Runa telah merawat ibu sejak dua
tahun lalu. Ibu telah divonis memiliki cacar api. Sekujur tubuhnya seperti
dibaluri luka bakar. Awalnya tumbuh beberapa cacar sebesar buah jeruk limun
kecil di sepanjang tubuhnya, lalu mereka menetas dan satu per satu meninggalkan
bekas yang parahnya masih membuat ibu tampak kewalahan.
Runa telah merawat ibu dengan
ikhlas. Ia yang beberapa tahun lalu baru pulang dari luar negeri sebagai TKW,
lalu pulang ke kampung halaman. Ia terkejut dengan ketiadaan uang yang selama
ini ia kirimkan ke bapak dan ibu. Uang itu hanya berwujud rumah dengan model
sederhana dengan WC yang sebelumnya tiada. Bagian belakang rumah masih belum
sempurna.
Runa tidak pernah marah dengan semua
itu. Ia hanya kadang melampiaskan dengan kata-kata ketika ia lelah sendiri
dengan dirinya atau kepada adik-adiknya yang semuanya laki-laki. Adiknya alias
anak kedua, lelaki itu pergi merantau ke Jabodetabek dan bekerja sebagai buruh.
Sedangkan anak bungsu yang juga lelaki masih duduk di bangku SD.
Runa kaget tahu bapak kerja di kebun
orang lain alih-alih bekerja di ladang sendiri. Ia mempertanyakan ke mana
perginya uang gaji yang selama ini rajin ia kirimkan, kenapa bapak ibunya tak
membelikan uang tersebut untuk sawah, kebun, atau ladang misalnya. Saat itu
mereka hanya memiliki sawah warisan dari nenek pihak ibu yang belum digarap.
Pun telah dua tahun Runa mencari
pekerjaan, namun hasilnya mayoritas nihil. Ia entah kenapa tidak berhasrat
untuk pergi ke luar negeri lagi. Ditambah penyakit ibu membuatnya selalu sedih.
Pun omongan tetangga-tetangganya yang juga sering menyakiti hati Runa. Gadis
itu telah menginjak umur 27 tahun tetapi belum ada jodoh yang menghampiri. Ia
pun sedikit khawatir dengan kehidupannya.
Memang ini menyakitkan. Ibunya tak
kunjung sembuh. Telah beragam dokter ia datangi, bahkan dulu telah sempat sawah
milik ibunya dijual lewat perkara kakaknya alias uwa Runa yang saat itu
berpfrofesi sebagai kepala sekolah SD. Mungkin, memang sudah semua upaya diusahakan,
namun belum ada yang berhasil. Tidak ada yang bisa menolong lagi. Sekarang
kesembuhan ibu hanya berpangku pada beberapa pengobatan herbal yang telah
dijalani.
Segala upaya telah diusahakan.
Ditengah kemelut yang melanda keluarga Runa, kesedihan tak henti menerjang.
Runa yang memang sudah matang usianya selalu ditanya oleh tetangga tentang
kapan ia akan menikah. Bahkan, tetangganya tidak menampilkan simpati sedikit
pun, bagaimana mungkin melangsungkan pernikahan di tengah kondisi ibunya yang
sakit parah. Bukan perkara demikian pula karena belum ada jodoh yang sreg di
hati Runa.
“Masih sakit ya Bu?” tanya Runa pagi
itu.
“Iya Run,” jawab ibunya sambil
tersenyum getir.
“Udah bu, jangan terlalu dipikirkan,
penyakit ini pasti akan akan hilang segera,” hibur Runa sambil tersenyum tulus
ke arah ibu.
“Amin,” balas ibu singkat.
Tidak ada rutinitas mandi bagi ibu.
Karena setiap pagi atau sore, badan ibu harus Runa baluri dengan bedak khusus.
Niscaya bekas-bekas luka cacar itu pun hilang, atau cacar-cacar yang baru
menetas akan lenyap segera.
Setiap hari Runa selalu memikirkan
ibu. Bagaimana jika ibu tak sembuh-sembuh apalagi bagaimana jika ibu menemui
kemungkinan terburuk yaitu tidak akan ada di sisi Runa lagi.
“Kenapa dia tidak datang-datang ke
sini lagi, Run?” tanya ibu penasaran.
