Langsung ke konten utama

Cerpen Sepincuk Nasi Jamblang Rindu (Kabar Cirebon, 22 Juni 2019)



Semua orang di kotaku menyukai nasi jamblang. Barangkali itu hanya asumsiku belaka. Karena aku mengenal satu orang dalam hidupku yang tidak menyukai itu. Namanya Rindu dan itu bukanlah nama seorang perempuan, itu nama seorang laki-laki. Aku mengenalnya setahun lalu saat aku tengah melayani pembeli di kios nasi jamblang milik ibuku.

Saat itu Rindu datang bersama pacarnya yang merupakan penggemar nasi jamblang kelas berat. Bagaimana tidak, kekasih Rindu itu sangat menyukai nasi jamblang sampai-sampai setiap hari dia selalu melahap nasi jamblang. Siang saat istirahat ia melahap nasi jamblang di penjual nasi jamblang dekat kantornya. Saat malam ia selalu datang bersama Rindu ke kios nasi jamblang keluargaku.

Pacar Rindu sangat bawel dan sangat kontras dengan Rindu ang menurutku terlalu kalem. Rindu hanya bercakap sesekali pada pacarnya, pada ibuku yang sering melayani, tetapi tidak pernah mengucapkan satu patah kata pun kepadamu. Entah itu karena malu atau menjaga gengsi. Atau aku berasumsi mungkin pacarnya akan memelototkan matanya saat mendapati Rindu bicara denganku. Aku juga kurang mengerti alasan di balik sikap diamnya yang seribu bahasa itu.

Aku melayani di kios ibu pada saat malam saja karena pagi sampai siang dan kadang sore aku beraktivitas kuliah. Kampusku tidak jauh dari kios warung jamblang keluargaku. Maka, aku sering merekomendasikan warung jamblang itu ke teman-temanku dan mereka menanggapinya dengan positif. Banyak mahasiswa atau mahasiswi yang sering datang ke sana entah saat jam istirahat kuliah, sore hari atau bahkan selepas kegiatan kuliah. Aku jadi terkenal karena mendapat julukan anak ibu warung jamblang Roro. Ia, itu nama warung jamblang yang juga nama ibuku.

Kembali ke cerita Rindu, iya akhir-akhir ini Rindu dan kekasihnya seperti didera cobaan. Kemarin-kemarin kekasihnya itu datang ke warung dan selalu mengeluh kepada ibu atau kepadaku.

“Apa yang sebenarnya terjadi saat kekasihmu selalu bilang ‘terserah kamu’?” ungkapnya kemarin.

“Apa ya mbak?” jawabku sambil berpikir dahulu.

Mbak-mbak pacar Rindu itu lalu menanggapi lagi, “Apa dia sudah bosan pacaran denganku? Padahal aku selalu berusaha membuatnya ceria, tentu saja dengan sikapku yang apa adanya.”

Namun, setelah itu aku tidak merespon lagi karena aku tengah sibuk melayani pelanggan. Terlebih, begini, aku melihat bahwa apa ng terjadi sebenarnya malah kebalikan. Tidak, pacar Rindu tidak seperti itu. Memang mungkin secara fisik mereka cocok, sama-sama orang-orang yang memiliki rupa ‘bisa diperhitungkan’, terlebih karakter mereka saling mengisi meskipun bagai bumi dan langit. Yang satu pendiam, yang satu cerewet. Lagi, menurutku mbak-mbak pacar Rindu ini penuntut.

Suatu hari aku pernah menangkap percakapan mereka tentang pernikahan. Saat itu pacar Rindu ini seperti ingin segalanya terburu-buru, padahal menikah bukan perkara mudah semudah membalikkan telapak tangan. Itu hal yang rumit. Butuh persiapan matang dari banyak aspek. Fisik, mental, keuangan, bahkan karena kita hidup di negara timur perkara penyatuan keluarga juga menjadi hal yang tidak bisa disangsikan.

Rindu hanya merespon seadanya, mungkin belum siap atau saat itu ia memiliki banyak masalah. Aku juga tidak tahu. Di lain kesempatan juga aku pernah menangkap percakapan mereka tentang bagaimana nanti pesta pernikahan mereka berlangsung. Begini, begitu, dan lain sebagainya. Semua dari sudut pandang mbak-mbak pacar Rindu. Dari pria itu sendiri benar-benar tidak diberikan kesempatan bahkan untuk mengutarakan ide kecilnya.

Aku merasa kasihan dengan Rindu, tetapi mau bagaimana lagi karakter kekasihnya memang demikian. Kalau tidak salah mereka juga bekerja di tempat yang sama. Pasti menjadi beban berat sekali saat kekasihmu orang yang demikian. Sebenarnya tidak masalah saat kamu bisa menghadapi segalanya, namun sepertinya Rindu memikul beban berat yang lain. Entahlah kenapa aku menjadi sok serba tahu seperti ini. Mungkin karena aku terlalu sering menonton film bergenre romans, kejiwaanku terkena efek.

Belakangan aku ketahui bahwa masalah yang sama memang menghimpit keduanya. Dan saat itu aku baru tahu Rindu mau berbicara denganku.

