saja sih. Jadi, bisa jadi bagi pembaca lain mungkin tidak masalah. Ini bisa jadi juga hanya sekadar masalah selera. Hehehe...
Yang pertama adalah gaya bahasanya yang menurutku tanggung. Dayuk kurang konsisten menerapkan gaya bahasa ala terjemahan karena masih ditemukan kata lo atau gue. Latar tempat yang fiktif semakin membuat kekurangannya semakin jelas terlihat. Karena jika memang fiktif, harusnya total gaya bahasa terjemahan seperti contohnya gaya bahasa terjemahan dalam novel A Untuk Amanda karya Annisa Ihsani, itu bagus dengan latar kota fiktif suburban yang unik. Jika di novel ini, latar tempat seakan-akan di area Jabodetabek, tapi malah tokoh utama menggunakan aku kamu yang mana berakibat janggal.
Yang kedua, di novel ini menyampaikan banyak hal. Sangat gloomy. Tidak apa-apa sih, namun akhirnya berakhir kurang fokus. Alangkah baiknya jika tak terlalu banyak. Itu lebih baik. Toh, kesannya menyedihkan sekali dan sepertinya tidak ada happy happy-nya bahkan secuil pun. Iya, tokoh Atlanta dan Asteria ini punya back story yang kelam banget. Bahkan, Asteria seperti ditampar takdir menyakitkan berkali-kali tiada habisnya.
Yang ketiga adalah bayak plot hole yang kutemukan. Salah satunya reaksi orang-orang dari masa lalu Atlanta yang saat bertemu dengannya biasa saja. Kok aneh ya, padahal mereka punya andil membuat kisruh hidup Atlanta. Juga tentang hubungan sebab akibat yang pada plot beberapa tokoh kurang jelas. Salah satunya yang terjadi pada keluarga Asteria. Entah kenapa menurutku itu kurang clear aja sih alasan kenapa misalnya si Bibi atau Paman Asteri begini atau begitu. Atau pada identitas orangtua Robin yang seharusnya Asteria bisa tahu lebih dahulu bukan saat ketika di bagian akhir yang menyebabkan resolusi masalahnya menemukan jalan keluar.
Yang terakhir adalah banyaknya adegan yang meniru novel-novel mental illness lain. Sayang banget Dayuk sebagai penulis kurang mengolahnya dengan baik sehingga ya jadinya kayak mirip banget, kesannya kurang kreatif aja sih. Coba kalian baca All the Bright Places, 13 Reasons Why, plus Looking for Alaska, dijamin bakal ada beberapa kesamaan yang raw.
Sekian review ini, semoga Dayuk sebagai penulis bisa membuat karya yang lebih bagus lagi selanjutnya.[]
Komentar
Posting Komentar