Semua orang di kotaku
menyukai nasi jamblang. Barangkali itu hanya asumsiku belaka. Karena aku
mengenal satu orang dalam hidupku yang tidak menyukai itu. Namanya Rindu dan itu
bukanlah nama seorang perempuan, itu nama seorang laki-laki. Aku mengenalnya
setahun lalu saat aku tengah melayani pembeli di kios nasi jamblang milik
ibuku.
Saat itu Rindu datang
bersama pacarnya yang merupakan penggemar nasi jamblang kelas berat. Bagaimana
tidak, kekasih Rindu itu sangat menyukai nasi jamblang sampai-sampai setiap
hari dia selalu melahap nasi jamblang. Siang saat istirahat ia melahap nasi
jamblang di penjual nasi jamblang dekat kantornya. Saat malam ia selalu datang
bersama Rindu ke kios nasi jamblang keluargaku.
Pacar Rindu sangat
bawel dan sangat kontras dengan Rindu ang menurutku terlalu kalem. Rindu hanya
bercakap sesekali pada pacarnya, pada ibuku yang sering melayani, tetapi tidak
pernah mengucapkan satu patah kata pun kepadamu. Entah itu karena malu atau
menjaga gengsi. Atau aku berasumsi mungkin pacarnya akan memelototkan matanya
saat mendapati Rindu bicara denganku. Aku juga kurang mengerti alasan di balik
sikap diamnya yang seribu bahasa itu.
Aku melayani di kios
ibu pada saat malam saja karena pagi sampai siang dan kadang sore aku
beraktivitas kuliah. Kampusku tidak jauh dari kios warung jamblang keluargaku.
Maka, aku sering merekomendasikan warung jamblang itu ke teman-temanku dan
mereka menanggapinya dengan positif. Banyak mahasiswa atau mahasiswi yang sering
datang ke sana entah saat jam istirahat kuliah, sore hari atau bahkan selepas kegiatan
kuliah. Aku jadi terkenal karena mendapat julukan anak ibu warung jamblang
Roro. Ia, itu nama warung jamblang yang juga nama ibuku.
Kembali ke cerita
Rindu, iya akhir-akhir ini Rindu dan kekasihnya seperti didera cobaan.
Kemarin-kemarin kekasihnya itu datang ke warung dan selalu mengeluh kepada ibu
atau kepadaku.
“Apa yang sebenarnya
terjadi saat kekasihmu selalu bilang ‘terserah kamu’?” ungkapnya kemarin.
“Apa ya mbak?” jawabku
sambil berpikir dahulu.
Mbak-mbak pacar Rindu
itu lalu menanggapi lagi, “Apa dia sudah bosan pacaran denganku? Padahal aku
selalu berusaha membuatnya ceria, tentu saja dengan sikapku yang apa adanya.”
Namun, setelah itu aku
tidak merespon lagi karena aku tengah sibuk melayani pelanggan. Terlebih,
begini, aku melihat bahwa apa ng terjadi sebenarnya malah kebalikan. Tidak,
pacar Rindu tidak seperti itu. Memang mungkin secara fisik mereka cocok,
sama-sama orang-orang yang memiliki rupa ‘bisa diperhitungkan’, terlebih
karakter mereka saling mengisi meskipun bagai bumi dan langit. Yang satu
pendiam, yang satu cerewet. Lagi, menurutku mbak-mbak pacar Rindu ini penuntut.
Suatu hari aku pernah
menangkap percakapan mereka tentang pernikahan. Saat itu pacar Rindu ini
seperti ingin segalanya terburu-buru, padahal menikah bukan perkara mudah
semudah membalikkan telapak tangan. Itu hal yang rumit. Butuh persiapan matang
dari banyak aspek. Fisik, mental, keuangan, bahkan karena kita hidup di negara
timur perkara penyatuan keluarga juga menjadi hal yang tidak bisa disangsikan.
Rindu hanya merespon
seadanya, mungkin belum siap atau saat itu ia memiliki banyak masalah. Aku juga
tidak tahu. Di lain kesempatan juga aku pernah menangkap percakapan mereka
tentang bagaimana nanti pesta pernikahan mereka berlangsung. Begini, begitu,
dan lain sebagainya. Semua dari sudut pandang mbak-mbak pacar Rindu. Dari pria
itu sendiri benar-benar tidak diberikan kesempatan bahkan untuk mengutarakan
ide kecilnya.
Aku merasa kasihan dengan
Rindu, tetapi mau bagaimana lagi karakter kekasihnya memang demikian. Kalau
tidak salah mereka juga bekerja di tempat yang sama. Pasti menjadi beban berat
sekali saat kekasihmu orang yang demikian. Sebenarnya tidak masalah saat kamu
bisa menghadapi segalanya, namun sepertinya Rindu memikul beban berat yang
lain. Entahlah kenapa aku menjadi sok serba tahu seperti ini. Mungkin karena
aku terlalu sering menonton film bergenre romans, kejiwaanku terkena efek.