“Dia siapa bu?” tanya Runa yang
sebenarnya merasa tidak nyaman dengan pertanyaan ibu.
Ibu balas menjawwab dengan tatapan
sedikit penuh selidik kepada Runa, “Lelaki yang sering kamu panggil Ale.”
“Oh mas Ale,” jawab Runa singkat
sambil kemudian menghela napas pendek setelahnya. Ia sebenarnya kehabisan
kata-kata.
Ia tak mungkin menjelaskannya kepada
ibu. Iya, menjelaskan hubungannya yang telah kandas beberapa bulan lalu dengan
Ale. Lelaki itu bekerja di kantor pajak di kotanya. Entah kenapa beberapa bulan
lalu sikapnya berubah ketika Runa selalu menolak untuk diajak pergi dengannya.
Runa sibuk saat itu, mengantar ibu ke sana ke mari, menemani ibu untuk berobat
ke beberapa pengobatan alternatif. Sikap Ale pun semakin mencurigakan, terlebih
Andina yang sahabatnya juga bekerja di sana menceritakan kepada Runa jika Ale
telah menjalin kasih dengan koleganya. Ale memutuskan Runa dengan alasan tidak
cocok lagi. Runa sebenarnya saat itu dipenuhi banyak tanda tanya di pikirannya.
Bagaimana mungkin ia yang dikhianati namun kekasihnya yang memutuskan hubungan
yang sebenarnya baru seumur jagung itu. Atau apa mungkin Ale tidak mau mengerti
keadaan Runa, terlebih melihat latar belakang Runa.
***
Bagaimana mungkin tetangga Runa
sampai tidak punya hati menyelenggarakan hajatan yang panggungnya dibangun di
depan rumah Runa yang menghadap ke jalan. Ya, di jalan depan Runa kini telah
dibangun panggung untuk orkes dangdut. Sepanjang siang, sore, malam sungguh
kebisingan tercipta. Membuat Runa tak nyaman. Runa berpikir tentang ibunya.
Pasti ibunya tidak bisa tidur, pasti
ibunya merasa terganggu. Tetangga rumahnya memang tidak bersimpati, namun bukan
begini juga perilaku yang ia ingin ia dapatkan. Sungguh kejam, pikirnya,
Beberapa hari lalu, tabib datang ke
rumah Runa. Tabib itu tahu keberadaan ibu, penyakit, dan rumah dari sanak
saudara jauh ibu Runa. Ia menatrai ibu Runa dengan aji-ajian, lalu menempeli
setiap pojok rumah Runa, pintu-pintu, dan jendela-jendela dengan
tulisan-tulisan arab pada sebuah kertas-kertas. Setelah beberapa hari, lalu
minggu, lalu bulan, tidak ada yang terjadi. Tidak ada apa-apa yang dirasakan
ibu Runa menurut Runa. Setelah hari-hari belakangan, ibu Runa berkata ia merasa
lebih baik.
Namun, siapa sangka, umur tidak ada
yang menduga. Ibu Runa pulang untuk selamanya saat subuh pagi itu. Runa
menyaksikannya. Ia mengucapkan kalimat syahadat pada telinga kanan ibunya yang
saat itu tengah sakaratul maut. Ibunya hanya menutup mata, dan saat Runa
membisikkan kalam suci itu, ia seperti merintih pelan.
Semuanya telah berakhir. Ia
menyaksikan bapak yang selama ini tegar runtuh. Bahkan adik lelakinya yang
masih kecil juga ikut menangis. Orang-orang asing datang, tetangga-tetangga
dekat rumah pun menyatroni rumah Runa berusaha membantu menyiapkan perkabungan
almarhumah ibu Runa.
Ia tergeletak dibungkus kain putih
itu. Runa masih menabung air mata di penglihatannya. Ia tak mungkin sanggup
untuk sekadar menyaksikan ibunya sampai ke liang lahat. Bahkan untuk sekadar
membacakan doa sepanjang di rumahnya ia bahkan tak bisa. Ia sempat pingsan dan
tak sadarkan diri. Dalam hening, ia merasa dalam dalam buaian ibunya, ibunya
lalu mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya. Ia berkata terima kasih,
Runa.[]
Komentar
Posting Komentar