Saat itu Rindu datang sendiri ke warung jamblang. Dia tentu saja hanya memesan teh hangat. Dia masih tidak menyukai nasi jamblang. Rindu menceritakan semuanya. Saat itu warung jamblang sedang tidak begitu ramai. Hanya ada dua pembeli, Rindu salah satunya.

“Dia ingin segera kawin…” katanya.

Aku belum bisa merespon sampai akhirnya ia melanjutkan kembali kata-katanya, “Padahal dia tahu, ibuku belum sembuh dari penyakitnya. Cacar api itu sudah menggerogotinya beberapa tahun ini.”

Aku hanya merundukkan kepalaku. Aku juga tersesat pada pikiranku sendiri. Jika aku Rindu, aku juga bingung. Masalahnya aku tidak terlalu mengenal Rindu. Mungkin secara fisik mental dia sudah bisa menikahi kekasihnya, dari segi keuangan dua-duanya berkarir, jadi tidak masalah. Yang terakhir, menurut analisaku memang menghadapi masalah, tentu masalah keluarga.

“Aku sedang fokus mengobatinya, dan sepertinya ibuku juga belum memberikan lampu kuning untuk hubunganku lanjut ke tahap selanjutnya. Beginilah dilemanya jadi tulang punggung keluarga.”

Lalu cerita Rindu mengalir lancar bak air sungai yang mengalir deras. Tidak ada hambatan saat Rindu menceritakannya. Meskipun ini baru pertama kali bercerita, tetapi ia seperti sepenuhnya percaya kepadaku. Dan kata-kata terakhirnya sangat-sangat membuatku terkejut. Rasanya seperti ada petir di siang bolong padahal tidak ada awan gelap yang datang.

“Aku sudah putus dengannya. Yang membuatku sedih adalah dia yang mengakhiri hubungan ini. Terlebih dia menambahkan informasi bahwa sebenarnya dia juga tidak nyaman menjadi pacaraku, alasannya karena di matanya aku semakin aneh. Jadi kesimpulannya mungkin kadar cinta dia berkurang, sementara aku masih sama dan bertambah semenjak hubungan ini berlangsung. Aku tentu saja merasakan retak di hatiku.”

Wajah Rindu saat itu adalah wajah tersedih yang pernah kulihat, wajah tersedih pria dewasa maksudku. Ya, itu selalu berat apalagi bagi Rindu yang seorang tulang punggung keluarga semenjak ayahnya meninggal karena kecelakaan saat ia kecil. Ibunya berarti telah menderita penyakit itu sejak lima tahun lalu. Sungguh aku tidak bisa membayangkan jika aku adalah Rindu. Itu-sungguh-sangat-berat-sekali.

“Lalu, kenapa kamu tidak pernah menyukai nasi jamblang, mas?” ungkapku kaku. Lho, aku juga merasa terkejut dengan pertanyaanku sendiri. Terlalu spontan, terlau jauh dari topik pembicaraan. Aku mencoba memecah hening yang sudah tercipta beberapa menit sebelumnya setelah Rindu menceritakan segalanya.

“Tidak apa. Karena begini… hemmm.. ayahku saat itu meninggal karena kecelakaan saat ia telah membeli nasi jamblang buatku. Saat itu aku terus merengek minta dibelikan. Setelahnya aku merasa bersalah, bahkan sampai sekarang, bahkan setelah kucoba melihatnya saja yang terbayang sungguh kenangan buruk itu…”

Setelahnya aku sudah tidak berkata-kata lagi. Ada yang menggenang di pelupuk mataku dan pelupuk mata pria di hadapanku. Ada orang yang tidak bisa menyukai makanan begitu dahsyatnya karena trauma masa kecil. Ya, itulah Rindu, sepincuk nasi jamblang baginya kenangan pahit yang sulit diterima.

Setelahnya Rindu selalu datang ke warung. Sekadar bercerita atau menemani teman-temannya. Dia jauh lebih hangat akhir-akhir ini. Entah selalu tertawa atau sekadar lebih mudah tersenyum. Sudah beberapa bulan setelah episode putus, menurut teman-temannya dan menurut Rindu sendiri, dia tengah tertarik pada seseorang. Entah siapa, yang jelas hal yang membuatku kaget adalah dia mencoba untuk melahap nasi jamblang, itu saranku agar dia terbebas dari belenggu masa lalu…[]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Sex/Life Season 1 (Review Sex/Life, Series Barat Bertema Dewasa)

 

Ulasan Novel Sang Keris (Panji Sukma)

JUDUL: SANG KERIS PENULIS: PANJI SUKMA PENERBIT: GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA TEBAL: 110 HALAMAN TERBIT: CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 2020 PENYUNTING: TEGUH AFANDI PENATA LETAK: FITRI YUNIAR SAMPUL: ANTARES HASAN BASRI HARGA: RP65.000 Blurb Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka. Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan. *** “Novel beralur non-linier ini memecah dirinya dalam banyak bab panja

Resensi Sumur Karya Eka Kurniawan (Sebuah Review Singkat)