Belakangan aku ketahui
bahwa masalah yang sama memang menghimpit keduanya. Dan saat itu aku baru tahu
Rindu mau berbicara denganku.
Saat itu Rindu datang
sendiri ke warung jamblang. Dia tentu saja hanya memesan teh hangat. Dia masih
tidak menyukai nasi jamblang. Rindu menceritakan semuanya. Saat itu warung
jamblang sedang tidak begitu ramai. Hanya ada dua pembeli, Rindu salah satunya.
“Dia ingin segera
kawin…” katanya.
Aku belum bisa merespon
sampai akhirnya ia melanjutkan kembali kata-katanya, “Padahal dia tahu, ibuku
belum sembuh dari penyakitnya. Cacar api itu sudah menggerogotinya beberapa
tahun ini.”
Aku hanya merundukkan
kepalaku. Aku juga tersesat pada pikiranku sendiri. Jika aku Rindu, aku juga
bingung. Masalahnya aku tidak terlalu mengenal Rindu. Mungkin secara fisik
mental dia sudah bisa menikahi kekasihnya, dari segi keuangan dua-duanya
berkarir, jadi tidak masalah. Yang terakhir, menurut analisaku memang
menghadapi masalah, tentu masalah keluarga.
“Aku sedang fokus
mengobatinya, dan sepertinya ibuku juga belum memberikan lampu kuning untuk
hubunganku lanjut ke tahap selanjutnya. Beginilah dilemanya jadi tulang
punggung keluarga.”
Lalu cerita Rindu mengalir
lancar bak air sungai yang mengalir deras. Tidak ada hambatan saat Rindu
menceritakannya. Meskipun ini baru pertama kali bercerita, tetapi ia seperti
sepenuhnya percaya kepadaku. Dan kata-kata terakhirnya sangat-sangat membuatku
terkejut. Rasanya seperti ada petir di siang bolong padahal tidak ada awan
gelap yang datang.
“Aku sudah putus
dengannya. Yang membuatku sedih adalah dia yang mengakhiri hubungan ini.
Terlebih dia menambahkan informasi bahwa sebenarnya dia juga tidak nyaman
menjadi pacaraku, alasannya karena di matanya aku semakin aneh. Jadi
kesimpulannya mungkin kadar cinta dia berkurang, sementara aku masih sama dan
bertambah semenjak hubungan ini berlangsung. Aku tentu saja merasakan retak di
hatiku.”
Wajah Rindu saat itu
adalah wajah tersedih yang pernah kulihat, wajah tersedih pria dewasa maksudku.
Ya, itu selalu berat apalagi bagi Rindu yang seorang tulang punggung keluarga
semenjak ayahnya meninggal karena kecelakaan saat ia kecil. Ibunya berarti
telah menderita penyakit itu sejak lima tahun lalu. Sungguh aku tidak bisa
membayangkan jika aku adalah Rindu. Itu-sungguh-sangat-berat-sekali.
“Lalu, kenapa kamu
tidak pernah menyukai nasi jamblang, mas?” ungkapku kaku. Lho, aku juga merasa
terkejut dengan pertanyaanku sendiri. Terlalu spontan, terlau jauh dari topik
pembicaraan. Aku mencoba memecah hening yang sudah tercipta beberapa menit
sebelumnya setelah Rindu menceritakan segalanya.
“Tidak apa. Karena
begini… hemmm.. ayahku saat itu meninggal karena kecelakaan saat ia telah
membeli nasi jamblang buatku. Saat itu aku terus merengek minta dibelikan.
Setelahnya aku merasa bersalah, bahkan sampai sekarang, bahkan setelah kucoba
melihatnya saja yang terbayang sungguh kenangan buruk itu…”
Setelahnya aku sudah
tidak berkata-kata lagi. Ada yang menggenang di pelupuk mataku dan pelupuk mata
pria di hadapanku. Ada orang yang tidak bisa menyukai makanan begitu dahsyatnya
karena trauma masa kecil. Ya, itulah Rindu, sepincuk nasi jamblang baginya
kenangan pahit yang sulit diterima.
Setelahnya Rindu selalu
datang ke warung. Sekadar bercerita atau menemani teman-temannya. Dia jauh
lebih hangat akhir-akhir ini. Entah selalu tertawa atau sekadar lebih mudah
tersenyum. Sudah beberapa bulan setelah episode putus, menurut teman-temannya
dan menurut Rindu sendiri, dia tengah tertarik pada seseorang. Entah siapa,
yang jelas hal yang membuatku kaget adalah dia mencoba untuk melahap nasi
jamblang, itu saranku agar dia terbebas dari belenggu masa lalu…[]
Komentar
Posting Komentar